WEJANGAN XX
20 Ramadhan 1444 H
Dalam hukum Islam dikenal apa yang disebut hukum “mubah”, yaitu sesuatu yang boleh dilakukan secara agama. Segala hal yang tidak jelas-jelas dilarang oleh agama maka ia dianggap halal, boleh, atau “mubah”. Makan dan minum segala jenis makanan dan minuman selain yang jelas-jelas diharamkan oleh hukum agama, hukumnya mubah. Makan rendang, mubah. Makan rawon, mubah. Minum es degan, mubah. Minum jus, mubah. Dan seterusnya.
Segala sesuatu yang mubah berarti boleh dikonsumsi. Ini hukum dasarnya. Tetapi sejauh mana konsumsi itu boleh dilakukan? Apakah ada batasnya? Dalam agama, dikenal larangan untuk “israf” yaitu mengonsumsi sesuatu secara berlebihan. “Wa la tusrifu”, demikian ditegaskan dalam al-Qur’an; jangan berlebihan. Tetapi bagaimana kita mengetahui bahwa sesuatu telah melebih batas dan disebut “israf”?
Dalam hal ini, kita perlu belajar dari para sufi. Al-Ghazali memiliki ajaran tentang “mewaspadai sesuatu yang mubah”. Dalam ajaran ini, kita dilatih untuk “menyetel” sikap mental kita begitu rupa sehingga kita tidak berpikiran “aji mumpung”. Artinya: kita tidak boleh berpikiran bahwa karena sesuatu dibolehkan oleh agama (dengan kata lain: mumpung mubah), maka kita boleh mengonsumsinya dengan sembarangan.
Secara hukum agama, memakan dan meminum sesuatu yang mubah dibolehkan oleh agama. Tidak ada batas yang jelas, pada titik mana kita harus berhenti supaya tidak terjatuh pada tindakan “israf”. Tetapi, jika kita mengikuti ajaran para sufi, sesuatu yang mubah haruslah diwaspadai. Sebab, meskipun sesuatu bersifat mubah, ia bisa “menggoda” kita pelan-pelan untuk tercebur dalam hal yang diharamkan jika kita tidak waspada dari awal.
Dengan kata lain, para sufi menghendaki kita agar bersikap “pre-emptif”, mencegah sesuatu sejak dini sebelum terlanjur terjadi dan di luar kontrol. Inilah, mungkin, makna dari filosofi Jawa: eling lan waspada. Kita tidak bisa melatih jiwa kita untuk menjalani laku rohani, melakukan perjalanan menuju kehidupan abadi kelak, demikian kata al-Ghazali, kecuali kita bisa mengendalikan diri untuk tidak “al-tanaʿum bi al-mubah”, menikmati secara leha-leha dan berlebihan hal-hal yang mubah.
Al-Ghazali mengisahkan teladan dari beberapa sufi besar di masa lampau. Sari al-Saqati (w. 867 M), seorang sufi besar dari Baghdad, sekaligus guru dan paman dari sufi lain yang amat dikenal di seluruh dunia Islam, yaitu al-Junaid al-Baghdadi (w. 910 M), pernah mengatakan demikian: “Selama empat puluh tahu nafsuku “kemecer” (ingin sekali) makan daging yang dicelupkan dalam madu, tetapi aku tidak menurutinya.”
Demikianlah, seseorang yang hendak melatih jiwanya untuk bisa menyerap akhlak yang baik, harus membiasakan agar ia tidak terlalu berlebihan menikmati hal-hal yang mubah. Dalam pandangan para sufi, hati yang terlalu dibiasakan untuk menikmati hal-hal yang mubah akan menjadi “keras” dan tidak sensitif untuk menerima kebaikan. Sementara jiwa yang dilatih untuk menahan diri dari hal-hal yang mubah, meski terasa berat dan sulit, akan menjadi lunak dan halus.
Jiwa yang lunak adalah tanda jiwa yang peka terhadap sinyal-sinyal ketuhanan (ilham). Sementara jiwa yang keras akan menjadi bumi semai bagai sifat-sifat buruk seperti kesombongan, bangga-diri, sulit menerima kebenaran dari orang lain, dengki, dsb. Pada dirinya sendiri, sesuatu yang mubah memang tidak dilarang oleh agama. Tetapi ia harus diwaspadai, karena bisa menjadi pintu masuk untuk sifat-sifat yang destruktif bagi jiwa manusia.
Al-Ghazali menggambarkan keadaan jiwa manusia seperti anak kecil. Sebagaimana anak kecil yang sedang disapih dan kemudian menangis “gero-gero” karena kehilangan kenikmatan menyusu, maka demikian pula keadaan jiwa manusia yang “disapih” dari sesuatu yang mubah. Pertamakali ia akan merasakan kesakitan, perasaan tidak nyaman, dan kesedihan. Tetapi, jika penyapihan ini dilakukan secara konsisten, akan berujung kepada kebahagiaan.
Jiwa yang disapih dari hal-hal yang mubah akan memudahkannya untuk fokus sepenuhnya kepada Allah, serta menghindarkan diri dari gangguan-gangguna dunia yang disraktif. Jiwa yang telah disapih akan lebih mudah untuk mengalami pengalaman mi’raj, naik ke alam kerohanian, meninggalkan kekeruhan dunia material.
Al-Ghazali memakai analogi kuda yang sudah terlatih (mu’addab) untuk menggambarkan jiwa yang sudah disapih. Ketika pertama kali dilatih untuk dikendarai, dengan cara diikat dan dikendalikan, kuda akan memberontak sejadi-jadinya. Tetapi setelah sekian waktu berlalu, kuda akan mulai “lulut” dan jinak. Ia bisa diarahkan ke arah yang dikehendaki oleh sang kusir. Kuda yang sudah terlatih akan bisa diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik.
Demikian halnya dengan jiwa yang sudah disapih, ia bisa menjadi kendaraan bagi manusia untuk mencapai tujuan utama dalam hidup manusia, yaitu Allah. Pada dirinya sendiri, sesuatu yang mubah tidak dilarang. Tetapi kita harus waspada saat mengonsumsinya. Sebab, abai dalam menjaga batas, dan tergoda untuk bernikmat-nikmat dengan sesuatu yang mubah, bisa menjadi gangguan rohani yang berbahaya.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.