Menu

Mode Gelap

Wejangan · 15 Apr 2023 08:20 WIB ·

Mendidik Anak ala al-Ghazali (3-terakhir)  


 Sumber: NU Online Perbesar

Sumber: NU Online

WEJANGAN XXIV
24 Ramadhan 1444 H

Ini adalah seri terakhir tentang cara mendidik anak menurut al-Ghazali sebagaimana ia uraikan dalam kitab Ihya’. Sebenarnya, tiga seri tidaklah cukup untuk menguraikan tema ini, sebab al-Ghazali menulis pembahasan yang agak panjang mengenai pokok soal itu. Tetapi saya akan mencukupkan diri hanya pada tiga seri ini sehingga bisa bergerak ke tema lain.

Jika kita telaah dengan cermat metode pendidikan anak sebagaimana dijarkan al-Ghazali, maka ada semangat pokok yang mendasarinya: yaitu “mengendalikan” anak agar jiwanya tidak tumbuh sebagai “jiwa liar tanpa kekangan” sama sekali. Inilah sejatinya semangat pendidikan anak dalam masyarakat tradisional pada umumnya, baik dalam Islam atau tradisi-tradisi lain.

Kita hanya akan bisa mengapresiasi metode tradisional ini jika kita membandingkannya dengan metode modern yang dipakai oleh mayoritas masyarakat saat ini. Semangat dasar pendidikan anak di era modern lebih condong kepada “membiarkan anak tumbuh sesuai dengan jati dirinya”. Semangat pendidikan modern adalah kemerdekaan (freedom), bukan menanamkan etos “al-imsak” atau mengekang agar jiwa anak tidak tumbuh liar. Ini, tentu, sangat bisa dimaklumi sebab kemerdekaan dan kebebasan adalah nilai yang dipandang amat penting dalam masyarakat modern.

Di sana diasumsikan bahwa dengan kemerdekaan itu seseorang akan mampu menemukan “jati diri”-nya yang sejati. Tugas pendidikan hanyalah memfasilitasi anak menemukan “the real self”, jati diri yang sejati itu, dengan kemampuannya sendiri. Kekangan, pengendalian, dan larangan yang terlalu berlebihan hanya akan menghalangi anak sampai kepada jati dirinya itu.

Ini berbeda dengan asumsi dalam pendidikan tradisional sebagaimana kita baca dalam kitab Ihya’. Asumsi yang menonjol di sana ialah semangat “mendisiplinkan”. Analogi yang selalu dipakai al-Ghazali dalam mendidik anak ialah binatang kendaraan (al-dabbah) seperti kuda atau unta. Sebelum jinak dan bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan bagi manusia, binatang itu haruslah melalui proses “ta’dib”, pendidikan yang dasar pokoknya ialah “penjinakan” agar keliaran binatang itu bisa dikendalikan. Jiwa anak mirip binatang yang perlu didisiplinkan. Jika tidak dididik, jiwa itu akan tumbuh seperti “binatang liar” yang tidak bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu.

Penjinakan jelas merupakan proses yang tidak nyaman, bahkan menyakitkan. Sebab, dalam proses ini seekor binatang “dipaksa” secara pelan-pelan untuk mengikuti aturan tertentu. Bahkan, jika perlu, ia akan dipecut manakala membangkang. Pecutan itu dimaksudkan sebagai pengondisian agar ia jinak dan mau mengikuti apa yang diajarkan oleh sang pelatih. Jiwa dipandang mirip seperti lilin. Dalam keadaan dingin, lilin akan memadat sehingga sukar dibentuk. Lilin akan menjadi lunak dan lentur (malleable) jika dipanaskan dalam derajat tertentu sehingga bisa direka menjadi bentuk-bentuk yang beragam.

Proses pemanasan ini haruslah pas dan proporsional. Sebab, jika terlalu panas, lilin akan mencair sehingga tidak bisa dibentuk. Manakala panas itu kurang, lilin akan cenderung masih padat. Jika dipaksa untuk dibentuk, lilin dalam keadaan seperti itu akan patah. Kuncinya ialah keseimbangan, proporsionalitas –nilai yang sangat ditekankan dalam kitab Ihya’.

Kunci kebaikan dalam segala hal ialah keseimbangan, tengah-tengah. Inilah asumsi dasar yang melandasi model pendidikan tradisional. Sementara semangat dasar yang dijunjung tinggi dalam modernitas adalah mendayagunakan segala utilitas atau kemanfaatan secara penuh. Maksimalisasi.

Karena itu, dalam pendidikan tradisional, ketegasan dan disiplin yang cenderung keras amat ditekankan dalam pendidikan anak. Sebab, pendidikan tidaklah dipandang sebagai proses yang nyaman seluruhnya. Ia adalah proses “penjinakan” jiwa manusia yang watak dasarnya liar. Penjinakan pastilah menyakitkan. Unsur kesakitan dan ketidak-nyamanan dipandang sebagai bagian yang intrinsik dalam proses mendidik.

Generasi lama, dalam satu dan lain cara, bisa dipastikan pernah mengalami pendidikan dengan disiplin yang keras dan spartan. Kadangkala pendisiplinan itu berlangsung begitu rupa sehingga melibatkan tindakan pemukulan. Generasi santri lama pastilah pernah mengalami pengalaman dipukul oleh sang guru karena melakukan kesalahan dalam melafalkan huruf-huruf tertentu dalam Qur’an, misalnya.

Istilah “pemukulan” dalam kepekaan masyarakat modern sekarang sudah tentu akan menimbulkan protes. Pemukulan akan memunculkan gambaran tentang kekerasan yang memerindingkan saraf-saraf orang modern. Mereka tidak menerima kekerasan dalam bentuk apapun dalam kehidupan, termasuk kekerasan yang, dalam pandangan masyarakat tradisional, ditolerir sebagai bagian dari proses penjinakan. Kekerasan harus dikutuk tanpa syarat.

Kekerasan seminimal apapun, dalam pandangan manusia modern, akan menganggu kesehatan mental. Isu kesehatan mental begitu penting bagi masyarakat sekarang. Asumsi yang melatari keprihatinan modern mengenai isu ini ialah: sebisa mungkin, manusia modern harus hidup dalam ruang yang aman dan nyaman.

Jonthan Heidt, seorang psikolog Amerika yang dikenal melalui bukunya “The Righteous Mind” (2012), mengatakan dalam sebuah video klip yang saya tonton baru-baru ini bahwa akibat dari keadaan-keadaan seperti ini, anak-anak modern akhirnya tumbuh sebagai manusia dengan jiwa yang cenderung lembek. Mereka tidak pernah “dipaksa” menjalani disiplin yang keras dalam pendidikan sebagai bagian dari proses penjinakan jiwa. Pendidikan dianggap sebagai proses yang seluruhnya harus “fun”, “playful”, menyenangkan dan sarat unsur permainan. Ini jelas kontras dengan semangat pendidikan lama yang amat menekankan disiplin yang keras.

Lalu bagaimana sikap kita? Tentu saja, model pendidikan lama tidak bisa kita pakai secara harafiah. Zaman sudah berubah. Kita, tentu, harus menyesuaikan diri. Tetapi, semangat pendidikan lama yang berladaskan pada disiplin keras itu tetap layak dipertahankan, walau dengan modifikasi dan penyesuaian di sana-sini. Apa yang dikatakan oleh Jonathan Heidt itu perlu dipertimbangkan. ***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 197 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan