Menu

Mode Gelap

Wejangan · 24 Mar 2023 06:01 WIB ·

Al-Ghazali tentang Akhlak yang Cantik dan Akhlak yang Buruk


 Sumber: maalysitubondo.ac.id Perbesar

Sumber: maalysitubondo.ac.id

WEJANGAN II
02 Ramadhan 1444

Sebagaimana sudah dijelaskan dalam bagian yang lalu, al-Ghazali melihat manusia sebagai makhluk dengan dua dimensi: lahir dan batin, luar dan dalam, jasad kasar dan jasad halus. Seseorang memiliki jasad luar yang sempurna jika secara fisik ia simetris dan seimbang. Seseorang disebut “ngganteng” atau “cantik” jika ia memiliki semua anggota tubuh secara sempurna; ia memiliki dua mata, dua telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, dan organ-organ jasad luar yang lain. Jika memiliki semuanya, seseorang disebut sebagai manusia yang sempurna. Jika ada kekurangan pada dirinya dalam salah satu organ itu, maka ia tidak bisa disebut sempurna; ia memiliki kekurangan.

Hal yang sama juga berlaku untuk roh dan jiwa yang merupakan jasad halus dalam diri manusia. Seseorang memiliki jiwa yang “cantik” dan “ngganteng” jika terdapat empat “organ” ini secara seimbang. Empat organ itu berupa kekuatan atau daya dalam diri manusia; al-Ghazali menyebutnya “al-quwwah” atau “forces”. Empat daya itu ialah: marah, syahwat, ilmu, dan keadilan. Jika keempat organ ini ada pada jiwa manusia, maka ia memiliki akhlak yang indah; memiliki jiwa yang cantik; memiliki jasad halus yang sempurna. Jika ada ketidak-seimbangan antara empat daya itu, maka ia memiliki kekurangan dalam jiwanya. Jiwanya menjadi buruk, tidak cantik.

Mari kita bahasa satu per satu empat daya itu.

Manusia perlu memiliki daya yang disebut dengan marah (ghadlab). Melalui daya inilah manusia mempunya dorongan untuk mempertahankan diri jika menghadapi serangan dan ancamanan yang bisa mencelakainya. Daya marah (quwwah al-ghadlab) serupa dengan benteng yang melindungi manusia dari serangan musuh. Daya inilah yang membuat seseorang melakukan gerak pertahanan diri ketika hendak dipukul oleh orang lain. Tanpa daya ini, maka manusia tidak memiliki hasrat untuk mempertahankan diri. Tanpa daya ini manusia akan gampang menyerah dan membiarkan dirinya dicelakai oleh orang. Tanpa daya ini, manusia sebagai spesies akan gampang punah. Daya marah lah yang memungkinkan manusia bisa “survive”, bertahan.

Daya kedua adalah hasrat (syahwah). Agar “survive”, manusia membutuhkan daya ini. Melalui daya ini, manusia memiliki hasrat untuk mengonsumsi makanan dan minuman, sehingga ia bisa tegak, hidup, dan bertahan. Jika daya ini tidak ada, seseorang bisa mengalami malnutrisi, sakit, dan jika tidak segera mendapatkan asupan makanan yang cukup, ia bisa mati dan punah.

Tuhan menciptakan manusia dengan dua daya ini sebagai sarana dan “wasilah” untuk ketahanan jasad manusia. Ini adalah bagian dari nikmat Tuhan yang amat besar bagi manusia, selain nikmat “wujud” atau ada itu sendiri. Dengan menyadari bahwa dua daya ini adalah bagian dari nikmat Allah, kian besar dorongan untuk bersyukur pada seseorang. Sementara, syukur adalah bagian dari cara sederhana untuk bahagia. Syukur adalah menyadari bahwa hal-hal yang pada kita bukanlah sesuatu yang sepele, sesuatu yang normal, sesuatu yang memang seharusnya ada. Syukur adalah menyadari bahwa sesuatu yang ada pada kita adalah hal yang spesial sehingga kita harus mensyukurinya.

Dua daya di atas tidak akan sempurna jika tidak disertai dengan dua daya yang lain ketiga: yaitu ilmu/pengetahuan dan keadilan.

Daya ketiga, yaitu pengetahuan, memungkinkan manusia untuk mengetahui segala hal yang bermanfaat bagi dirinya. Tanpa daya itu, manusia bisa menggunakan dua daya sebelumnya –marah dan syahwat—secara sembarangan. Daya inilah yang memberikan kepada seseorang kemampuan untuk membedakan mana makanan dan minuman yang bermanfaat, mana yang tidak. Daya ini pula yang membuat seseorang bisa memakai daya marah secara tepat. Daya marah yang dipakai secara kurang tepat bisa mencelakai seseorang.

Daya keempat, yaitu keadilan, adalah daya untuk menyeimbangkan. Daya inilah yang membantu seseorang menggunakan daya syahwat dan marah secara proporsional. Setiap orang memiliki syahwat atas makanan dan minuman; memiliki dorongan yang alamiah untuk marah dan naik pitam. Akan tetapi daya syahwat ini harus disertai dengan daya keadilan sehingga seseorang bisa mengendalikan hasrat makan itu dalam batas-batas yang wajar. Tanpa daya ini, syahwat makan bisa “mblandhang” atau lari tanpa kontrol dan akibatnya bisa mencelakai orang bersangkutan. Begitu pula daya marah; harus dikendalikan dengan daya keadilan itu. Tanpa kendali daya ketiga itu, daya marah yang semula berguna untuk menolong manusia agar survive akan berbalik menjadi sumber kecelakaan dan kepunahan bagi dirinya.

Jika empat daya atau “organ batin” ini bekerja secara lengkap dan seimbang dalam jiwa manusia, maka, menurut al-Ghazali, ia bisa disebut sebagai seseorang yang memiliki roh yang “ngganteng” dan “cantik”. Dengan kata lain, ia memiliki akhlak yang baik. Akhlak yang baik dan cantik terjadi ketika keempat daya-daya di atas bekerja secara sempurna dan seimbang pada roh manusia. Seseorang memiliki akhlak yang buruk dan tidak cantik manakala daya-daya itu berjalan secara “njomplang”.

Segala sesuatu yang “njomplang” dalam pengertian tidak simetris, pastilah buruk dan tidak enak dipandang mata.***

Oleh: Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 1,439 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan