Menu

Mode Gelap

Wejangan · 10 Apr 2023 05:39 WIB ·

Minimalisme ala Al-Ghazali


 Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College. Perbesar

Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

WEJANGAN XIX
19 Ramadhan 1444 H

Bagaimana menerjemahkan ajaran tentang pengendalian hawa nafsu dalam tindakan yang kongkrit? Tulisan ini akan menjelaskan ajaran al-Ghazali mengenai apa yang disebut “qadr al-darurah” atau “qadr al-hajah”. Dua istilah ini memiliki pengertian yang sama: yaitu mengendalikan konsumsi pada batas-batas yang minimal, secukupnya, sehingga tidak berlebihan.

Saya menyebutnya sebagai ajaran tentang “minimalisme”. Semangat ajaran ini kontras 180 derajat dengan “zeitgeist” atau roh zaman sekarang yang mendorong “maksimalisasi” atas segala hal. Kita hidup di zaman yang semangat dasarnya adalah: “live to the max”, hiduplah hingga batas-batas yang paling maksimal. Ajaran al-Ghazali dan para sufi pada umumnya justru kebalikannya: hiduplah secara minimal, bukan maksimal.

Dalam tulisan sebelumnya saya mengutip ucapan Wuhaib ibn al-Ward, seorang sufi yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah dan tinggal di Mekah. Ia berkata: Makan lebih dari satu potong roti adalah bagian dari hawa nafsu. Kalimat sederhana ini mewakili etika hidup yang dikenalkan oleh para sufi sebagai kritik atas kemewahan pada zamannya: yaitu sikap minimalis hingga ke hal yang paling dekat dengan manusia, yaitu makan.

Jika fondasi dari akhlak ialah mengendalikan hawa nafsu, maka terjemahan kongkrit dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari ialah membatasi segala hal pada kebutuhan yang minimal. Atau, jika memakai bahasa yang lebih halus: “secukupnya saja”. Sebab, ketika konsumsi kita melewati batas, ada potensi kita tidak sedang memenuhi kebutuhan, melainkan keinginan. Memenuhi “kebutuhan” adalah baik. Tetapi memenuhi “keinginan” bisa membawa seseorang pada jebakan hawa nafsu yang berbahaya.

Sebaliknya, jiwa yang “sakit” ialah yang diisi sepenuhnya oleh kesibukan duniawi, ke-adreng-an untuk hal-hal yang bersifat material, seolah-oleh hal itu adalah segala-galanya dalam hidup. Jiwa semacam ini, cepat atau lambat, akan membawa kepada kekosongan hidup, penderitaan spiritual, meskipun pada segi permukaan tampak bahwa orang-orang yang sibuk dengan urusan-urusan semacam ini terlihat sukses dan makmur.

Begitu seseorang melewati batas “secukupnya saja”, ia akan sibuk mengurus hal-hal di luar kebutuhan primer. Jiwanya akan terisi oleh “aghyar”, segala sesuatu selain Allah. Jiwa yang sehat (qalbun salim), dalam ajaran al-Ghazali, ialah jiwa yang “masyghulun bi-ma’rifati-l-Lah”, sibuk untuk memahami dan mengerti Tuhan. Jiwa yang berada dalam titik tengah (i’tidal) ialah jiwa yang “tenggelam” (al-inqitha’) dalam samudera pengetahuan Tuhan.

Dunia digunakan sejauh untuk menjaga stabilitas tubuh agar tidak goyang dan jatuh sakit. Sebab tubuh yang sakit akan menghalangi seseorang untuk menunaikan ibadah dan tugas-tugas keduniaan yang mendesak dan primer (seperti memenuhi kebutuhan keluarga).

Membaca ajaran minimalisme seperti ini di zaman sekarang bisa menimbulkan kesan seolah-olah tasawuf menghendaki umat Islam menjauhi dunia sama sekali. Kesan seperti ini bisa mengonfirmasi tuduhan sebagian pihak bahwa tasawuf adalah sumber kemunduran dunia Islam karena mengajarkan etika “resignation”, mundur dari gelanggang dunia. Tasawuf telah mendorong umat Islam kepada sikap negatif terhadap kehidupan dan dunia.

Kesan seperti ini jelas keliru dan beberapa kalimat perlu ditulis untuk “meluruskan” pandangan semacam ini. Islam jelas tidak menghendaki umat Islam hidup dalam kemiskinan yang bisa menurunkan kehormatan kemanusiaan mereka. Dalam sebuah hadis terkenal, Nabi Muhammad (saw.) bersabda: bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu hidup abadi; dan bekerjalah untuk hidup kelakmu seolah-olah engkau mati esok hari. Islam tidak menghendaki umatnya bersikap pasif berhadapan dengan dunia. Umat Islam harus bekerja untuk memakmurkan dunia, meraih kesejahteraan yang memadai untuk menegakkan kehormatan kemanusiaan (karamat al-insan) mereka.

Yang dilarang ialah menjadikan dunia sebagai satu-satunya tujuan. Itulah ajaran utama dalam tasawuf. Tujuan utama bagi seorang beriman haruslah satu: Allah dan kehidupan kelak. Dunia harus ditempatkan sebagai sesuatu yang bersifat sekunder. Karena bersifat sekunder maka ia hanya dalam kadar yang minimal, kadar yang cukup untuk menegakkan kita sebagai manusia yang memiliki jasad dan tubuh.

Nilai dunia, dalam kaca mata seorang beriman, tidaklah terletak pada dirinya sendiri. Ia bernilai dalam hubungannya dengan kehidupan kelak. Pada dirinya sendiri, dunia tidaklah bernilai. Ia baru memiliki nilai jika dikatkan dengan tujuan yang lebih besar: yaitu kebahagiaan abadi di dunia kelak. Nilai dunia bersifat relatif: artinya terkait (related) kepada sesuatu yang lain.

Ini sama kedudukannya dengan, misalnya, tindakan “makan”. Makan tidaklah bernilai secara absolut pada dirinya sendiri. Ia bernilai karena memberikan kekuatan untuk melakukan hal-hal lain yang bermanfaat. Nilai “makan” hanya bersifat “antara” saja” (qimah tawassuliyyah), bukanlah final. Ajaran minimalisme al-Ghazali harus dipahami dalam pengertian seperti ini, yaitu sebagai “sarana”, wasilah, kepada hal lain yang lebih “sejati”. Ajaran minimalise tidaklah berarti bahwa umat Islam harus meninggalkan dunia sama sekali.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College

 

 

 

 

 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 250 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan