WEJANGAN I
01 Ramadhan 1444 H
Al-Ghazali menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terdiri dari dua dimensi: dimensi “luar” dan “dalam”. Dimensi luar tercermin dalam jasad/tubuh yang bisa dilihat dengan panca-indera. Dimensi ini, dalam bahasa Arab, disebut, “khalqun”. Sementara dimensi “dalam” tercermian dan jiwa dan ruh manusia yang tidak bisa dilihat oleh panca-indera. Dalam bahasa Arab, ini disebut “khuluqun” atau “akhlaq”. Dengan kata lain, manusia memiliki dimensi lahir dan dimensi batin; memiliki jasad kasar dan jasad halus. Jasad kasar tampak dari luar, sementara jasad halus tidak tampak di permukaan. Yang mengetahui jasad halus hanya orang bersangkutan dan Allah.
Letak akhlaq berada dalam jiwa, roh; dalam jasad halus. Sumber akhlak adalah jiwa, tetapi ia diterjemahkan melalui jasad kasar berupa tubuh manusia. Ketika seseorang memiliki akhlak tertentu, misalnya kedermawanan, sifat itu ada dalam “jasad halus” manusia; dalam batinnya. Sifat ini hanya bisa diketahui ketika ia muncul keluar dalam bentuk tindakan dan perbuatan. Ketika seseorang menyedekahkan uang kepada orang lain melalui tangannya, barulah sifat atau akhlak kedermawanan itu “mecungul” atau muncul ke permukaan dan bisa dilihat oleh orang lain.
Itulah terjemahan akhlaq melalui tubuh manusia. Selama tindakan memberi uang lewat tangan itu belum terjadi, sifat kedermawanan itu akan tersembunyi di dalam jiwa manusia, seperti batu mulia yang tersembunyi di perut bumi. Supaya tampak, ia harus dikeluarkan di permukaan. Selama sifat kedermawanan itu masih tersembunyi dalam jiwa manusia, ia tidak dapat diketahui. Sifat ini baru bisa dilihat orang lain ketika ia muncul melalui perbuatan. Di sini, jasad halus dan jasad kasar bekerjasama, gotong royong, untuk mewujudkan akhlaq yang baik.
Sesuatu disebut “akhlak” jika ia lahir dari dalam diri manusia, dari rohnya, bukan sekedar sesuatu yang dikerjakan oleh anggota tubuh semata. Tindakan tubuh bisa menipu orang lain, dan inilah yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang memberi uang kepada orang lain, itu belum tentu menandakan adanya sifat kedermawanan pada orang itu. Boleh jadi, sifat dasar orang itu adalah “medhit” atau kikir. Tetapi karena dorongan pamer, atau keinginan agar tindakannya diliput oleh media massa, ia “terpaksa” bertindak seolah-olah seperti seseorang yang benar-benar dermawan. Dalam contoh seperti ini, tindakan tubuh manusia, yaitu memberi kepada orang lain, tidak menandakan adanya sifat kedermawanan pada orang itu. Karena ia tidak keluar dari dalam roh manusia. Ia hanya tindakan luar saja. Ia seperti “jerangkong” atau zombi yang tanpa roh.
Akhlak hanya bisa muncul ketika ia dihasilkan oleh kerjasama dan gotong-royong yang kompak antara jiwa dan badan, antara hati dan tubuh, antara jasad halus dan jasad kasar. Akhlak baik yang tidak dieksekusi melalui tubuh ibarat roh yang gentayangan tanpa jasad. Sementara tindakan yang baik yang tidak keluar dari jiwa yang baik ibarat zombi atau mayat yang bergerak. Ia bergerak, tetapi tidak ada nyawa dalam dirinya. Tindakan seperti itu tiada beda dengan tindakan robot yang mekanistis.
Itulah sebabnya dalam sebuah hadis yang terkenal, Kanjeng Nabi Muhammad bersabda: Sesungguhnya Tuhan tidak melihat jasad dan bentuk luar kalian, melainkan Dia melihat hati kalian.***
Oleh: Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.