WEJANGAN IV
04 Ramadhan 1444 H
Inti ajaran Imam al-Ghazali tentang akhlak sebenarnya sederhana: yaitu menghindari dua titik ekstrem. Titik ekstrem yang pertama adalah “ifrath”, yaitu sikap sembrono secara kebablasan. Kalau memakai bahasa pesantren: ndlewer secara berlebihan. Titik ekstrem yang kedua adalah “tafrith”, yaitu berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu. Dalam agama, ini disebut “ghuluw”.
Akhlak yang baik berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrem itu. Jika dikaitkan dengan dua daya manusia yang sudah diulas dalam tulisan sebelumnya, yaitu daya marah (ghadlab) dan daya hasrat (syahwah), maka titik ekstrem ifrath bisa dicontohkan dalam tindakan berikut: menghindari makan dan minuman secara berlebihan sehingga menyebabkan lemah dan lunglainya tubuh; atau tidak memiliki rasa marah sama sekali, bahkan ketika hak-hak orang bersangkutan dilanggar dan ditindas; sama sekali tak hendak membela diri. Kedua tindakan ini melambangkan titik ekstrem. Harus dihindari.
Sementara contoh titik ekstrem tafrith adalah: mengonsumsi makanan secara berlebihan sehingga mencelakai diri sendiri; atau melepaskan dorongan marah tanpa kendali sehingga membahayakan kehidupan orang lain. Dalam era medsos ini, misalnya, seseorang gampang marah, kadang tak terkendali, karena komentar yang “sengak” atau menjengkelkan dari orang lain.
Di zaman komunikasi digital di mana orang-orang bisa bersembunyi di balik keanoniman (tanpa identitas sama sekali), orang gampang tersulut emosinya karena respon verbal yang diberikan orang lain terhadap posting-an atau unggahanyang ia lakukan di medsos. Apalagi jika seseorang menjadi sasaran “trolling” atau “bullying” (perundungan), ia bisa saja lepas kendali dan membiarkan emosinya meluap semeluap-luapnya.
Akhlak yang baik adalah menjaga diri agar berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrem itu. Itulah sebabnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian yang terdahulu, dua daya marah dan syahwat yang tertanam secara alami dalam diri manusia harus didampingi oleh dua daya pengendali, yaitu “ilmu” dan “keadilan”.
Yang dimaksud dengan daya keadilan (quwwah al-‘adl) adalah kemampuan pada seseorang untuk menjaga keseimbangan. Kemampuan untuk seimbang ini dimungkinkan jika seseorang memiliki daya pengetahuan, yakni pengetahuan tentang bahaya dan kecelakaan yang timbul jika daya marah dan syahwat dilepaskan tanpa kendali.
Jika kita telaah secara agak mendalam, setiap tindakan manusia sejatinya muncul dari dua sumber: “pengetahuan” dan “kehendak”. Kita mengetahui bahwa makan secara berlebihan amat berbahaya; lalu dari pengetahuan itu muncul kehendak atau niat untuk mengeksekusi pengetahuan itu. Jika pengetahuan (‘ilm) tidak disertai dengan kehendak (iradah), maka ia berhenti sebagai ilmu saja; hanya ada di kepala, dan tidak menetes keluar menjadi tindakan riil.
Kehendak untuk melaksanakan ilmu itulah yang oleh al-Ghazali disebut sebagai daya keadilan. Daya inilah yang bekerja laksana seorang kusir yang mengendalikan kuda. Ketika ada kerjasama yang rapi dan kompak antara kusir dan kuda, maka andong atau dokar bisa berjalan dengan baik. Penumpang pun merasa nyaman.
Tujuan pendidikan bukan untuk melenyapkan sama sekali daya marah dan syahwat itu. Agar bisa hidup normal dan bertahan, manusia butuh dua daya tersebut. Manusia butuh marah, butuh pula syahwat.
Pada dirinya, marah dan syahwat tidaklah buruk. Keduanya menjadi buruk ketika keluar dari titik tengah dan keseimbangan. Ketika marah atau syahwat tidak dikendalikan oleh daya keadilan, barulah keduanya berubah menjadi sesuatu yang destruktif, merusak. Ketika daya marah dan syahwat diarahkan oleh daya keadilan secara positif ke tujuan-tujuan yang baik, keduanya bisa menjadi tenaga positif bagi lahirnya banyak kebaikan. Itulah yang disebut akhlak yang baik.
Seseorang yang tidak memiliki rasa marah sama sekali tidak sendirinya menjadi manusia baik. Demikian pula seseorang yang tidak memiliki syahwat sama sekali, tidak dengan sendirinya menjadi manusia teladan. Manusia yang sempurna adalah manusia yang tidak meninggalkan sifat dasarnya sebagai manusia: yaitu makhluk yang memiliki daya-daya yang sudah tertanam dalam dirinya secara alami, salah satunya ya daya marah dan syahwat itu. Tetapi daya-daya itu tidak dibiarkan “gembelengan” tanpa kendali.
Manusia tidak akan pernah menjadi malaikat yang hanya memiliki roh saja, karena ia memiliki dua jasad: jasad kasar (tubuh) dan jasad halus (roh). Manusia yang sempurna bukanlah manusia yang hendak “mlungsungi” menjadi malaikat. Itu malah mengingkari fitrah manusia. Manusia yang sempurna adalah manusia yang tetap bertahan sebagai manusia, dan ia mampu menjaga dan mengendalikan daya-daya hewani dalam dirinya dengan daya-daya rohani.***
Oleh: Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.