WEJANGAN XIV
14 Ramadhan 1444 H
Sesuatu disebut akhlak manakala ia telah menjadi semacam “tabiat kedua” (second habit). Kenapa kedua? Karena ada tabiat lain yang disebut “tabiat pertama”. Setiap manusia lahir dengan “tabiat pertama”, yaitu sifat-sifat bawaan: misalnya cara berbicara, berjalan, bahasa tubuh yang khas, “plerokan” atau kerlingan mata, gerak mulut, dan sifat-sifat bawaan yang lain. Tabiat-tabiat ini disebut pertama karena ia muncul sebagai sifat bawaan sejak lahir.
Sifat-sifat ini mirip dengan bentuk tubuh. Setiap manusia lahir dengan bentuk dan warna tubuh tertentu. Manusia tidak memiliki pilihan lain selain menerimanya sebagai sesuatu yang “given”, terberikan sejak “mrocot” di dunia. Semuanya adalah “peparing” atau pemberian dari Tuhan. Tabiat pertama juga memiliki sifat yang sama: ia muncul sebagai sifat bawaan pada manusia sejak lahir. Tidak ada pilihan lain baginya kecuali menerima tabiat itu sebagai sesuatu yang telah “given”.
Manusia tidak dibebani secara moral dan hukum agama untuk mengubah tabiat pertama ini, sebagaimana ia juga tidak diwajibkan (bahkan tidak dianjurkan) untuk mengubah bentuk dan warna tubuhnya. Jika seseorang lahir dengan tubuh berwarna coklat, ia tidak selayaknya memaksa diri untuk berkulit putih. Usaha seperti malah memiliki makna ia tidak menerima dan rida dengan “peparing” atau pemberian dari Allah. Kita selayaknya menerimanya sebagai sikap “tunduk” (Islam; kata “Islam” secara harafiah maknya adalah “tunduk”) kepada-Nya.
Sesuatu disebut “tabiat” manakala ia telah menjadi sifat yang mendarah-daging pada seseorang. Ketika sesuatu telah menjadi tabiat, ia bisa dikerjakan oleh orang yang memiliki tabiat itu dengan gampang dan ringan, seringan pekerjaan makan, minum, tidur, makan, jalan kaki, dst. Kita mengerjakan sifat yang telah menjadi tabiat tanpa berpikir panjang lagi. Ia otomatis keluar begitu saja dari tubuh kita saat kita menghendaki untuk melakukannya.
Tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk “tabiat kedua”, yaitu menanamkan sifat-sifat baru pada seseorang begitu rupa sehingga sifat itu menjadi bagian yang alamiah dalam dirinya. Ketika sifat itu telah menjadi “alamiah” pada seseorang, ia akan bisa memproduksi pekerjaan yang mencerminakan sifat itu tanpa berpikir panjang lagi. Ia akan otomatis keluar dari tubuhnya secara otomatis.
Perumpaan yang sederhana adalah sopir. Ketika baru belajar menyupir, seseorang akan selalu berpikir terlebih dahulu setiap akan melakukan gerakan, entah belok kanan, kiri, menghidupkan lampu sen (sign), dst. Apalagi saat mau menyalip, seseorang yang sedang belajar berkendara akan deg-degan luar biasa. Keringatnya bisa “gembrobyos”, bercucuran. Ini semua karena ketrampilan menyupir belum menyatu dengan dirinya, belum menjadi “tabiat”. Ketika ketrampilan sudah mendarah-daging, ia bisa menyupir dengan sat-set tanpa berpikir lagi. Setiak geraknya muncul secara natural, secara mulus.
Akhlak kira-kira seperti itu. Tujuan pendidikan akhlak haruslah diarahkan ke sana: membentuk tabiat kedua.
Karena itu, al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai: “hai’atin fi al-nafsi rasikhatin ‘anha tashduru al-af’alu bi-suhulatin wa yusrin min ghairi hajatin ila fikrin wa rawiyyatin.” Yaitu keadaan tertentu dalam diri seseorang yang dari sana lahir tindakan-tindakan secara mulus dan mudah, tanpa pikir panjang. Dengan kata lain, sesuatu itu telah menjadi tabiat.
Karena itu, akhlak pada akhirnya adalah semacam “mental pre-disposition”, kecenderungan kejiwaan pada seseorang. Akhlak bukan sekedar tindakan lahiriah oleh tubuh kita. Tindakan hanyalah “bahasa” yang menerjemahkan pre-disposisi mental itu. Ini mirip dengan hubungan antara pikiran dan bahasa. Pikiran tidak terlihat, tetapi bahasa bisa dilihat dengan cara didengar. Bahasa hanyalah ungkapan dari pikiran yang tersembunyi.
Dengan demikian, akhlak mirip dengan pikiran. Sementara tindakan tubuh adalah “bahasa” yang mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa, yaitu akhlak. Akhlak tidak bisa dilihat. Yang bisa kita lihat adalah tindakan tubuh manusia yang mengungkapkan akhlak. Akhlak “loman” atau dermawan, misalnya, tidak bisa dilihat. Yang bisa dilihat adalah tindakan bersedekah yang dilakukan seseorang melalui anggota tubuhnya (misal: tangannya mengulurkan sedekah itu).
Ketika seseorang sudah memiliki pre-disposisi tertentu, maka ia telah memiliki akhlak. Ketika suatu sifat belum melekat pada jiwa manusia dan menjadi pre-disposisi ia belum menjadi akhlak. Ia masih merupakan sesuatu yang “ekstrinsik” alias di luar jiwa. Belum menjadi sesuatu yang “intrik” atau di dalam roh seseorang. Mendarah-daging.
Tujuan pendidikan akhlak adalah menjadikan sifat-sifat yang semula masih “ekstrinsik” menjadi “instrinsik”.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.