WEJANGAN VII
07 Ramadhan 1444 H
Akhlak, sebagaimana telah diulas sebelumnya, akan terwujud manakala seseorang memiliki kemampuan akal yang bisa menyeimbangkan antara daya marah dan daya syahwat. Ketika keseimbangan itu tercapai, di sanalah hadir apa yang disebut dengan akhlak. Pertanyaannya: bagaimana seseorang bisa memperoleh daya akal yang bisa menyeimbangkan semacam ini? Apakah murni karena anugerah Allah saja, atau manusia bisa mengusahakannya? Tulisan ini akan mengulas ajaran al-Ghazali tentang daya i’tidal atau keseimbangan ini.
Keseimbangan ini bisa diraih karena dua hal. Pertama, murni karena anugerah Tuhan berupa fitrah yang normal dan sempurna. Dengan anugerah fitrah seperti ini, seseorang mendapat karunia Tuhan berupa akal yang sempurna, tabiat alamiah yang baik, dan kemampuan mengatasi godaan-godaan yang datang dari daya syahwat dan marah. Orang-orang semacam ini, menurut al-Ghazali, mampu meraih pengetahuan tanpa melalui perantaraan guru (yashiru ‘aliman bi-ghairi ta’allumin). Mereka ini mampu meraih adab tanpa ada seseorang yang mengajarinya adab (mu’addaban bighairi ta’addubin).
Dengan kata lain, mereka ini mendapatkan pengetahuan dan akhlak langsung dari Allah melalui proses pengilhaman. Jenis orang-orang seperti ini tidaklah banyak. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat karunia seperti ini. Contohnya adalah para nabi.
Kedua adalah melalui proses yang disebut “iktisab”, yaitu usaha keras berupa “mujahadah” (memerangi hawa nafsu) dan “riyadlah” (latihan rohani; orang Jawa menyebutnya: “riyalat”). Sebagian besar manusia ada pada jalur ini. Inilah jalur normal untuk meraih akhlak yang baik. Jalan ini membutuhkan waktu yang panjang dan latihan yang konsisten secara kontinyu. Ini mirip dengan seorang atlit olah-raga yang membutuhkan waktu lama untuk mengasah ketrampilan tertenu.
Al-Ghazali memberikan contoh sederhana. Seseorang yang ingin menjadi seorang dermawan (al-jawad), ia harus melatih diri dengan agak sedikit memaksa untuk melakukan tindakan kedermawanan. Ia harus melewati tahap awal: yaitu memaksa diri menjadi dermawan. Pada tahap ini, seseorang belum benar-benar bisa disebut sebagai dermawan, sebab ia belum bisa melakukan tindakan kedermawanan itu dengan alamiah. Dia masih harus memaksa-diri.
Menurut al-Ghazali, suatu sifat tertentu bisa disebut akhlak ketika ia sudah mendarah-daging dalam diri manusia, sehingga yang terakhir ini bisa mengerjakan sesuatu secara alamiah, tanpa paksaan. Seseorang bisa disebut sebagai memiliki akhlak kedermawanan ketika ia menyedekahkan hartanya secara enteng, tanpa berpikir panjang, tanpa berhitang-hitung, sebab sifat kedermawanan telah menyatu dengan dirinya. Ia bersedekah dengan ringan, seringan tindakan makan, mandi, atau pekerjaan-pekerjaan sehari-hari yang lain. Jika suatu sifat telah melekat pada jiwa seseorang seperti ini, maka ia telah menjadi akhlak bagi orang itu. Ia telah menjadi “tabiat kedua”.
Kita bisa membikin analogi dengan seorang pemain kungfu. Ketika seseorang masih pada tahap belajar, jurus-jurus kungfu belum menjadi bagian dari dirinya, belum merasuk ke dalam otot-otot dan saraf-sarafnya, sehingga ia butuh berpikir dulu berlama-lama sebelum menjajal sebuah jurus. Ketika jurus-jurus itu sudah merasuk ke dalam saraf-saraf tubuhnya, ia bisa memproduksi jurus tersebut tapa berpikir terlebih dahulu. Persis seperti seorang anak yang bisa berbicara dengan lancar tanpa berpikir rumit tentang tata-bahasa. Sebab bahasa telah merasuk ke dalam saraf-saraf otak anak itu.
Inilah yang disebut akhlak. Orang memerlukan latihan yang panjang sebelum sampai ke tahap akhlak.
Kembali ke contoh awal tentang seseorang yang belajar menjadi seorang dermawan: ia butuh latihan lama hingga sifat kedermawanan itu merasuk ke dalam saraf-saraf jiwanya. Sebelum tiba pada level ini, orang itu belajar pelan-pelan untuk menghayati sifat kedermawanan, misalnya dengan cara memaksa diri bersedekah kepada orang lain. Pada tahap belajar ini, bersedekah belum menjadi “tabiat kedua” bagi orang bersangkutan. Inilah jalan normal yang bisa ditempuh oleh banyak orang untuk meraih akhlak yang baik; jalan “iktisab”, yaitu kerja-keras dalam waktu yang lama.
Apa “pesan” yang bisa kita peroleh dari ajaran al-Ghazali seperti ini?
Pesannya sederhana saja: pendidikan karakter tidak bisa dilakukan dalam waktu yang pendek. Mereka yang berharap anak-anak bisa menyerap karakter yang baik melalui jalan instan, sesaat, cepat, apalagi melalui ceramah-ceramah verbal yang berbunga-bunga, akan kecewa. Karena bukan begitulah cara akhlak ditularkan kepada anak-anak. Akhlak hanya bisa ditularkan dengan latihan langsung dalam kehidupan sehari-hari, dalam waktu yang lama, melalui teladan hidup yang dilihat oleh anak-anak pada orang-orang di sekelilingnya.
Cara akhlak ditularkan kepada seseorang tidaklah sama dengan cara kita mentransfer pengetahuan atau informasi. Informasi bisa ditularkan secara instan dan cepat. Tetapi akhlak tidak.
Problem yang kita hadapi saat ini adalah: manusia modern terlalu terbiasa dengan budaya kecepatan dan ketergesa-gesaan. Makin cepat sesuatu, makin baik. Sayangnya, ini tidak bisa berlaku pada akhlak. Dalam hal akhlak, tak ada cara lain kecuali mengikuti “cara kuno”: yaitu cara “iktisab” itu — kerja keras dalam waktu yang lama, seperti seorang pemain kungfu yang membutuhkan waktu tahunan untuk mempelajari satu jurus.
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.