Menu

Mode Gelap

Wejangan · 17 Apr 2023 09:28 WIB ·

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan


 Sumber: NU Online Perbesar

Sumber: NU Online

WEJANGAN XXVI
26 Ramadhan 1444 H

Telah digambarkan dalam seri sebelumnya manusia yang menyadari akan kesementaraan hidup di dunia ini akan timbul dalam dirinya “iradah” atau kehendak untuk melakukan “suluk” atau perjalanan. Dengan perjalanan ini ia akan berharap sampai atau “wushul” kepada tujuan akhir, yaitu Allah sebagai sumber kebahagiaan sejati. 

Tetapi, setiap “salik” atau pejalan akan menghadapi dua kemungkinan. Ia bisa saja “wushul” atau sampai; ini kemungkinan pertama. Tetapi ada kemungkinan pula ia gagal sampai; dan inilah yang disebut pejalan yang terhalang (mahjub). Dia gagal mencapai tujuan, atau, sekurang-kurangnya, ia menghadapi banyak rintangan untuk meraih tujuan meski pada akhirnya bisa sampai pula. Rintangan inilah yang disebut “hijab” atau “sadd”.

Bagian ini akan mengulas rintangan-rintangan ini. Menurut al-Ghazali, ada empat rintangan: harta kekayaan, pangkat atau status sosial, taklid atau ikut-ikutan, dan terakhir melanggar larangan-larangan agama yang disebut maksiat. Keempat hal ini bisa merintangi perjalanan seseorang menuju kebahagiaan yang sejati. 

Rintangan-rintangan ini, jika ditelaah lebih jauh, adalah inti dari apa yang disebut “dunia”. Apa yang dicari seseorang di dunia ini bisa diringkas dalam empat perkara itu. Harta kekayaan: jelas, ini adalah bagian dari dunia yang menjadi fokus hampir sebagian manusia. Pangkat dan status sosial: seseorang biasanya tidak puas hanya dengan menikmati kekayaan saja; ia kepengen juga menikmati status sosial pula. Kekayaan yang tidak disertai status sosial jelas tidak memuaskan. 

Ikut-ikutan atau taklid: mayoritas manusia lebih menikmati menjadi pengikut saja, sebab dengan “mengikut-saja”, ia menikmati kenyamanan (comfort zone). Padahal, seseorang tidak bisa “wushul” atau sampai kepada Tuhan jika ia tidak memahami, mengalami, dan menyaksikan sendiri kebenaran syahadat. 

Tidakkah ia tahu bahwa syahadat disebut “syahadat”, tiada lain karena syahadat bermakna “kesaksian”. Kesaksian melalui lisan hanyalah pintu pertama. Ia harus diteruskan kepada kesaksian melalui hati. Kesaksian tingkat kedua ini tidak bisa jika hanya dilakukan secara ikut-ikutan saja. Seseorang harus mengalami sendiri kesejatian dari pengertian syahadat. Apa makna “tiada tuhan selain Allah”; apa pula makna “Muhammad adalah utusan Allah”. 

Terakhir adalah maksiat atau melanggar larangan agama. Ada satu hal yang mempersamakan keempat rintangan atau “sadd” ini, yaitu kenyamanan dan kenikmatan. Baik kekayaan, pangkat, taklid, dan maksiat, keempatnya mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman. Dunia memang mendatangkan kenyamanan bagi siapapun. Karena rasa nyaman di dunia inilah seseorang mengira bahwa ia adalah “dar al-qarar”, tempat permanen. Ia lupa bahwa kenyamanan-kenyamanan yang terjumpa pada dunia itu hanyalah kenikmatan sementara (instant gratification). Ia adalah kenikmatan palliatif: yaitu kenikmatan palsu yang mirip dengan balsem. Balsem adalah obat yang dioleskan di permukaan kulit. Ia menimbulkan kenyamanan sementara. Sementara penyakitnya sendiri tetap bertahan di balik permukaan, tidak tersembuhkan. Begitulah dunia: ia balsem yang menyamankan seseorang dalam sekejap, tetapi tidak bertahan lama. 

Yang menarik ialah kata “dunia” itu sendiri. Ia, dalam bahasa Arab, bermakna “sesuatu yang dekat dengan kita” (dana-yadnu-dunuwwan-dunya). Dunia amat dekat dengan kita. Kedekatan inilah yang sering menipu seseorang. Kedekatan ini kerap membuat seseorang bahwa ia (yakni dunia) adalah benar-benar sumber kebahagiaan sejati. Ia lalu lupa, lengah, dan alpa pada tujuan akhir dalam hidup. Dunia, dengan demikian, menjadi hijab, “sadd”, rintangan antara “salik” (pejalan) dan Tuhan. 

Dengan kerangka berpikir seperti ini, kita menjadi tahu bahwa akhlak yang sejati ialah akhlak yang berlandaskan pada kesadaran tentang kesementaraan dunia ini serta keabadian kehidupan di akhirat. Dengan kata lain: akhlak yang berdasar pada fondasi yang bersifat “metafisik”, sesuatu yang gaib, yaitu Allah (Swt). Akhlak semecam inilah yang bisa disebut akhlak yang kokoh. 

Ini perlu dikemukkan karena alasan berikut ini. Seseorang bisa saja memiliki akhlak dengan fondasi dan landasan lain, misalnya fondasi nalar atau fondasi kepentingan-kepentingan terbatas. Seseorang yang tidak beriman kepada Tuhan bisa memiliki akhlak yang baik dan bajik; dalam pengertian ia mampu bertindak baik kepada “liyan”. Pandangan hidup yang agnostik atau bahkan ateistik tidak menafikan sama sekali akhlak. Sebab akhlak bisa saja lahir dari pandangan hidup yang demikian itu. Tetapi, sekali lagi, akhlak yang demikian itu akan rapuh. Sebab ia tidak dilandasi pada keimanan kepada sesuatu yang gaib, yaitu Allah. 

Akhlak yang kokoh ialah yang dilandasi oleh pengalaman “wushul” atau sampai kepada Tuhan. Pengalaman wushul ini tidak bisa diraih kalau seseorang tidak bisa mengatasi keempat rintangan di atas. Rintangan yang paling besar, tentu saja, ialah kekayaan. Sebagaimana sudah saya tekankan dalam bagian sebelumnya, ini tidak berarti bahwa kekayaan harus dihindarkan sama sekali. Kekayaan akan menjadi rintangan untuk “wushul” ketika ia dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai wasilah saja untuk mencapai kehidupan abadi kelak. 

Dengan kata lain, akhlak yang kokoh ialah yang didasari pada kesadaaran tentang kesementaraan segala hal yang ada dunia ini. Inilah akhlak yang sejati. Kesanalah perjalanan manusia semestinya diarahkan.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College. 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 409 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Mendidik Anak ala al-Ghazali (3-terakhir)  

15 April 2023 - 08:20 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan