Menu

Mode Gelap

Wejangan · 2 Apr 2023 06:33 WIB ·

Gradualisme dalam Pengajaran Akhlak


 Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College. Perbesar

Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

WEJANGAN XI
11 Ramadhan 1444 H

Yang dimaksud “gradualisme” adalah penahapan setapak demi setapak. Menurut ajaran Imam al-Ghazali, mengajarkan akhlak kepada seorang murid/salik harus gradual, tahap demi tahap, tidak bisa langsung “glondongan”, sak-dek-sak-nyet. Karena, seperti dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia akan mudah menyerap sifat-sifat baru secara pelan-pelan, tidak mendadak.

Sesuatu yang berat, jika dicicil sedikit demi sedikit, akan terasa ringan. Seorang yang sedang belajar menjadi lifter atau atlit angkat besi akan menjalani proses serupa. Jika sejak awal sang pelatih memintanya untuk mengangkat beban yang berat tanpa melalui proses persiapan yang panjang, tentu lifter itu akan “sempoyongan” mengangkat beban. Tetapi jika dia dilatih untuk mengangkat beban yang ringan, lalu pelan-pelan naik sedikit demi sedikit ke beban yang lebih berat, akan ada waktu yang cukup bagi otot-ototnya untuk melakukan adaptasi. Jika latihan ini dilakukan terus-menerus, lifter itu pada akhirnya akan mampu mengangkat beban berat tersebut.

Kata kuncinya sederhana: “adaptasi”. Tubuh manusia butuh waktu untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru. Demikian halnya dengan jiwa. Ingat penjelasan al-Ghazali tentang kaitan antara “khalqun” dan “khuluqun” pada bagian terdahulu, antara jasad kasar dan jasad halus. Keduanya saling kait-mengait, saling terhubung. Meski tidak mirip sepenuhnya, cara kerja tubuh dan jiwa hampir mirip-mirip. Dengan mengamati cara kerja badan semacam itu, kita akan mengetahui bagaimana cara “ngramut” atau merawat jiwa.

Al-Ghazali mengatakan: “wa min latha’if al-riyadlati”, salah satu kiat-kiat rahasia untuk riyalat adalah mengajarkan seorang murid/salik untuk meninggalkan sifat-sifat kotor (al-ru’unah) tidak secara sekaligus (ra’san). Melainkan secara pelan-pelan. Seorang murid seyogyanya diajak untuk berubah secara bertahap.

Contoh yang mungkin agak sedikit mengagetkan bagi sebagian orang adalah ini: jika seorang murid terbiasa minum lima botol minuman keras sehari, sang guru tak boleh langsung memerintahkannya berhenti sekaligus. Bagi sang murid, permintaan semacam itu boleh jadi amat berat.

Boro-boro berhenti, dia malah bisa memberontak dan menolak sama sekali perintah sang guru. Tujuan untuk mendidik murid itu bisa gagal total. Karena itu, ada baiknya sang guru memintanya untuk mengurangi minum secara pelan-pelan, dari lima botol menjadi empat, tiga, begitu seterusnya. Secara perlahan ia akan meninggalkan kebiasaannya itu. Ini mirip dengan menyapih bayi: perlu kesabaran dan langkah pelan-pelan agar bayi itu tidak kaget.

Dalam bahasa al-Ghazali, murid diajak untuk pindah dari akhlak tercela yang berat ke akhlak tercela yang lebih ringan (ila khuluqin madzmumin akhara akhaffa minhu). Apakah hal ini bukan berarti secara tak langsung sang guru memerintahkan kemaksiatan? Tidak. Ini hanya teknik pedagogi atau pengajaran moral saja. Ketika sang guru memerintahkan murid mengurangi konsumsi minum, bukan berarti ia memerintahkan untuk melanggar larangan agama. Sama sekali tidak.

Al-Ghazali memberikan perumpamaan lain yang menarik. Kita ketahui, darah menurut hukum fikih adalah najis (kotor). Jika baju kita terciprati darah, dan tidak bisa dibersihkan kecuali dengan air urine atau kencing (atau, dalam konteks sekarang, alkohol), maka tidak jadi soal menyucikan baju yang terkena darah itu dengan sesuatu yang najis, yaitu air kencing atau alkohol. Hanya saja setelah darah itu hilang, ia harus “dibilas” dengan air suci. Jadi, ujungnya harus tetap dicuci dengan air, meskipun dalam perjalanannya baju itu dicuci terlebih dahulu dengan cairan najis.

Tidak soal melakukan maksiat yang lebih ringan jika hal itu diniatkan sebagai bagian dari proses pelan-pelan untuk meninggalkan maksiat yang lebih besar, dan akhirnya lepas dari maksiat itu sama sekali.

Kenapa demikian? Sekali lagi: gradualisme. Manusia kerapkali tidak bisa berubah menjadi orang baik dalam sekejap. Manusia diciptakan Tuhan dengan “cetakan” tertentu, baik cetakan itu berkenaan dengan tubuh atau jiwa. Cetakan ini mengikuti pola dan sunnah tertentu. Salah satunya ialah sunnah atau hukum penahapan itu. Sudah selayaknya, ketika sedang berusaha mengajar jiwa untuk menyerap sifat-sifat yang terpuji, kita mengikuti hukum ini.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 389 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan