Menu

Mode Gelap

Wejangan · 25 Mar 2023 08:01 WIB ·

Apakah Akhlak Bisa Berubah?


 Sumber: maalysitubondo.ac.id Perbesar

Sumber: maalysitubondo.ac.id

WEJANGAN III
03 Ramadhan 1444 H

Jika seseorang “sudah terlanjur” memiliki akhlak yang buruk, apakah ia bisa berubah dan memiliki akhlak yang baik? Jika bisa, bukankan watak manusia itu ibarat anggota tubuh yang sulit diubah? Jika seseorang terlahir dengan tubuh pendek, jelas ia susah mengubah bentuk tubuhnya itu bukan?

Tetapi, jika akhlak tidak bisa diubah, lalu apa gunanya pendidikan dan pengajaran? Bukankah pendidikan dilakukan, antara lain, untuk mengubah akhlak seseorang? Jika sifat akhlak adalah “mbejegek”, permanen, tidak bisa diubah, kenapa repot-repot mengirim anak-anak kita ke lembaga pendidikan? Bukankah itu tindakan sia-sia?

Jadi, bagaimana pendapat al-Ghazali mengenai perkara ini?

Memang benar, dalam bagian sebelumnya, al-Ghazali membuat perbandingan antara “khalqun” (tubuh luar; jasad kasar) dan “khuluqun” (tubuh yang terembunyi; jasad halus). Menurutnya, seseorang yang memiliki akhlak yang cantik dan baik adalah mirip dengan seseorang yang memiliki tubuh yang sempurna — dalam pengertian semua organ tubuh ada secara lengkap, tiada kurang sedikitpun: mata, hidung,  mulut, telinga, tangan, kaki, dll. Orang yang berakhlak baik sama dengan orang yang memiliki tubuh yang normal dan sempurna.

Sebagaimana kita senang melihat seseorang yang memiliki anggota tubuh yang sempurna, begitu pula kita merasa nyaman manakala melihat seseorang yang memiliki akhlak yang baik. Melihat sesuatu yang cantik dan indah menimbulkan rasa nyaman pada jiwa manusia, baik keindahan lahiriah atau batiniah.

Sedikit catatan: perbandingan antara “khalqun” dan “khuluqun” seperti ini jangan diartikan bahwa al-Ghazali menganjurkan agar kita memandang rendah orang-orang yang memiliki kekurangan dari segi fisik. Istilah yang dipakai sekarang: “people with different abilities” atau diffable, yaitu mereka yang memiliki kemampuan fisik yang berbeda.

Sama sekali tidak. Ini hanya perbandingan untuk memudahkan kita memahami masalah akhlak ini. Terhadap orang-orang yang memiliki kekurangan secara fisik, Islam jelas mengajarkan agar kita menghormati dan mengasihi mereka. Kita tidak boleh menghina mereka dengan sebutan-sebutan yang menyakiti hati.

Al-Ghazali berpandangan bahwa akhlak jelas bisa diubah. Seseorang yang memiliki akhlak yang buruk bisa diajar pelan-pelan untuk berubah agar memiliki akhlak yang baik. Meskipun perubahan akhlak itu membutuhkan waktu yang panjang. Perubahan akhlak terjadi dengan amat pelan sekali. Saking pelannya, al-Ghazali menyerupakan perubahan akhlak dengan pertumbuhan kuku dan rambut manusia.

Kuku dan rambut kita jelas tumbuh setiap saat; tetapi kita tak bisa melihat pertumbuhan keduanya dengan mata telanjang. Saking lambat dan pelannya pertumbuhan itu, kita bahkan tidak merasakan bahwa kuku kita terus bertambah panjang setiap detik.

Begitulah perubahan akhlak: pelaaaaan sekali, sepelan pertumbuhan pohon-pohon di kebun kita. Sebab, akhlak itu terletak di dalam jiwa dan roh. Akhlak adalah semacam “disposisi”, yaitu kecenderungan batin yang menetap pada jiwa manusia. Akhlak, sebagaimana diterangkan dalam bagian sebelumnya, bukanlah sekedar pekerjaan badan. Akhlak memang “keluar” dan tampak melalui tindakan tubuh manusia; tetapi akhlak bersumber dalam diri manusia, dalam roh dan jiwanya.

Mengubah akhlak tidak segampang mengulurkan tangan untuk memberikan sedekah kepada orang lain. Uluran tangan seperti itu tidak serta merta pertanda bahwa orang bersangkutan adalah seorang dermawan. Jangan-jangan, watak asli orang itu adalah kikir, tetapi demi membangun image di medsos agar tampak sebagai orang yang dermawan ia bisa terpaksa bersedekah. Ia lalu membagikan foto saat sedekah itu di akun medsosnya, agar tampak kesan di publik bahwa dirinya adalah seorang yang benar-benar dermawan. Ia berharap dapat pujuan, like, endorsement, validasi, konfirmasi, dan dukungan dari orang lain. Padahal watak asli orang itu amat berlawanan.

Demikianlah, perubahan akhlak memang bisa dilakukan, tetapi membutuhkan waktu yang amat panjang. Ia membutuhkan apa yang disebut dengan “riyadat al-nafs”, latihan jiwa. Sebagaimana seorang atlit sepakbola butuh waktu yang lama untuk melatih keterampilan menggocek bola, begitu juga jiwa manusia: butuh waktu yang lama untuk menyetap kebiasaan-kebiasaan baru, akhlak baru yang baik.

Tetapi menghancurkan akhlak yang baik tidak butuh waktu yang lama. Dalam waktu sekejap, akhlak baik yang dibangun dalam waktu yang lama bisa lenyap secara cepat. Karena, membangun memang butuh waktu lama. Sementara menghancurkan sebuah bangunan hanya butuh waktu sekejap saja.***

Oleh: Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 1,647 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan