WEJANGAN VI
06 Ramadhan 1444 H
Sebagaimana telah diulas dalam bagian terdahulu, inti ajaran akhlak al-Ghazali adalah menjaga keseimbangan antara dua titik ekstrem: ifrath dan tafrith. “Ifrath” adalah keteloderan dalam menjalankan sesuatu; sementara “tafrith” adalah menjalankan sesuatu secara berlebihan. Dengan kata lain, akhlak yang baik adalah mengambil jalan “moderat” atau tengah-tengah dalam segala hal.
Al-Ghazali kemudian mengutip hadis yang terkenal di mana Kanjeng Nabi Muhammad bersabda: Khair al-umur awsathuha; sebaik-baik segala hal adalah hal-hal yang ada di tengah-tengah. Dari hadis inilah kemudian muncul istilah “wasathiyyah” atau moderasi. Ciri agama Islam ialah wasathiyyah, yaitu selalu mengambil titik tengah antara dua titik ekstrem.
Mencari titik tengah tidak gampang karena kondisi masing-masing orang yang berbeda-beda. Begitu pun kondisi waktu dan tempat mengharuskan seseorang untuk menerjemahkan ajaran tengah-tengah ini secara berbeda-beda pula.
Contoh sederhana: dalam hal konsumsi makanan, tentu apa yang disebut dengan “tengah-tengah” di situ berbeda antara anak-anak yang masih dalam kondisi pertumbuhan dan orang dewasa. Kebutuhan asupan makanan yang tengah-tengah antara dua golongan umur itu tentu berbeda. Salah satu ajaran penting al-Ghazali adalah bahwa manifestasi akhlak dalam situasi yang kongkrit bisa berbeda antara satu orang dan orang lain. Dengan kata lain, akhlak bersifat situasional.
Meski demikian, kaidah dasar dalam ajaran akhlak ala al-Ghazali tetaplah sama dalam segala situasi dan tempat: yaitu menjaga titik moderasi atau tengah-tengah. Kenapa demikian? Al-Ghazali menjelaskannya sebagai berikut.
Sebagaimana dimaklumi semua pihak, tujuan pokok manusia dalam hidup adalah meraih kebahagiaan (al-sa’adah; atau “eudamonia” dalam bahasa Yunani). Bagi seorang yang mengimani adanya kehidupan setelah mati, tentu kebahagiaan tertinggi dan sejati adalah kebahagiaan di kehidupan abadi kelak. Kebahagiaan sementara di dunia ini tetap perlu diusahakan, tetapi bukan merupakan tujuan utama.
Kebahagiaan yang sejati ini hanya bisa diperoleh ketika seseorang kembali ke Asal-nya nanti, yaitu kepada Allah sebagai “the final destinantion” (tujuan akhir), dengan hati yang bersih. Kata kunci yang harus di-stabilo di sini ialah “hati yang bersih”. Yang menjadi standar penilaian Allah di kehidupan kelak bukanlah kekayaan atau status sosial seseorang saat hidup di dunia, melainkan “hati yang bersih”.
Al-Ghazali mengutip sebuah ayat untuk menegaskan pentingnya memiliki hati yang bersih ini: “Illa man ata-l-Laha biqalbin salim” (QS 26:89). Dalam kehidupan kelak nanti, anak-anak dan harta tak lagi berguna untuk menolong seseorang; yang dapat menolong hanyalah hati yang “salim”, selamat dan bersih dari segala kotoran.
Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih di sana? Yaitu hati dan jiwa yang lepas dari kemelekatan terhadap dunia; sebaliknya, ia hanya melekat kepada Allah saja. Al-Ghazali mencontohkan: seseorang yang kikir atau terlalu “royal” membelanjakan hartanya, keduanya tidak memiliki hati yang bersih.
Seseorang yang kikir selalu dihantui oleh pikiran untuk “ngekepi” (al-imsak) atau menahan hartanya rapat-rapat. Sementara seseorang yang terlalu royal, hatinya akan selalu memikirkan bagaimana caranya membelanjakan uangnya tiap hari. Kedua situasi itu tidak ideal, karena menyebabkan hati seseorang rusuh, galau, terganggu. Hati dan jiwa yang berada dalam situasi semacam itu tiadalah “salim” atau bersih.
Sifat kedermawanan atau sakha’ ditandai dengan keseimbangan antara dua hal yang ekstrim, yaitu “taqtir”, yaitu kikir, tidak mau mengeluarkan harta sama sekali untuk disedekahkan kepada orang lain, dan “tabdzir” yaitu menghambur-hamburkan harta tanpa batas.
Begitu pula apa yang disebut sifat berani (syaja’ah): ia adalah titik tengah antara “jirih” atau takut berlebihan (al-jubnu) dan sikap berani yang ngawur tanpa pertimbangan nalar yang sehat. Sikap berani yang dipuji sebagai akhlak yang baik bukan berarti “berani melangkah secara ngawur yang bisa mencelakakan diri sendiri”. Begitu pula sifat ‘iffah, yaitu kemampuan menahan diri untuk tidak sembarangan mengonsumsi makanan dan minuman. ‘Iffah adalah akhlak yang baik. ‘Iffah lahir dalam bentuk kemampuan menjaga titik tengah antara “kerakusan” (al-syarah) dan hilangnya hasrat dan selera untuk makan dan minum sama sekali (al-khumud).
Sikap moderat semacam ini menjadi sesuatu yang berharga dalam zaman di mana kita hidup saat ini. Semangat utama yang menandai zaman ini adalah over-konsumsi, menggunakan dan memanfaatkan segala sesuatu “to the max”, hingga batas yang maksimal. Kesadaran tentang adanya batas hilang sama sekali. Selah-olah apa yang disebut bahagia adalah manakala seseorang bisa mengeksploitasi apa saja sampai ke batas yang paling maksimal.
Bahkan, di zaman ini, kerakusan dianggap baik, sebagaiman kata-kata terkenal sosok Gordon Gekko (dimainkan oleh Michael Douglas) dalam film Wall Street (1987): “… greed, for the lack of a better word, is good. Greed is right. Greed works.” Rakus (karena tak ada istilah lain yang lebih baik, boleh kita katakan) adalah sesuatu yang bagus. Rakus adalah benar. Rakus adalah tindakan yang bermanfaat.
Di tengah-tengah zaman dengan semangat seperti ini, ajaran al-Ghazali tentang moderasi tersebut amat berguna. Jika diterjemahkan dalam situasi sekarang: akhlak artinya ialah kemampuan menjaga diri untuk tidak “ambyur” atau tenggelam dalam semangat zaman yang serba memuja ekstrimitas itu.
Akhlak adalah kemampuan menahan diri, sikap puasa menghadapi segala godaan untuk “njomplang” ke kanan atau ke kiri.***
Oleh: Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.