WEJANGAN XVI
16 Ramadhan 1444 H
Dalam beberapa seri tulisan sebelumnya, saya banyak memakai istilah “jiwa” tanpa memberikan penjelasan yang memadai mengenai apa maksudnya. Dalam tulisan ini saya mau sedikit “mundur” beberapa langkah untuk mencoba menguraikan pandangan al-Ghazali mengenai sejumlah istilah kunci, misalnya “jiwa” (nafs), “hati” (qalb), dan “roh” (roh). Ketiga istilah ini memiliki pengertian yang mirip-mirip. Dalam tulisan ini saya hanya akan menyoroti pengertian “jiwa” menurut al-Ghazali.
Istilah “jiwa”, manakala dipakai dalam konteks pembicaraan orang Indonesia saat ini, akan menimbulkan asosiasi makna tertentu. Misalnya, jiwa identik dengan “penyakit jiwa” atau “rumah sakit jiwa”. Jiwa punya pengertian yang kurang sedap. Makna asosiatif ini bisa mengganggu pemahaman kita tentang maksud utama al-Ghazali ketika memakai istilah itu dalam konteks pembicaraan mengenai akhlak.
Istilah “jiwa” dalam doktrin al-Ghazali jangan dijumbuhkan dengan istilah itu dalam konteks psikologi modern. Jiwa dalam wacana psikologi modern cenderung dimengerti secara sederhana sebagai “kajian ilmiah tentang hubungan antara pikiran (mind) dan tindakan (behavior).” Jiwa direduksi sebatas sebagai cara untuk menjelaskan kenapa manusia bertindak begini dan begitu. Kajian psikologi modern jelas penting, tetapi bukan segala-galanya.
Ada wilayah kajian lain yang tak kalah (atau malah lebih) penting tentang jiwa. Yaitu jiwa sebagaimana dipahami oleh para guru kebajikan (hukama’), sufi, dan pencari kebenaran yang sejati (“truth seekers” atau “salik”). Jiwa di mata mereka bukan sekedar (atau malah sama sekali tidak identik dengan) “mind”. Jiwa memiliki kaitan dengan dimensi kehidupan lain di luar alam kodrati atau materi ini.
Jiwa, sebagaimana dimaknai oleh al-Ghazali, adalah “lathifah rabbaniyyah”: organ halus dalam diri manusia yang bersifat ketuhanan. Ia bukan sekedar organ biasa yang hanya menjalankan fungsi tertentu dalam diri manusia sebagai “sistem yang menyeluruh”. Bukan. Jiwa adalah esensi kemanusiaan itu sendiri. Manusia layak disebut sebagai manusia karena ada “jiwa” di dalam dirinya. “Hiya al-insanu bi al-haqiqati”, kata al-Ghazali dalam Ihya’. Jiwa adalah sesuatu yang dengannya manusia menjadi manusia, dan bukan binatang.
Di dalam hewan terdapat pula “jiwa”; disebut oleh para filsuf muslim sebagai “al-nafs al-hayawaniyyah”, jiwa kehewanan. Tumbuh-tumbuhan juga memiliki jiwa, yaitu “al-nafs al-nabatiyyah”, jiwa floral atau tumbuh-tumbuhan. Jiwa kehewanan adalah daya dalam diri hewan yang menyebabkannya memiliki hasrat untuk kawin dengan lawan jenis. Jiwa floral adalah daya dalam tumbuh-tumbuhan yang menyebabkannya bisa tumbuh-berkembang. Melalui jiwa inilah tumbuhan-tumbuhan bisa menyerap makanan dari lingkungan sekitarnya untuk menunjang pertumbuhannya. Ini berbeda dengan bebatuan yang inorganik (tidak bernyawa) yang sama sekali tidak bisa menyerap makanan dan karena itu tidak tumbuh.
Dua jiwa itu (jiwa kebinatangan dan tumbuhan) ada pula pada manusia. Ketika manusia hendak kawin atau memiliki nafsu marah, jiwa kehewanan sedang bekerja dalam dirinya. Sementara, ketika manusia hendak makan agar tidak sakit, maka jiwa tumbuh-tumbuhanlah yang sedang beroperasi dalam dirinya.
Tetapi manusia lebih dari sekedar binatang dan tumbuhan. Manusia memang melakukan aktivitas seksual, tetapi aktivitasnya ini diatur dengan norma yang njlimet. Lihat betapa rumitnya adat pernikahan di Jawa, Sunda, Tanah Minang, Aceh, Bugis, Makssar, dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Sama dengan binatang dan tumbuhan, manusia juga membutuhkan makanan untuk tumbuh dan bertahan. Tetapi cara manusia makan dan bagaimana makanannya dihasilkan, diatur melalui proses-proses sosial-kultural yang amat rumit. Perkara makanan dalam kehidupan manusia bukan barang sepele. Ia merupakan peradaban sendiri yang kaya. Setiap suku dan bangsa memiliki peradaban makan yang kaya. Bahkan ada sekolah yang khusus menangani soal tata-menata makanan ini: sekolah tata-boga. Binatang selain manusia tidak mengenal tata-boga.
Kenapa demikian? Karena di dalam diri manusia ada jiwa yang lain, yaitu jiwa dalam pengertian yang dipahami oleh al-Ghazali; jiwa dalam pengertian “lathifah rabbaniyyah”, organ halus dalam diri manusia yang bersifat ketuhanan. “Halus” di sini artinya tidak bisa diindera seperti organ-organ tubuh luar. Dia tersembunyi, gaib. Karena itu para sufi kadang menyebutnya “sirr”. Jiwa manusia adalah “sirr”, rahasia yang menjadikan manusia menjadi manusia, bukan binatang biasa.
Jiwa dalam pengertian seperti ini sudah hilang sama sekali dalam wacana sains modern yang sudah mengalami proses over-sekularisasi. Manusia dalam wacana sains modern yang dominan sekarang diturunkan derajatnya menjadi sekedar binatang pada umumnya. “Animal”.
Karena jiwa bersifat “rabbaniyyah”, ketuhanan (divine), ia menjadi semacam “jembatan penghubung” antara manusia sebagai makhluk yang tinggal di bumi dengan dunia malaikat yang ada di langit. Jiwa yang bersifat ketuhanan inilah yang menjadi tempat persemaian akhlak. Karena manusia memiliki jiwa yang seperti inilah, Tuhan mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran.
Binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak mengenal nabi dan rasul, karena di dalam diri mereka tidak ada jiwa dalam pengertian “lathifah rabbaniyyah” itu.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College