Menu

Mode Gelap

Wejangan · 30 Mar 2023 07:03 WIB ·

Jangan Menganggap Enteng Dosa Kecil!


 Sumber: maalysitubondo.ac.id Perbesar

Sumber: maalysitubondo.ac.id

WEJANGAN VIII
08 Ramadhan 1444 H

Jiwa manusia memiliki sifat-sifat unik yang layak dikenali. Salah satunya ialah kelenturannya untuk beradaptasi dengan situasi apapun. Ia mirip dengan tanah liat yang basah: bisa diolah menjadi bentuk apapun sesuai dengan kehendak seorang seniman yang menanganinya. Ia bisa menjadi bentuk bundar, persegi, segi-tiga, atau bentuk-bentuk lain. Jiwa manusia memiliki karakter serupa.

Jiwa yang dibiasakan terhadap akhlak yang buruk akan pelan-pelan menyesuaikan diri dengannya, lalu menganggap sesuatu yang mula-mula tampak buruk itu menjadi sesuatu yang tampak baik. Sebaliknya, jiwa yang dibiasakan terhadap ibadah akan pelan-pelan beradaptasi dengannya. Ibadah yang semula terasa berat akan pelan-pelan menjadi pekerjaan yang menimbulkan rasa nikmat dan kebahagiaan.

Segala sesuatu bermula sebagai tindakan yang terasa berat. Pada tahap permulaan, seseorang akan merasa terpaksa melakukan kebiasaan baru. Pelan-pelan, setelah sekian lama mengerjakannya secara konsisten dan rutin, ia akan merasakannya sebagai hal yang nyaman. Ia tidak lagi merasakan pekerjaan itu sebagai sebuah paksaan.

Bayangkan keadaan berikut ini. Ketika anda tiba-tiba saja harus berendam di sebuah bak berisi air panas, tentu anda akan kaget. Tetapi keadaanya akan berbeda ketika anda masuk ke bak itu dalam keadaan kosong. Pelan-pelan anda mengisinya dengan air yang hangat, lalu secara pelan pula anda menaikkan temperatur air itu hingga ke titik tertentu yang sama dengan keadaan air panas pada contoh sebelumnya. Anda tidak akan kaget. Anda tidak merasa panas yang menyengat.

Kenapa demikian?

Karena, dalam contoh kedua ini, tubuh anda menyentuh air panas secara pelan-pelan, tidak mendadak. Dalam contoh yang pertama, tubuh anda kaget karena menyentuh air itu secara mendadak. Dalam contoh kedua, tubuh anda mengalami air panas secara gradual sehingga ia punya waktu untuk melakukan adaptasi.

Tubuh memiliki kelenturan dan daya suai yang mengagumkan. Begitu juga jiwa manusia, memiliki kelenturan yang sama. Daya kelenturan inilah yang menyebabkan tubuh manusia bisa dilatih untuk mengerjakan ketrampilan apapun. Mula-mula “kagok”, tetapi secara pelan tubuh kita bisa menyesuaikan dengan ketrampilan baru itu.

Kuncinya satu saja: latihan secara konsisten. Riyadlah, atau, dalam bahasa pesantren, “riyalat”. Segala kebiasaan baru bisa diadopsi, bisa diserap asal seseorang melakukan latihan secara konsisten, tanpa lelah.

Tentu saja, sebagaimana diulas dalam bagian sebelumnya, daya serap jiwa dan tubuh manusia terhadap kebiasaan-kebiasaan baru, akhlak baru, ketrampilan baru itu bisa berbeda-beda. Ada orang-orang yang, dalam bahasa al-Ghazali, “sari’ al-qabul”, cepat menyerap; ada yang “bathi’ al-qabul”, lambat belajar. Tetapi pada akhirnya, cepat atau lambat, seseorang bisa beradaptasi dengan, dan menyerap segala sesuatu yang baru.

Dengan kata lain, melalui pembiasaan secara pelan dan kontinyu, sesuatu yang semula terasa “aeng”, asing, dan “kagok” berubah menjadi akrab, biasa, dan enteng dikerjakan. Inilah cara kerja jiwa manusia.

Dengan mengenali watak jiwa seperti ini, kita harus waspada terhadap kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa kecil. Pada dirinya sendiri, dosa dan kesalahan kecil tidak akan punya dampak apa-apa. Ini mirip dengan satu noktah hitam yang melekat pada secarik kain putih yang lebar. Jika noktah itu hanya satu saja, ia tidak merusak keputihan kain itu. Tetapi jika noktah hitam itu bertambah terus, satu demi satu, ia akan mengubah kain yang semula putih itu menjadi hitam.

Dosa kecil yang hanya satu saja tidak akan menimbulkan perubahan apa-apa pada jiwa manusia. Tetapi dosa kecil satu biasanya mendorong seseorang untuk mencoba dosa kecil yang lainnya, begitu seterusnya. Karena merasa bahwa dosa kecil tidak menimbulkan dampak apa-apa, orang itu kemudian melakukan dosa kecil yang lain dengan anggapan, “ah, hanya dosa kecil saja, tidak menimbulkan dampak apa-apa.” Sikap meremehkan ini, jika bertahan terus, akan membuat seseorang menumpuk-numpuk dosa kecil yang banyak. Akumulasi dosa-dosa kecil itu akan menimbulkan noda besar pada jiwa manusia.

Dengan kata lain, karena meremehkan kesalahan kecil, seseorang, secara tak sadar, telah melatih jiwanya untuk melakukan kesalahan-kesalahan lain secara akumulatif. Tanpa ia ketahui, ia telah membiasakan diri dengan kebiasaan dan akhlak baru yang buruk. Perubahan terjadi secara lambat dan pelan, dan di luar kesadaran orang bersangkutan.

Itulah sebabnya: jangan menganggap enteng dosa kecil yang kelihatannya sederhana, tak menimbulkan dampak apa-apa. Dosa itu sendiri mungkin tidak terlalu bahaya, karena berskala kecil. Sikap meremehkan itulah yang amat berbahaya. Sebab, dari sana seseorang, tanpa disadarinya, akan membiasakan diri dengan dosa-dosa kecil yang lain.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

 

 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 414 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan