Menu

Mode Gelap

Wejangan · 4 Apr 2023 07:30 WIB ·

Al-Ghazali dan “Zaman Edan”


 Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College. Perbesar

Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

WEJANGAN Xlll
13 Ramadhan 1444 H

Selama ini, al-Ghazali dikenal sebagai pengritik pedas para filsuf melalui karyanya yang kondang, “Tahafut al-Falasifah”. Yang kurang diketahui ialah kritiknya yang tak kurang pedas kepada para ulama, terutama ulama fikih. Utamanya kritik itu terarah kepada mereka yang oleh al-Ghazali disebut “ulama’ al-rusum”;  ulama yang hanya memahami agama melalui tulisan saja (rusum), tidak sampai kepada hakekat dan intinya.

Dalam pembahasan yang lalu telah diulas bahwa jiwa yang sakit ialah jiwa yang gagal menjadikan Allah sebagai tujuan utama. Jiwa yang sakit ialah jiwa yang “ngglambyar”, yang perhatiannya tersebar ke mana-mana, terutama terarah kepada dunia. Jiwa yang sehat ialah jiwa yang terisi dengan ilmu. Sementara itu pengetahuan yang terbaik ialah segala pengetahuan yang membawa pemahaman tentang Allah sebagai fondasi, dasar, dan asal-usul dari segala yang ada. 

Dengan kata lain, ilmu terbaik ialah ilmu yang membawa kesadaran ini: kesadaran tentang Allah sebagai Sumber segala sesuatu. Ini tidak mesti ilmu agama, sebab ada orang-orang yang belajar ilmu-ilmu agama (istilah al-Ghazali: ‘ulum syar’iyyah) tetapi tidak memiliki kesadaran tersebut. 

Sebaliknya ada orang-orang yang belajar ilmu-ilmu umum (istilah al-Ghazali: ‘ulum ‘aqliyyah) tetapi memiliki kesadaran spiritual itu. Dengan kata lain, ilmu agama tidak menjamin seseorang memiliki sifat “khasyyah” atau “takut” kepada Tuhan. Takut di sini bermakna: menyadari kehadiran Allah dalam setiap faset dalam hidup seseorang.

Jika tanda “cinta kepada Allah” adalah menjadikan-Nya sebagai fokus dalam hidup, dan tidak memandang dunia sebagai sesuatu yang lebih berharga dari-Nya, maka, kata al-Ghazali, hampir semua jiwa manusia pada dasarnya sakit. Dengan kadar yang berbeda-beda, hampir semua jiwa manusia terkena penyakit. Kerapkali kita sendiri malahan tidak sadar bahwa jiwa kita sedang sakit.

Kenapa demikian? Sebab, mana ada manusia yang dalam hidupnya tidak pernah jatuh cinta pada dunia, tidak bermimpi punya rumah dan kendaraan yang mentereng, tidak ingin memiliki status sosial yang tinggi agar dihormati masyarakat? Semua orang, dalam salah satu faset dari hidupnya yang panjang, pastilah pernah memiliki mimpi-mimpi hidup yang berpusat pada dunia seperti itu. Jiwa yang demikian itu, menurut al-Ghazali, sakit atau sekurang-kurangnya kurang sehat.

Kita ketahui, dokter untuk jiwa/roh adalah para ulama. Mestinya jiwa-jiwa yang sakit diobati oleh para ulama. Sementara, dan di sinilah kritik pedas al-Ghazali, para ulama sendiri telah ikut-ikutan “kedanan” alias tergila-gila pada dunia, sama dengan orang-orang awam yang tidak memiliki ilmu. Para ulama yang mestinya bertugas mengobati roh manusia juga terkena penyakit hati yang sama.

Kritik al-Ghazali ini tentu diarahkan kepada para ulama yang hidup pada zamannya, yaitu kira-kira pada abad ke-10 dan 11 Masehi di daerah Baghdad (tempat mengajar al-Ghazali saat masih muda) dan Khurasan (persisnya di kota Thus, tanah kelahiran al-Ghazali dan tempat ia melewatkan akhir hayatnya). Menurutnya, apa yang disebut dengan “thibb al-qulub” atau kedokteran rohani sudah mulai ditinggalkan dan dijauhi oleh masyarakat, karena hampir semua orang “ambyur” atau menceburkan diri dalam dunia, melupakan Allah sebagai tujuan utama dalam hidup. Dunia menjadi pusat perhatian utama.

Bahkan, kata al-Ghazali, tindakan-tindakan yang dari sisi luarnya tampak seperti ibadah, jika dikuliti lebih jauh akan kelihatan bahwa di baliknya ada pamrih-pamrih duniawi; ada pretensi pamer kepada khalayak ramai agar seseorang dipandang sebagai saleh dan relijius. 

Membaca kritik semacam ini, kita bisa merasakan semacam frustrasi al-Ghazali melihat keadaan masyarakat di sekitarnya, baik masyarakat terdidik (ulama) maupun masyarakat awam. Dua-duanya sudah terlanda oleh penyakit jiwa yang sama. Semua orang sudah “kedanan dunia”, tergila-gila pada godaan-godaan material. 

Bahkan ibadah yang tampak dari luar memiliki label agama pun dikerjakan untuk meraih keuntungan-keuntungan material. Tentu keadaan semacam ini kita lihat terulang kembali di zaman sekarang. Jika memakai istilah pujangga besar Jawa Ranggawarsita (1802-1873 M), manusia sudah hidup dalam “zaman edan, yen ora edan ora kumanan” (zaman gila; yang tidak ikut gila tidak mendapat bagian).

Lalu apa solusinya? Apakah dunia sudah tidak bisa diselamatkan? Tentu saja tidak. Solusinya adalah menghidupkan kembali semangat dasar ilmu-ilmu agama. Karena itu al-Ghazali mengarang kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama). 

Al-Ghazali menulis kitab ini dengan tujuan pokok: mengingatkan kembali bahwa tujuan pokok ilmu adalah agar manusia ingat kepada tujuan yang paling “ultimate”, tinggi, dalam hidup: yaitu Allah dan kehidupan kelak. Mempelajari ilmu, terutama ilmu agama, tidak boleh ditujukan untuk meraih kekayaan material atau status sosial yang mentereng di dunia ini.

Kritik ini bermanfaat bagi kita sebagai pengingat agar tetap “eling lan waspada”. Ini tidak berarti: dunia harus diabaikan. Tidak. Dunia penting, tetapi hanya sebatas sebagai “sarana”, bukan “tujuan utama”, untuk menuju kehidupan kelak.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College. 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 219 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan