WEJANGAN XV
15 Ramadhan 1444 H
Inti akhlak, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali, adalah mengambil jalan tengah di antara dua titik ektrem. Syahwat makan, misalnya, adalah hal yang alamiah pada manusia. Tetapi tidak semua kegiatan makan memenuhi standar akhlak. Makan yang mengikuti akhlak adalah makan yang “moderat”, yang tengah-tengah. Jika syahwat terlalu lemah tidak baik. Jika berlebihan juga tidak baik. Yang ideal adalah di tengah-tengah.
Begitulah, ajaran “jalan tengah” ala al-Ghazali ini harus dipraktekkan dalam semua hal jika seseorang ingin berada di jalan akhlak. Hanya saja, di permukaan, ajaran jalan tengah ini tampak sederhana dan gampang. Ada titik ekstrem kiri dan kanan, lalu kita tinggal mengambil jalan tengah saja. Apa susahnya, son?
Senyatanya, jalan tengah tidak segampang itu.
Al-Ghazali bahkan mengatakan bahwa jalan tengah dalam segala perkara itu “fi ghayat al-ghumudl”, amat samar dan sulit dideteksi. Ia bahkan menggambarkan bahwa jalan moderat itu lebih halus dari rambut, lebih tajam daripada pedang (ahaddu min al-saif). Ringkasnya: jalan tengah amat sulit ditempuh. Karena mencari titik tengah yang benar-benar “tengah” itu amat susah.
Yang justru lebih mudah adalah condong ke kiri atau ke kanan. Yang paling gampang adalah melakukan segala sesuatu dengan “njomplang”. Sebab mengerjakan sesuatu secara tidak seimbang dan njomplang biasanya lebih sesuai dengan hawa nafsu manusia, karena itu mudah sekali.
Bayangkan pemandangan berikut ini: pesirkus (tukang sirkus) yang harus berjalan di atas seutas tali dalam ketinggian yang cukup membuat para penonton merinding. Pesirkus itu berjalan pelan sekali. Ia harus menjaga keseimbangan agar tidak condong ke kanan atau kiri. Begitu “meleng” sedikit, dia tentu akan langsung jatuh . Dalam situasi seperti itu, mana yang lebih mudah? Berjalan seimbang dengan hati-hati, atau miring ke kanan atau kiri? Jawabannya jelas: menjaga titik keseimbangan bagi pesirkus jauh lebih susah. Yang jauh lebih gampang ialah miring kanan atau kiri. Untuk miring seperti itu anda tidak perlu latihan.
Orang-orang yang tak terlatih dalam ketrampilan sirkus sudah pasti akan langsung jatuh saat mulai berjalan beberapa senti saja di atas tali. Untuk bisa mencapai ketrampilan pesirkus, seseorang butuh latihan yang lama. Selama menjalani “riyadlah” atau latihan itu, tentu ia jatuh “gedebug” berkali-kali.
Demikianlah, menempuh jalan tengah atau moderat bukanlah perkara mudah. Karena itulah, menurut al-Ghazali, tak ada manusia yang dalam hidupnya tak pernah “meleng” alias miring ke kanan atau kiri. Jarang ada orang yang lurus di jalan tengah sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, tak ada manusia yang lepas dari dosa. Sekali dua kali ia pastilah pernah “meleng” atau salah. Itulah sebabnya, kelak di akherat, setiap orang akan menjalani “pencucian” terlebih dulu (sebut saja: proses “purgatorio”) di neraka sebelum akhirnya selamat masuk surga. Sebab tak ada orang yang tak pernah berdosa (dalam pengertian berpaling dari jalan tengah) selama hidup di dunia. Tak ada.
Inilah, kata al-Ghazali, makna ayat dalam Qur’an: “Wa in-minkum illa wariduha.” (QS 19:71) Tak ada seorang pun dari kalian kecuali nanti akan pernah merasai neraka terlebih dahulu. Itulah sebabnya kelak di akherat, syafa’at atau pertolongan (dalam bahasa Inggris biasa diterjemahkan sebagai “intercession”) amat diperlukan; pertolongan dari para nabi atau orang-orang saleh. Orang-orang yang seharusnya melewati proses pencucian di neraka, berkat syaf’at tersebut, bisa langsung bablas masuk sorga.
Inilah juga kenapa kita, kata al-Ghazali, diharuskan berdoa minimal tujuh belas kali setiap hari untuk agar ditunjukkan “jalan moderasi”. Itulah doa yang termuat dalam surat al-Fatehah yang kita baca setiap salat: ihdina al-shirath al-mustaqim. Tunjukkanlah jalan lurus, yaitu “jalan tengah” antara dua titik ekstrem. Jika jalan tengah itu gampang ditempuh, kenapa kita mesti susah-susah berdoa berkali-kali setiap hari?
Kanjeng Nabi Muhammad sendiri mengakui betapa susahnya menemukan jalan tengah yang benar-benar tengah. Begitu susahnya hingga, dikisahkan dalam sebuah hadis, Nabi mengeluh: “Surat Hud dalam Qur’an telah membuat uban-ubanku keluar (“shayyabatni Hudun”). Seorang sahabat yang penasaran lalu bertanya: Kenapa demikian, wahai Nabi? Nabi menjawab: Karena dalam surat Hud itu ada ayat yang bunyinya “fastaqim kama umirta” (maka berjalan luruslah engkau sebagaimana diperintahkan).
Jika jalan tengah mudah, kenapa Nabi harus keluar uban karena memikirkannya? Jelas ini menandakan betapa tak mudahnya mencari jalan tengah itu. Orang-orang yang menganggap jalan tengah itu seolah-olah mudah dan indah pastilah tidak mengalami sendiri betapa susahnya mencari dan menemukan jalan semacam itu.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.