Menu

Mode Gelap

Wejangan · 13 Apr 2023 09:07 WIB ·

Mendidik Anak ala al-Ghazali (1)


 Sumber: NU Online Perbesar

Sumber: NU Online

WEJANGAN XXII
22 Ramadhan 1444 H

Seorang anak, menurut al-Ghazali, adalah bak lembaran putih yang kosong dari gambar atau lukisan apapun.  Jiwa anak adalah mirip batu mulia yang berharga dan sederhana (jauharatun nafisatun sadzijatun). Ia adalah “tabula rasa” (meminjam istilah filsuf Inggris John Locke), “papan kosong” yang bisa diisi dengan data dan informasi apapun. Karena itu, pendidikan bagi anak adalah hal yang amat penting. Ia adalah amanat bagi kedua orang tua.

Jika anak dibiasakan pada hal-hal baik sejak dini, jiwanya akan pelan-pelan terbentuk menjadi baik. Sebaliknya, jika ia dibiasakan pada sifat-sifat buruk, jiwanya akan menyesuaikan diri dengan sifat-sifat itu. Dalam dua keadaan itu, kedua orang tuanya akan memperoleh pahala dan dosa sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan kepada anak-anak mereka. 

Kata al-Ghazali: jika kedua orang tua sangat ingin melindungi anak-anak mereka dari api dunia yang bisa mencelakai mereka, maka apatah lagi dengan api neraka di kehidupan kelak: sudah seharusnya orang tua lebih “adreng” untuk menghindarkan anak-anak mereka darinya. Yang menjadi soal adalah: banyak orang tua yang begitu sibuk melindungi anak-anak dari segala hal yang mencelakanan mereka di dunia ini, tetapi abai terhadap kecelakaan dan kesengsaraan yang abadi di kehidupan kelak. 

Lagi-lagi, seperti sudah saya tulis dalam bagian sebelumnya, ini berkaitan dengan watak manusia yang ‘ajulan–terburu-buru. Ia lebih mementingkan sesuatu yang hadir saat ini ketimbang sesuatu yang tak tampak di masa depan.

Berikut ini adalah cara mendidik anak menurut al-Ghazali. 

Langkah pertama ialah memastikan, anak-anak kita berada di tangan pendidik yang tepat. Pendidik pertama bagi anak-anak tentu saja adalah seorang ibu. Karena itu, seseorang yang hendak menikah haruslah memastikan ia akan menikah dengan seorang perempuan yang salehah. Sebab susu yang akan diminum oleh seorang bayi akan menentukan perkembangannya di masa depan. Susu seorang perempuan yang salehah adalah fondasi dasar bagi pertumbuhan jiwa seorang anak di kemudian hari.

Ini tidak berarti bahwa lak-laki/suami tidak memiliki tanggung-jawab mendidik anak. Sama sekali tidak. Tetapi, dalam pandangan al-Ghazali, tidaklah bisa dipungkiri bahwa pendidikan pertama yang seharusnya diterima oleh seorang anak adalah pendidikan dari sang ibu. Bapak dalam hal ini hanya menempati kedudukan sekunder. Pendidikan paling primer dari seorang ibu adalah susu yang diberikan sang ibu kepada anak-anaknya. Jika susu itu berasal dari makanan yang halal, ia akan menumbuhkan sifat-sifat yang baik pada anak-anak. Demikian pula sebaliknya.

Aspek “makanan halal” dalam pendidikan anak ini tampaknya sudah diabaikan dalam pendidikan modern. Tampak sekali pendidikan modern hanya sibuk bergulat dengan metode pengajaran, dengan aspek didaktik-metodik, seraya melupakan faktor penting, yaitu makanan yang dikonsumsi oleh seorang anak sejak bayi. Dalam semua teori pendidikan anak yang kita baca sejauh ini, hampir tidak ada perhatian pada aspek kehalalan makanan ini. Ini dianggap bagian dari “metafisika tradisional” yang sudah ketinggalan zaman.

Inilah yang membedakan metode pendidikan anak dalam tradisi lama dari metode-metode sekular yang umumnya diajarkan di universitas-universitas modern. Ini tidak untuk mengecilkan metode pendidikan modern. Metode-metode itu tetap penting dipelajari; tetapi kita tidak boleh melupakan “kearifan tradisional” dalam mendidik anak sebagaimana diajarkan oleh para ulama agung di masa lampau seperti al-Ghazali. 

Ketika mulai melihat tanda-tanda “tamyiz” pada seorang anak, orang tua harus mulai waspada dan memantau perkembangan anaknya itu. “Tamyiz” adalah tanda-tanda kedewasaan, yaitu kemampuan membedakan (tamyiz) antara yang baik dan buruk. Munculnya kemampuan ini bisa berbeda dari anak yang satu ke anak yang lain. Umumnya, kemampuan ini mulai muncul pada usia-usia dini, sekitar tiga hingga empat tahun. Pada usia itu, anak sudah mulai memahami konsep tentang baik dan buruk, walau dalam kadar yang amat sederhana.

Kemampuan “tamyiz” ini, menurut al-Ghazali, adalah anugerah dari Allah. Ia adalah semacam cahaya yang menyinari jiwa seorang anak. Tanda-tanda adanya “cahaya” ini adalah rasa malu (al-haya’) untuk melakukan hal-hal tertentu yang tidak patut. Orang tua haruslah bersyukur jika melihat tanda-tanda cahaya ini pada anak-anak mereka. Sebab ini adalah anugerah Allah yang amat besar.

Al-Ghazali mewanti-wanti para orang tua untuk memantau prilaku konsumsi makanan pada anak-anak. Sebab, syahwat pertama yang bercokol pada seorang anak adalah ya syahwat makan itu. Jika seorang anak tidak dibiasakan sejak dini untuk me-“manage” syahwat ini, akan berakibat buruk di masa depan. Nasihat al-Ghazali ini benar-benar “ringing the bell”, membunyikan lonceng, dalam pengertian “nyambung” dengan keadaan sekarang. Karena lalainya orang tua mengendalikan prilaku makan anak-anak, banyak muncul kasus obesitas pada anak-anak. 

Al-Ghazali sangat menekankan pentingnya orang tua memberi tahu pada anak-anak mereka bahwa “over-eating”, atau makan secara berlebihan, sangatlah berbahaya. Nasehat al-Ghazali: hendaklah orang tua memberi tahu anak-anak mereka bahwa makan berlebihan adalah mirip dengan prilaku binatang. 

Pembahasan pendidikan anak ala al-Ghazali masih panjang. Saya akan melanjutkannya dalam seri berikutnya.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 350 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan