WEJANGAN XXVII
27 Ramadhan 1444 H
Saya sengaja memakai istilah “kehidupan rohani” dalam tulisan ini di beberapa seri tulisan sebelumnya. Istilah ini memang tidak pernah dipakai oleh al-Ghazali, tetapi makna di balik istilah itu sebetulnya merupakan inti dari ajaran-ajaran al-Ghazali mengenai akhlak. Tiada akhlak yang sejati jika tidak
dilandasari oleh sesuatu yang bersifat rohani, sesuatu yang ada dalam jiwa.
Sebab akhlak bukanlah sekedar tindakan luar di permukaan, di level jasad dan tubuh. Akhlak yang sejati hanya bisa lahir dari sesuatu yang tertanam dalam-dalam pada diri (“self”) manusia. Jika suatu tindakan tidak berasal dari dalam jiwa semacam ini, maka ia adalah tindakan superfisial, tindakan yang hanya di
permukaan, pura-pura, “pretentious”. Dalam bahasa Arab, itu disebut “takalluf”, yaitu memaksa diri untuk melakukan sesuatu. Disebut “memaksakan diri”, karena tindakan itu tidak berasal dari (meminjam istilah almarhum Nurcholish Madjid alias Cak Nur) “keinsafan diri” yang terdalam.
Dalam kehidupan rohani sebagaimana diajarkan al-Ghazali, tindakan taklid, meniru-niru saja orang lain atau tradisi yang sudah berlaku di masyarakat, tidak bisa mengantarkan seseorang “sampai” (wushul) kepada tahap rohani yang sejati.
Jika anda ingin menjalani kehidupan rohani yang sesungguhnya, bukan kehidupan “biasa-biasa saja” yang berjalan alamiah secara tanpa perenungan, tanpa penghayatan, maka tidak ada jalan lain kecuali segala sesuatu yang anda lakukan harus bersifat otentik. “Bersifat otentik” artinya sesuatu yang anda jalankan itu berasal dari “self”, diri anda yang paling dalam. Karena itu, taklid atau meniru-niru saja orang lain adalah perintang yang menghalangi otentisitas ini.
Sebagaimana sudah saya ulas sebagian dalam seri sebelumnya, al-Ghazali memberikan contoh sederhana: syahadat (yaitu “Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”). Seseorang yang melafalkan “syahadat” karena orang lain melafalkannya, alias meniru-niru saja, atau karena paksaan lingkungan sosial (“peer pressure”), ia tidak bisa disebut “bersyahadat” dengan sesungguhnya. Ia tidak bersyahadat secara otentik. Ia bersyahadat karena taklid saja. Inilah syahadat superfisial, di permukaan saja.
Syahadat adalah “kesaksian”. Sesuatu disebut kesaksian jika seseorang yang memberikan kesaksian itu melihat atau mengalaminya langsung. Syahadat yang dilakukan karena meniru-niru saja tidaklah bisa disebut “kesaksian” karena ia tidak berasal dari pengalaman otentik. Syahadat superfisial semacam itu tidak akan menimbulkan dampak apa-apa dalam kehidupan rohani, dan karena itu tidak mengubah hidup seseorang. Syahadat semacam ini tidaklah bersifat transformatif (mengubah).
Bagaimana caranya agar syahadat kita bersifat otentik? Al-Ghazali mengajarkan berikut ini. Agar syahadat kita otentik, tidak “abal-abal”, tidak meniru-niru saja, tidak bersifat permukaan, maka kita harus mendasarinya dengan “tashdiq”: yaitu kepercayaan yang kokoh dan dalam. Yaitu kepercayaan yang tidak mengandung keraguan apapun.
Contoh “tashdiq” yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari ialah saat anda naik pesawat. Anda memutuskan naik pesawat karena anda “tashdiq”, percaya benar bahwa pilot yang menyetiri pesawat itu akan membawa anda ke tujuan yang anda maksud. Padahal, belum tentu pilot itu membawa pesawat ke tujuan tersebut. Boleh jadi, dan mungkin saja, ia membelokkan pesawat ke tujuan lain. Dan ini pernah terjadi. “Tashdiq” anda kepada pilot bersifat otentik, sungguh-sungguh, dan karena itu anda tidak ragu-ragu untuk menaiki pesawat itu.
Syahadat anda bersifat otentik jika dilandasi “tahsdiq” semacam itu. Bagaimana membuktikan, anda berhasil merealisasikan”tashdiq” itu? Ialah dengan memahami dan menghayati secara sungguh-sungguh makna pernyataan “tiada Tuhan selain Allah”. Syahadat anda akan benar-benar otentik, kata al-Ghazali, manakala anda bisa menafikan segala jenis sesembahan selain Allah (an yarfa’a kulla ma’budin lahu siwa-l-Lah).
Manusia sering tanpa sadar terpeleset pada “jebakan” menyembah selain Allah. Sesembahan yang paling sering memikat manusia untuk memujanya, kata al-Ghazali, adalah hawa nafsu. Dalam diri setiap manusia ada sesembahan yang amat berbahaya, ada berhala, yaitu hawa nafsu. Menyadari adanya berhala di luar diri seseorang, amatlah mudah. Tetapi mendeteksi adanya berhala dalam dirinya, amatlah susah.
Syahadat yang otentik ialah yang dilandasi dengan “tashdiq”, dan ini bisa dibuktikan manakala seseorang berhasil “menghandirkan” berhala dalam dirinya itu. Ini hanya bisa dicapai dengan “mujahadah”, yaitu melawan godaan-godaan yang menggiurkan dari berhala. Sebab, memang setiap berhala selalu membawa godaan-godaannya sendiri. “Every idols bring to us its own lures and temptations”. Setipa berhala selalu tampak cantik dan memukau. Menahan diri untuk tidak terjatuh pada kecantikan berhala inilah yang membuktikan bahwa syahadat kita otentik, tidak asal meniru-niru (taklid) saja.
Manakala seseorang berhasil mencapai level syahadat ini, ia akan mencapi level kehidupan rohani yang otentik. Dari sana, segala perubahan akan terjadi pada seseorang. Asal-usul segala akhlak yang baik adalah dari syahadat yang otentik seperti ini, syahadat yang benar-benar dihayati, syahadat yang lahir dari “musyahadah” (pengalaman batin langsung). Bukan syahadat yang dihasilkan melalui “mujadalah”, debat kusir dan adu argumen.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.