WEJANGAN XVII
17 Ramadhan 1444 H
“Jika Tuhan menghendaki seseorang menjadi manusia yang baik, Dia akan memberinya kemampuan untuk mengenali penyakit-penyakit dalam dirinya,” demikian kata al-Ghazali. Organ yang memungkinkan manusia mengenali penyakit diri ini disebut “bashirah”, yaitu mata jiwa atau mata hati. Jika Allah menghendaki seseorang menjadi orang baik, dia akan diberikan “bashirah”, mata jiwa yang tajam untuk mengenali penyakit-penyakit diri.
Yang menarik, dalam bahasa Arab kita kenal dua istilah yang bunyinya mirip tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Yaitu “bashar” dan “bashirah”. Istilah yang pertama bermakna: mata lahir, yaitu organ penginderaan yang ada di wajah kita. Istilah yang kedua bermakna: mata batin, mata jiwa. Mata ini tidak kelihatan, gaib.
Dalam beberapa kitabnya, al-Ghazali menjelaskan perbedaan yang signifikan antara dua mata ini, misalnya dalam kitabnya yang berjudul Mishkat al-Anwar. Salah satunya amat relevan disebut di sini. Ia mengatakan demikian: mata lahir hanya bisa melihat obyek di luar sana, tetapi dia tidak bisa melihat dirinya sendiri. Struktur mata lahir kita diciptakan begitu rupa sehingga tidak bisa melihat dirinya. Apakah mungkin mata Anda melihat mata Anda sendiri? Mungkin, tetapi melalui perantaraan cermin.
Sementara mata batin punya kemampuan melihat dirinya sendiri. Kemampuan inilah yang menjadi kekuatan dan keunggulan manusia. Mata batin, yaitu jiwa, memiliki kemampuan melihat diri sendiri dalam pengertian meneliti diri sendiri serta memeriksa kekurangannya. Istilah yang kerap kita pakai adalah: “otokritik”. Kegiatan otokritik sejatinya adalah jiwa manusia yang sedang melihat dirinya sendiri. Dalam masyarakat Jawa ada ajaran tentang “mulat sarira hangrasa wani” yang bermakna: berani melihat dan memeriksa kekurangan-kekurangan diri sendiri.
Kemampuan melakukan “mulat sarira” ini dimungkinkan melalui mata batin (bashirah). Mata batin mampu “melihat kedalam”, sementara mata lahir hanya mampu “melihat keluar”. Kemampuan melihat kedalam, menurut al-Ghazali, adalah pertAnda bahwa seseorang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik, “manusia pinilih”.
Menyadari bahwa seseorang sedang sakit adalah langkah besar menuju pengobatan. Sebab, tanpa kesadaran bahwa seseorang sedang sakit, mustahil mengharapkannya untuk berobat. Sebelum mau melakukan pengobatan (mu’alajah), seseorang harus memiliki kesadaran bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Jika dia merasa baik, kenapa mesti berobat. Sementara, kesadaran tentang sakit itu hanya bisa muncul melalui mata batin.
Menurut al-Ghazali, ada empat jalan menuju pengenalan kepada penyakit-penyakit diri. Pertama, melalui seorang guru yang memiliki kualitas spiritual untuk mengenal penyakit-penyakit jiwa (bashirun bi ‘uyub al-nafs). Tidak semua guru memiliki kualitas seperti ini. Hanya orang-orang tertentu yang masuk dalam kategori “murshid” atau pembimbing rohani yang mampu menunjukkan penyakit-penyakit jiwa. Bukan penyakit jiwa biasa, melainkan apa yang disebut al-Ghazali sebagai “khafaya al-afat”, penyakit-penyakit diri yang amat tersembunyi.
Al-Ghazali memberi contoh tentang penyakit diri yang tersembunyi itu. Kita ketahui bahwa seorang muslim diperintahkan memberikan nasehat kepada orang lain. Memberi nasehat jelas adalah tindakan kebajikan. Tetapi ketika Anda memberikan nasehat kepada orang lain, haraplah waspada. Sebab, saat menasehati orang lain, Anda bisa terserang “penyakit hati” berupa “kesombongan spiritual”.
Ketika Anda menasehati, Anda, secara tak sadar, merasa berada pada posisi yang lebih tinggi di atas orang yang Anda nasehati. Kesombongan semacam ini adalah bagian dari penyakit hati yang tersembunyi. Hanya guru murshid yang awas mata jiwanya yang bisa melihat penyakit ini dan memberikan obat penawar.
Kedua, melalui teman yang benar-benar akrab, begitu akrabnya sehingga berani berkata jujur tanpa khawatir akan putusnya tali persahabatan. Teman semacam ini oleh aleh al-Ghazali disebut sebagai “shadiqun shaduqun”, teman yang jujur dan (maaf jika saya kerap memakai istilah dalam bahasa Jawa, karena inilah bahasa yang saya kenal baik) “blaka suta”. Ketika Anda ingin memeriksa penyakit-penyakit diri, Anda kudu memiliki teman semacam ini. Bukan teman dalam pengertian “friend” seperti kita kenal di medsos. Sekarang, kata “teman” sudah mengalami inflasi.
Ketiga, belajar mengenali penyakit diri melalui musuh-musuh kita. Sebab, musuh umumnya memiliki kecenderungan “alamiah” untuk menguliti cacat dan kekurangan musuhnya. Karena itu, musuh bisa menjadi sarana efektif untuk mengenal penyakit-penyakit diri.
Keempat, perbanyaklah pergaulan dengan manusia lain, sebab dengan demikian Anda bisa mengenali penyakit-penyakit yang oleh orang pada umumnya dianggap sebagai penyakit. Dalam bahasa sekarang: perbanyaklah piknik sehingga Anda tidak “nglempuruk”, meringkuk dalam “echo chamber” Anda sendiri.
Orang yang soliter, sendirian di kamar, tidak banyak bergaul dengan orang lain, bisa kesulitan mengenali kekurangan-kekurangan dalam dirinya. Interaksi dengan orang ramai, karena itu, amat penting dan berfaedah.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College