Wejangan XXIX
29 Ramdhan 1444 H
Akhlak tidak bisa ditanamkan ke dalam jiwa seseorang, jika ia tidak menjalani latihan atau “riyalat” terlebih dahulu. Tujuan riyalat ialah agar jiwa seseorang mengalami pembersihan (tahdzib). Seperti sebuah sawah, “riyalat” adalah semacam proses mengolah atau “membajak” tanah agar siap ditanami padi. Tanpa proses pembajakan seperti ini, tanaman padi tidak akan tumbuh subur. Demikianlah jiwa manusia: ia harus “dibajak” terlebih dahulu agar siap ditanami sifat-sifat luhur (akhlaq mahmudah).
Proses inilah yang ingin saya sebut di sini sebagai “jalan rohani”. Banyak jenis jalan rohani yang bisa ditempuh. Al-Ghazali menyebut empat jalan rohani yang telah diuji oleh para sufi di masa lampau: (1) menghindari keramaian atau “nyepi” (al-khalwah), (2) diam (al-shamt), (3) lapar (al-ju’), dan (4) melek di malam hari untuk ibadah (al-sahar). Keempat jalan ini dibutuhkan untuk “melenturkan” jiwa manusia. Jiwa yang lentur akan peka pada setiap rangsangan. Sementara jiwa yang mengeras akan tumpul dan sulit menyerap akhlak-akhlak mulia.
Dalam seri ini, saya akan menyorot secara khusus lapar sebagai jalan rohani. Sebelum tema lapar ini saya ulas lebih jauh, perlu dikemukakan sebuah “disclaimer”. Jika dikatakan di sini lapar adalah jalan rohani yang harus ditempuh, ini tidak berarti bahwa Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup dalam kelaparan. Sama sekali tidak.
Umat Islam harus hidup dengan terhormat. Umat Islam harus memiliki harga diri (self esteem) yang tinggi agar tidak tampak rendah di mata bangsa-bangsa lain. Umat yang lapar karena kemiskinan biasanya tidak memiliki harga diri dan kehormatan. Karena itu, upaya mengentaskan kemiskinan dan kelaparan adalah keharusan bagi umat Islam. Yang dimaksud lapar sebagai jalan rohani di sini ialah lapar yang dijalani secara sadar sebagai “laku rohani”, bukan lapar yang terpaksa ditanggung seseorang karena kemiskinan. Dengan kata lain, lapar sebagai pilihan. Lapar semacam inilah yang akan menjadi jalan rohani untuk pembersihan jiwa.
Lapar, kata al-Ghazali, akan membuat jiwa manusia menjadi lembut dan halus (riqqat al-qalb). Jiwa yang halus akan menjadi peka terhadap “mukasyafah”, yaitu tersingkapnya ilham atau pengetahuan/pengalaman rohani yang berasal dari Allah melalui perantaraan malaikat. Jiwa yang lembut akan mudah menerima cahaya dari “langit”. Sementara jiwa yang mengeras akan menyebabkannya ter-hijab dari cahaya Tuhan. Lapar adalah cara untuk menyingkirkan hijab penghalang ini.
Al-Ghazali mengutip kalimat bijak yang berasal dari Nabi Isa (as.): “Wahai murid-muridku (al-hawariyyun), laparkanlah perut kalian, agar jiwa kalian bisa melihat Tuhan”. Jiwa yang mengalami proses latihan rohani melalui pengalaman lapar akan menjadi jiwa yang bercahaya. Hal ini, sebetulnya, bisa kita buktikan melalui pengalaman empirik. Saat puasa, kita biasanya merasakan jiwa kita jauh lebih peka, lebih sensitif terhadap rangsangan-rangsangan positif. Saat puasa, apalagi dalam periode yang cukup panjang seperti puasa Ramadan, kita merasakan perubahan rohani dalam diri kita. Jiwa kita menjadi lebih halus seperti tanah sawah setelah di-“luku”. Kita merasa lebih ringan untuk melaksanakan ibadah dan kebaikan-kebaikan yang lain.
Jiwa yang lapar, sebagaimana dikatakan Nabi Isa dalam kutipan di atas, akan memudahkannya untuk melihat Tuhan. Tentu saja “melihat Tuhan” di sini tidaklah bermakna harafiah: melihat dengan mata fisik kita, melainkan “melihat” melalui batin, melalui akal, melalui fakultas mental kita. Ketika perut kosong, mata batin kita menjadi lebih tajam daya lihatnya. Ketika perut tidak terisi penuh, rohani kita berada dalam kondisi aktif.
Inilah yang menjelaskan kenapa Nabi Muhammad (saw.) mengajarkan agar seorang mukmin tidak memenuhi rongga perutnya dengan makanan dan minuman hingga penuh. Cukup dua pertiga saja. Harus ada ruang kosong dalam perut kita agar ada tempat bagi udara.
Tantangan berat yang dihadapi oleh seorang beriman yang hidup di zaman ini ialah menghadapi godaan konsumsi secara berlebihan. Kita, saat ini, hidup di era ketika produksi makanan berlangsung dengan melimpah, antara lain karena kemajuan teknologi makanan. Kita dihadapkan pada pilihan makanan yang beragam dengan harga yang cukup murah. Sementara itu, di pihak lain, kemampuan ekonomi umat Islam di Indonesia makin meningkat. Daya beli merekapun naik.
Dalam laporannya beberapa hari lalu, koran Kompas menurunkan liputan tentang bahaya penyakit gula atau diabetes bagi orang Indonesia. Bukan saja di Indonesia. Di seluruh dunia, penyakit gula adalah salah satu pembunuh paling fatal bagi manusia modern. Penyakit gula tiada lain adalah akibat dari pola hidup manusia modern yang berubah secara drastis gara-gara kemajuan teknologi makanan. Konsumsi makanan terjadi secara tak terkendali, sehingga muncullah gejala obesitas atau kegemukan dan penyakit gula.
Lapar yang diajarkan oleh para sufi sebetulnya bisa menjadi jalan keluar dari keadaan semacam ini. Lapar di sini bisa kita maknai secara lebih luas sebagai kemampuan mengendalikan diri dari over-konsumsi. Secara “lahir” lapar memiliki manfaat yang besar untuk menghindarkan tubuh kita dari penyakit-penyakit tubuh. Tetapi manfaat lapar yang jauh lebih besar ialah dari segi “batin”, yaitu manfaat bagi rohani kita. Lapar akan mendekatkan seseorang kepada Tuhan dan “alam malakut”, yakni alam para malaikat. Ketika manusia dekat secara rohani kepada alam malakut, kemanusiaannya akan naik. Manusia yang lapar akan mengalami mi’raj atau kenaikan rohani. Ia menjadi dekat dengan dunia para malaikat.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College