WEJANGAN XXIII
23 Ramadhan 1444 H
Mari kita lanjutkan pembahasan soal cara mendidik anak menurut al-Ghazali. Dalam bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa fondasi penting pendidikan anak, menurut al-Ghazali, adalah “pendikan pertama”. Pendidikan pertama ini hanya bisa diberikan oleh sang ibu melalui susu yang ia berikan kepada anaknya. Susu yang berasal dari makanan yang halal dan bersih (secara spiritual) berpengaruh besar pada pertumbuhan anak di kemudian hari. Orang tua sudah selayaknya memberikan perhatian ekstra pada pendidikan pertama ini.
Saat anak menginjak umur tertentu (yaitu tiga atau empat tahun) di mana ia sudah memiliki kemampuan “membedakan” (tamyiz) antara perbuatan yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, orang tua berusaha dengan keras untuk memastikan bahwa seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang kondusif. Dengan kata lain, lingkungan sekitar memiliki andil besar dalam pembentukan akhlak seorang anak.
Al-Ghazali mengatakan: seorang anak pada tahap ini harus dijauhkan dari “peer” atau teman-teman sepantaran (al-shibyan) yang bisa membawa pengaruh buruk. Misalnya, ia harus dijauhkan dari sesama anak-anak yang memiliki gaya hidup mewah (al-tana’’um wa al-rafahiyah). Ia juga harus dijauhkan dari pergaulan sosial yang “permisif” dalam pengertian: mendorong anak untuk mengerjakan hal-hal yang ia sukai, tanpa kontrol dan kendali. Dengan kata lain, seorang anak haruslah dihindarkan dari pergaulan yang serba membolehkan apa saja yang menyenangkan bagi anak-anak.
Sebab, kata al-Ghazali, tumbuh dalam lingkungan yang serba membolehkan apa saja, walau “apa saja” itu masuk dalam kategori sesuatu yang “mubah” alias halal dalam pandangan agama, bisa merusak watak dan jiwa anak. Sejak dini, seorang anak haruslah diberikan pengertian tentang pentingnya mengerti “batas”; sejak kecil, ia juga harus diajari tentang perlunya kemampuan “mengendalikan diri”, tidak membiarkan diri mengikuti dorongan nafsu secara “los”, tanpa kendali.
Seorang anak yang dibiarkan “los” sejak kecil (“uhmila”, dalam istilah al-Ghazali) alias dimanja dan di-“uja”, biasanya akan tumbuh sebagai anak dengan watak-watak yang buruk: suka bohong, dengki, mencuri-curi (jika keinginannya tidak dituruti), gemar mengadu domba (nammam), ngotot walau dalam posisi salah (lajujan), cenderung melakukan hal-hal yang tidak penting (dzu fudhulin), gemar tertawa secara tak terkontrol, dan cenderung bersekongkol untuk melakukan hal-hal yang keji (waqahah).
Ini semua hanya bisa dicegah jika seorang anak telah diajari untuk menjalani proses “ta’dib” alias pendidikan karakter sejak dini. Salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah menjauhkan anak dari lingkungan yang tidak sehat. Salah satu pendidikan karakter yang penting ialah mendengarkan kisah-kisah orang-orang baik (hikayat al-abrar). Kisah memiliki kedudukan yang penting dalam pendidikan di usia dini. Sebab, pendidikan yang hanya melolohkan ajaran-ajaran kebaikan secara verbal saja bisa membosankan bagi anak-anak. Sebaliknya kisah akan menarik minat mereka.
Demikian pula, seorang anak sudah seharusnya dikenalkan kepada “maktab” sejak dini. Yang dimaksud dengan maktab di sini ialah semacam madrasah, surau, atau pesantren. Jika dimaknai secara luas, “maktab” di sini bisa berarti lembaga-lembaga yang menjadi tempat pengajaran dan penyebaran ilmu, termasuk perpustakaan. Membiasakan anak sejak kecil untuk hanya berkenalan dengan tempat belanja (mall, supermarket, dll), sangat tidak dianjurkan. Sekali lagi, lingkungan di mana seorang anak tumbuh pada usia dini memiliki pengaruh yang amat penting dalam pembentukan akhlak yang mulia.
Ajaran lain yang amat penting dari al-Ghazali ialah ini: jika seorang anak melakukan perbuatan yang terpuji, ia sudah selayaknya mendapat pujian yang secukupnya (jangan sampai berlebihan). Pujian ini sebaiknya dilakukan di depan-depan orang lain sehingga memberikan dorongan dan insentif bagi untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan terpuji lainnya. Dengan kata lain, harus ada mekanisme “rewarding”, memberikan ganjaran pada anak saat ia bertindak benar dan baik.
Jika sekali-sekali seorang anak melakukan kesalahan (alias tidak terus-terusan), sebaiknya diabaikan saja; tidak usah dipermalukan di depan anak-anak yang lain. Apalagi jika anak bersangkutan melakukan kesalahan itu secara sembunyi-sembunyi. Bahwa ia melakukannya secara sembunyi sebenarnya menandakan bahwa ia menyadari kesalahannya.
Sebaiknya orang tua atau guru tidak sering-sering memarahi (al-‘itab) anak karena telah melakukan kesalahan. Tindakan semacam ini justru akan membuat seorang anak menjadi “kalis” alias tak mempan lagi jika dimarahi di lain waktu. Kebiasaan memarahi anak secara berulang-ulang membuatnya menjadi “cuek”. Situasi semacam ini harus dihindari.
Lagi pula, sering memarahi anak bisa menurunkan wibawa orang tua di mata seoranng anak. Merosotnya wibawa orang tua menyebabkan anak-anak kehilangan “role model” atau teladan di rumah, tempat yang seharusnya menjadi ruang pertama mereka untuk menumbuhkan karakter yang baik dan kuat.
Seorang anak juga jangan dibiarkan untuk terbiasa melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi (khufyatan). Sebab, demikian kata al-Ghazali, seorang anak tidaklah melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi kecuali karena ia sadar sedang melakukan hal yang buruk. Orang tua harus mendorong anak melakukan segala sesuatu secara terbuka.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.