WEJANGAN XVIII
18 Ramadhan 1444 H
“Perang melawan hawa nafsu”.
Kalimat itu sudah terdengar klise, basi, membosankan, bahkan cenderung repetitif, karena sudah sering dikemukakan para penceramah, ustaz, da’i, kiai, ulama, dan para selebriti yang biasa nongol di televisi. Apa yang baru dalam ungkapan itu? Tak ada. Tetapi inilah karakter dari “hikmah” atau ajaran tentang kebijaksanaan. Tidak seperti hape yang keluar dengan mode terbaru saban tahun. Apa yang disebut “hikmah” adalah sesuatu yang selalu sama dari zaman ke zaman. Ia seperti batu karang yang selalu tegak di tengah terjangan ombak.
Mode pakaian bisa berubah setiap musim, tetapi ajaran tentang akhlak selalu sama dari abad-abad. Sains bisa datang dengan revolusi demi revolusi dan teknologi bisa maju sepesat apapun, tetapi jiwa manusia, dari segi struktur dasarnya, tetaplah sama dari dulu hingga sekarang. Dari zaman Kabil, putera Adam yang melakukan kejahatan pembunuhan, hingga era kecerdasan buatan di zaman ini, penyakit rohani manusia selalu sama: dengki, iri, benci, hasud, pamer, sombong, merasa diri hebat, debat kusir (mujadalah), dsb.
Tantangan manusia dari dulu hingga sekarang tetaplah sama: bagaimana mengendalikan hawa nafsu. Akhlak yang baik hanya bisa diraih manakala seseorang mampu mengendalikan nafsu. Dalam dirinya, manusia selalu menghadapi sebuah perang yang maha dahsyat, tak kalah dahsyat dibanding perang-perang militer yang tampak di dunia kasat mata. Inilah perang yang oleh Kanjeng Nabi pernah disebut sebagai “jihad besar” (al-jihad al-akbar). Yaitu perang melawan nafsu, melawan diri sendiri; “a war against one’s self”.
Jika perang ini dapat dimenangkan oleh manusia, ia akan mudah menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dirinya. Ia akan berhasil menyerap akhlak yang indah dan cantik. Jiwanya pun akan berubah menjadi jiwa yang cantik. Ia pun akan memiliki diri yang cantik, “beautiful self”. Orang-orang pun akan merasa damai jika berada di dekat orang-orang dengan jiwa-jiwa yag cantik seperti ini. Sebaliknya, jika gagal, jiwanya akan jatuh sakit karena berada dalam kendali hawa nafsu.
Berikut ini sejumlah “quote” dari orang-orang bijak yang pernah mengalami perang melawan nafsu dan berhasil memenangkannya. Ini bukan kutipan comotan dari Google, melainkan dari pengalaman nyata orang-orang bijak dari masa lampau. Kutipan semacam ini bermanfaat sebagai cermin bagi kita.
Hasan al-Basri berkata: “Hewan yang paling liar sekalipun lebih mudah dikendalikan ketimbang nafsu.” Sufyan al-Tsauri berkata: “Tak ada sesuatu yang paling susah aku obati melebihi diriku sendiri; kadang ia bersahabat denganku, kadang bersekongkol melawan aku.” Abu Yahya al-Warraq berkata: “Siapapun yang hendak menyenangkan tubuhnya dengan melepas syahwat, sama saja telah menanam benih kekecewaan di kemudian hari.” Wuhaib ibn al-Ward berkata: “Makan lebih dari satu potong roti saja sudah terhitung syahwat.” Ia juga berkata: “Sesiapa yang dikendalikan syahwat keduniaan, ia harus siap-siap menghadapi kekecewaan.”
Kutipan berikut ini berasal dari Zulaikha, isteri Qithfir (dalam Bibel namanya adalah Potifar, pembesar Mesir yang membeli Nabi Yusuf dari saudara-saudaranya): “Wahai Yusuf, sikap serakah dan hawa nafsu telah menjadikan para raja menjadi budak.” Nabi Yusuf, berkat kemapuannya mengendalikan hawa nafsu (sehingga tidak tergoda oleh rayuan Zulaikha), berubah status dari budak menjadi raja. Sementara raja-raja yang gagal mengendalikan hawa nafsu justru akan menjadi budak.
Seseorang bertanya kepada khalifah Umar ibn Abdul Aziz: “Kapan aku harus bicara?” Jawab Umar: “Ketika nafsumu ingin diam.” Lalu ia bertanya lagi: “Kapan aku harus diam?” Umar menjawab: “Ketika nafsumu ingin bicara.” Kutipan terakhir ini amat menarik. Pesan yang terkandung di sana ialah: Apapun yang dikehendaki nafsu, kebaikan selalu akan ada dalam kebalikannya.
Jika ajaran ini mau diterapkan dalam era medsos saat ini, maka ia kira-kira akan berbunyi demikian: ketika nafsumi menghendaki untuk menulis status, lawanlah dengan cara tidak “nyetatus”. Sebaliknya, ketika nafsumu sedang malas “nyetatus”, lawanlah dengan mengunggah status.
Dengan kata lain, parameter sederhana untuk mengetahui apakah sesuatu itu termasuk dalam akhlak yang terpuji atau tidak adalah hawa nafsu. Jika sesuai dengan nafsu, itu pertanda akhlak buruk. Jika melawan nafsu, itu tanda akhlak yang baik.
Inilah kompas sederhana bagi siapapun yang hendak mendidik diri dan jiwanya. Tetapi, ajaran yang sederhana ini amat sulit dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi hari-hari ini kita hidup dalam zaman yang sangat memanjakan hawa nafsu.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.