Hari santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober terutama di Indonesia, kini menjadi momentum penting untuk mengenang kontribusi kaum santri dalam sejarah perjuangan bangsa, khususnya dalam mempertahankan kemerdekaan. Dimulai dari peristiwa bersejarah pada 22 Oktober 1945, ketika KH. Hasyim Asy’ari ulama terkemuka dan pendiri nadhatul ulama, mengeluarkan resolusi jihad. Resolusi jihad ini lahir sebagai bentuk kontribusi NU dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Resolusi jihad ini merupakan hasil rapat oleh PBNU 21-22 Oktober 1945 yang dihadiri oleh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. M. Dachlan, KH. Tohir Bakri, KH. Saham Mansur, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Jalil Kudus, KH. Iljas, KH Sjaufuddin Zuhri, KH. Abdul Halim Shiddiq, dll.(Ridwan, 2010:82). Kemudian pada tahun 2015, hari santri ditetapkan oleh presiden kita yang ke-7 yakni Presiden Joko Widodo melalui keputusan presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang telah mengakui peran besar pesantren dan ulama dalam pergerakan nasional, terutama terkait resolusi jihad yang dikeluarkan oleh beliau KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 yang mendorong perlawanan terhadap penjajah.
Melihat dari segi sejarahnya, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa melalui resolusi jihad yang mana berisi tentang seruan perjuangan melawan penjajah, terutama bagi belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Resolusi tersebut menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari jihad fi sabilillah, dan siapapun yang meninggal dalam perjuangan tersebut dianggap sebagai syahid. Seruan ini disambut dengan antusias oleh para santri dan masyarakat muslim Indonesia. Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 menjadi salah satu bukti nyata keberanian para santri dan pejuang kemerdekaan yang bersedia mengorbankan jiwa raga demi mempertahankan kedaulatan bangsa.
Setelah adanya proklamasi kemerdekaan, Indonesia masih harus menghadapi ancaman dari belanda yang berusaha kembali menjajah Indonesia. Dari adanya resolusi jihad akhirnya berhasil memobilisasi ribuan santri, kiai, dan masyarakat untuk berperang melawan sekutu dan NICA. Pada masa itu, persenjataan sangatlah terbatas terutama dikalangan para pejuang rakyat yang tidak memiliki akses ke senjata modern seperti senapan atau meriam. Maka dengan senjata andalan yang seadanya digunakan yakni Bambu Runcing yang kini telah dikenal sebagai salah satu simbol keberanian, semangat perjuangan, dan kesederhanaan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah bisa merebut haknya kembali.
Adapun isi resolusi jihad tersebut adalah:
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan
- Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah sah wajib dipertahankan
- Musuh RI, terutama belanda yang datang dengan membonceng sekutu dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia
- Umat Islam terutama NU wajib mengangkat senjata melawan belanda dan kawan-kawannya yang hendak menjajah Indonesia
- Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban setiap orang Islam (fardhu ain) bagi yang berada dalam jarak radius 94 km. Sementara mereka yang berada di luar jarak itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km (Ridwan, 2010:83).
Resolusi ini berisi seruan kewajiban berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah, hingga memuncak pada perlawanan 10 November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Santri di era modern, tidak hanya terlibat dalam keagamaan, tetapi juga memainkan banyak peran penting di segala bidang baik sosial, ekonomi, ataupun politik. Banyak santri yang kini menjadi pemimpin di berbagai sektor mulai dari politik, pendidikan, hingga perbisnisan. Mereka bukan hanya melanjutkan tradisi pesantren dalam memperjuangkan nilai-nilai moral dan keagamaan, tapi juga ikut serta dalam memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pesantren juga terus berkembang menjadi intuisi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu modern seperti sains, teknologi, dan kewirausahaan. Hal ini selaras dengan semangat hari santri untuk terus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan identitas keislaman dan kebangsaan.
Selain itu, santri juga tidak hanya identik dengan kehidupan agama. Tapi juga mengamalkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kerja keras, kemandirian, dan pengabdian kepada masyarakat. Santri mengajarkan bahwa menjadi seorang muslim yang taat tidak berarti menutup kemungkinan untuk menutup diri dan menutup dari urusan duniawi. Namun, justru memiliki tanggungjawab untuk berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.
Penulis: Fika Nurun Tajalla, Santri Mansajul Ulum.