Di era yang serba modern ini, pengetahuan tersedia di berbagai media. Perlu diingat bahwa berbagai pengetahuan ini tidak mungkin eksis tanpa adanya seseorang (atau bahkan Artificial Intelligence) yang menulis di baliknya. Menulis merupakan kegiatan produksi pengetahuan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri seorang penulis. Menulis dapat menjadi kegiatan yang membahagiakan bagi diri seorang penulis. Hal ini dibuktikan dengan istilah journaling yang seringkali digunakan untuk mengurangi beban overthingking. Dari journaling pula dapat diketahui bahwa kegiatan menulis dapat meluruskan tali kusut yang ada di dalam kepala seorang penulis.
Menulis Adalah Sebuah Kemuliaan
Di sisi lain, menulis merupakan kegiatan yang mulia. Pasalnya dengan produksi pengetahuan melalui tulisan, seorang penulis dapat berbagi ilmu kepada siapapun, di manapun, dan kapanpun. Karena saat ini, publikasi tulisan dapat dilakukan melalui media online, sehingga dapat diakses dengan mudah serta dapat menjangkau seluruh orang dunia. Selain itu, menulis merupakan media yang paling efektif untuk mengabadikan sebuah peristiwa penting baik yang sudah terjadi di masa lalu atau saat ini. Terdapat banyak tulisan yang ditulis sejak puluhan, bahkan ribuan tahun lalu yang saat ini masih dapat dimanfaatkan manusia.
Hal tersebut sesuai dengan quote dari Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan cara termudah manusia untuk mengabadikan diri. Saking mulianya kegiatan menulis, bahkan Allah SWT menggunakannya untuk bersumpah.
نٓ ۚ وَالۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُوۡن
Artinya: “Nun, Demi Pena dan apa yang mereka tuliskan.”
Dalam ayat di atas Allah bersumpah dengan alat tulis yaitu pena dan apapun yang mereka tuliskan. Ini mengindikasikan betapa mulia dan agungnya pena dan hasil tulisan di sisi Allah selama semuanya bermanfaat dan dilandasi dengan ibadah karena-Nya.
Menulis Sebagai Upaya dalam Memajukan Peradaban
Budaya menulis memegang peranan penting dalam dinamika peradaban manusia. Dengan menulis manusia dapat bekerja sama dalam mengakumulasi pengetahuan dan mempercepat perkembangan peradaban. Hal ini terjadi karena sifat tulisan yang abadi. Sehingga, generasi selanjutnya dapat membaca tulisan generasi sebelumnya lalu mengembangkannya dan melakukan sebuah inovasi dan yang selaras dengan percepatan peradaban. Dengan demikian, seluruh umat manusia dapat semakin dekat dengan puncak peradaban.
Sumber dan Manfaat dalam Menulis
Sumber tulisan dapat berasal dari buku, diskusi, dan pengalaman hidup seorang penulis. Dwi Suwiknyo, penulis buku Allah, Aku Rindu Kepadamu mengatakan bahwa menulis adalah cara tersopan untuk menasihati diri sendiri. Ketika journaling misalnya, seorang penulis akan mampu lebih memahami diri sendiri. Ia dapat menguraikan pikiran-pikiran abstrak di dalam kepalanya, sehingga dapat meringankan beban stres.
Dengan menuliskan pikiran ke dalam sebuah media, seorang penulis dapat menjadi lebih sistematis dan memudahkan dirinya dalam pencarian solusi. Dengan lebih dekat dengan diri sendiri, seorang penulis juga akan mengalami masa introspeksi sehingga dapat mencapai hidup yang dinamis dan selalu berkembang ke arah yang lebih baik. Dengan menulis, diharapkan seorang penulis dapat sampai ke tahap ‘istiqomah dalam perbaikan’.
Kiat-kiat Menulis
Setelah melihat dan mengetahui beberapa manfaat menulis di atas, mengapa masih banyak orang yang enggan menulis? Sebenarnya banyak orang memiliki gagasan dan keinginan untuk menulis, namun terasa berat dan sulit ketika hendak menuangkan kedalam tulisan. Menurut Neng Khilma Anis terdapat 4 hal tentang kiat-kiat menulis:
Pertama, seneng, yakni suka pada apa yang dikerjakan. Seperti pepatah, “Namanya suka dan cinta apapun pasti dilakukan”. Untuk dapat membuat sebuah karya tulisan yang bagus, kita perlu menulisnya dengan hati. Sebab, tulisan itu sendiri merupakan ‘bahasa hati’, yang memiliki daya tembus dalam melintasi batas budaya, agama, sosial, dan lain-lain. Melakukan segala sesuatu apabila menggunakan hati pasti rasanya tidak berat, dan mudah untuk menuliskannya.
