Wejangan XXVIII
28 Ramdhan 1444 H
Anda mungkin pernah mendengar istilah “otodidak”, yaitu orang yang mengajari dirinya sendiri, tanpa bergantung kepada seorang guru. Sebetulnya, hampir tidak mungkin seseorang belajar otodidak secara murni. Sebelum sampai kepada tahap otodidak, ia harus memenuhi syarat-syarat tertentu hingga ia mampu belajar mandiri. Minimal, ia sudah memiliki dasar-dasar yang paling elementer.
Ia, misalnya, harus telah menguasai kecapakan membaca, mengerti konsep-konsep dasar dalam pelbagai ilmu, mengerti cara menalar dengan benar, dsb. Jika seseorang tidak bisa membaca, bagaimana ia bisa otodidak dalam bidang-bidang yang memang membutuhkan bacaan?
Karena itu, hampir tidak mungkin seseorang melakukan otodidak secara murni. Mungkin perkecualian berlaku pada para nabi dan rasul yang mendapatkan ilmu secara “penuh” tanpa melalui proses membaca atau usaha-usaha yang lain. Dalam mayoritas kasus, otodidak hanya bisa dilakukan manakala seseorang sudah pernah berguru sebelumnya untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan dasar.
Apalagi dalam konteks kehidupan rohani, keberadaan guru amat niscaya. Seorang “salik”, yakni penempuh perjalanan kerohanian, tidak bisa “wushul” atau sampai kepada tujuan yang dikehendaki jika tidak didampingi oleh seorang guru. Al-Ghazali menyerupakan hal ini dengan salat jama’ah. Salat berjama’ah tidak sah tanpa adanya seorang imam. Imam, dalam konteks “suluk” atau perjalanan rohani, ibarat guru. Ialah yang memandu gerak-gerik batin kita, melatihnya agar selalu “on track”, dalam jalur yang benar, sebagaimaan imam dalam salat bertugas memandu gerak-gerik makmum.
Ajaran al-Ghazali tentang pentingnya guru ini semestinya berlaku bukan saja bagi seseorang yang sedang menjalani laku tarekat. Bukan. Ajaran ini seharusnya juga berlaku untuk orang-orang pada umumnya. Sebaiknya, seorang muslim memiliki satu guru yang akan menjadi teladan yang ia ikuti sepanjang hidup. Menurut al-Ghazali, yang wajib melakukan ijtihad bukan ulama saja. Seorang muslim awam memiliki kewajiban untuk “ijtihad” juga. Hanya saja, ijtihad orang awam beda dengan orang yang memiliki ilmu. Orang awam harus berijtihad untuk mencari seorang guru yang ia percaya dan ia jadikan teladan sepanjang hayat.
Sebab, “suluk” atau perjalanan menuju Allah bukan sesuatu yang mudah; penuh rintangan dan jebakan rohani yang bisa menggelincirkan. Seseorang bisa menyangka berada di jalan yang benar, eh, ternyata keliru. Apalagi di zaman “new age” seperti sekarang ini, zaman yang ditandai dengan “free market of spiritualities”, pasar bebas jalan-jalan spiritual. Banyak guru spiritual “palsu”; banyak jalan spiritual yang ditawarkan oleh para penjaja spiritualitas yang hanya memburu keuntungan material saja. Saat ini kita menyaksikan spiritualitas telah berubah jadi “komoditi” yang diperdagangkan untuk menangguk keuntungan material.
Di tengah zaman seperti ini, keberadaan guru yang bisa jadi teladan amat tidak terelakkan. Dalam kehidupan spiritual, anda tidak bisa bersikap sebagai seorang otodidak yang berjalan sendirian tanpa didampingi seorang guru “mursyid”. Tidak bisa. Apa yang disebut guru mursyid tidak mesti seorang guru tarekat. Tidak. Guru di sini ialah seseorang yang dipercaya karena kualitas kesalehan dan ke-wira’i-annya dan kemudian dijadikan panutan.
Menurut al-Ghazali, setelah melakukan ijtihad dan berhasil menemukan kiai yang bisa jadi guru, maka orang bersangkutan harus menjadikannya “pegangan” sepanjang hayat. Jangan pindah ke guru lain. Kiai, ustadz, ulama, atau dosen yang menjadi sumber pengetahuan atau rujukan bisa banyak jumlahnya. Tetapi guru yang menjadi “panduan spiritual” haruslah satu saja.
Sebagaimana dalam kehidupan bernegara hanya dikenal satu presiden, gubernur, atau bupati, maka demikian pula dalam “negara rohani”: hanya boleh ada satu guru yang menjadi panutan. Tentu saja ini tidak bermakna bahwa harus ada satu “guru spiritual” saja di sebuah daerah. Tidak. Guru bisa banyak jumlahnya, tetapi yang bisa dijadikan panutan oleh seseorang sepanjang hayat haruslah satu saja, agar tidak membingungkan. Setiap orang seperti sedang membangun “negara rohani” bagi dirinya masing-masing. Di dalam negara itu hanya boleh ada satu imam atau guru. Tidak boleh lebih dari satu.
Al-Ghazali membuat analogi atau perbandingan lain. Dan, memang, kekuatan al-Ghazali dalam kitab Ihya’ terletak dalam kemampuannya membuat perbandingan yang berbagai-bagai. Dalam Qur’an, perbandingan itu disebut “matsal”. Di lingkungan pesantren, istilah “matsal” itu biasa diterjemahkan dengan “tepa” sebagaimana sering dipakai oleh Gus Mus dalam beberapa pengajiannya.
Seseorang yang mengarungi “free market of spiritualities” (pasar bebas jalan-jalan spiritual) sendirian, tanpa panduan guru, kata al-Ghazali, adalah seperti pohon yang tumbuh sendirian, tanpa pendampingan seorang petani yang merawatnya secara rutin. Ketika hama menerjang, pohon yang semula tumbuh lebat dan subur bisa mendadak mati dan meranggas.
Dalam kehidupan rohani, anda tidak bisa hanya berguru secara “otodidak” dan “impersonal” kepada konten-konten yang ada di Youtube atau platform lain. Tidak bisa. Anda harus didampingi oleh guru yang benar-benar guru.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College