Kedua, kenceng (tekad) memiliki tekad kuat, selalu semangat, serta tidak mudah goyah dan putus asa dalam apapun. Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai ditulis. Sehingga, saat proses menulis, kita harus sabar dalam menyelesaikan sebuah tulisan.
Ketiga, keparing (diizinkan) meminta izin orang tua, suami, istri atau orang terdekat. Ridho atau dengan kata lain ikhlas dan puas menerima, merestui sesuatu bagaimanapun adalah aspek penting dalam dunia tulis menulis. Sehingga ada motivasi, dukungan dari mereka.
Keempat, wilujeng (keselamatan) dan juga barokah. Sebelum menulis lebih baik berwudhu dan berdoa agar apa yang ditulis memberikan manfaat kepada sesama dan juga barokah.
الْبَرْكَةُ زِيَادَةُ اْلخَيْرِ فِي الطَّاعَةِ
Artinya: “Barokah adalah bertambahnya kebaikan dalam ketaatan”
Sebuah quote dari Imam Al-Ghazali yang selalu terngiang dibenak penulis sekaligus menjadi sebuah motivasi besar bagi kita semua adalah “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah seorang penulis.” Menurut penulis, Imam Al-Ghazali memberikan motivasi yang mendalam lebih jauh lagi bermaksud untuk mendidik generasi penerus umat untuk melestarikan dan mengarsipkan setiap pemikiran melalui tulisan. Hal ini supaya generasi-generasi selanjutnya bisa melanjutkan dakwah agama ini dengan tulisan dan disampaikan secara benar.
Mau sampai kapan kita harus terus terkagum-kagum membaca kisah sukses orang lain, mau sampai kapan kita kumpulkan banyak pengetahuan dari buku, seminar, atau kursus tapi masih ragu untuk memulai perjalanan sendiri guna meraih cita yang diinginkan. Mungkin sudah saatnya kita sekarang untuk meyakinkan diri. Seperti yang dikatakan oleh Sherly Annavita, seorang influencer dari Aceh, “Gagal lebih banyak, ditolak lebih sering, ditemukan lebih rutin, mengerjakan dengan semangat, memperjuangkan dengan total. Sampai satu demi satu kesuksesan itu menampakkan dirinya.”
Di sebuah cover dalam buku berjudul “Kritik Hadits” karya Musthafa Ali Ya`qub disebutkan:
الْخَطُّ يَبْقَى زَمَانًا بَعْدَ صَاحِبِهِ # وَكَاتِبُ الْخَطِّ تَحْتَ الْاَرْضِ مَدْفُوْنٌ
Artinya: “Tulisan akan lestari berabad-abad lamanya. Padahal sang seorang penulis itu sendiri telah meninggal terbenam di bawah tanah.”
Oleh karena itu, para ulama menjadikan menulis sebagai sebuah tradisi yang istimewa dan mulia. Dengan tradisi ini, ilmu-ilmu Islam bisa lestari dan terjaga sehingga bisa diwariskan pada generasi setelahnya. Betapa banyak ulama yang telah meninggal dunia puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu, namun nama dan karyanya harum semerbak dan tetap lestari sampai sekarang. Di antara nama-nama tersebut adalah Imam al-Syafi’i, Imam Al-Ghazali, Imam an-Nawawi, Sayyid Qutb dan Buya Hamka.
Modal Awal dalam Menulis
Kunci utama dalam menulis adalah kemauan. Karena dengan kemauan dan motivasi yang kuat, proses menulis akan menjadi lebih mudah. Adapun, tips yang paling mudah dalam menulis adalah membiasakan menulis apapun yang dekat dengan kehidupan kita. Dengan hal ini, kita akan menjadi terbiasa dalam menulis. Pepatah Jawa, “Witing tresno jalaran songko kulino, (Awalan cinta itu karena terbiasa)”, untuk mendapatkan cinta menulis kita harus mencoba menulis, menulis dan menulis agar terbiasa kemudian menumbuhkan rasa cinta.
Di sisi lain, untuk mendapatkan kualitas tulisan yang baik, kita harus menambah bacaan yang bermanfaat. Karena pada dasarnya membaca merupakan modal pengetahuan yang harus dimiliki seseorang. Tanpa bacaan kita akan bisu dalam menulis. Tanpa menulis kita akan kehilangan salah satu kemampuan terbaik manusia yakni produksi pengetahuan. Jadi untuk semua teman-teman dan pembaca tunggu apalagi? Yuk coba menulis!
Oleh: Kaana Bii Hafiyya, Santri Mansajul Ulum.