WEJANGAN V
05 Ramadhan 1444 H
Manusia memiliki kemampuan dan “pace” (kecepatan) yang berbeda untuk menyerap ajaran-ajaran baik atau buruk. Dengan kata lain, dalam hal kapasitas untuk mempelajari dan meghayati akhlak, manusia memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda-beda. Berikut ini akan diulas ajaran al-Ghazali mengenai tingkatan-tingkatan manusia ini.
Secara garis besar, ada dua jenis manusia: (1) manusia yang mudah menyerap nilai-nilai kebaikan; oleh al-Ghazali disebut sebagai manusia yang “sari’at al-qabul”; (2) manusia yang seret dan susah menyerap nilai-nilai itu. Al-Ghazali menyebutnya: “bathi’at al-qabul”.
Cepat dan lambatnya daya serap ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada faktor-faktor yang dalam ilmu sosiologi biasa disebut sebagai “nature” atau watak bawaan, kecenderungan alamiah; ada faktor-faktor yang bersifat “nurture” yaitu pengaruh lingkungan dan pendidikan. Al-Ghazali mengulas dua faktor ini sebagai berikut.
Pertama, faktor bawaan atau, dalam bahasa al-Ghazali, “quwwat al-gharizah fi ashl al-jibillah”. Memang ada sifat-sifat yang secara alamiah memiliki kadar keterakaran (rootedness) yang dalam pada jiwa manusia.
Al-Ghazali, misalnya, menjelaskan bahwa secara alamiah daya syahwat memiliki akar yang lebih dalam pada diri manusia ketimbang daya marah. Tengoklah pertumbuhan anak kecil. Pada seorang bayi mula-mula muncul daya paling primitif atau dasar: yaitu hasrat dan syahwat. Seorang bayi memliki kecenderungan alamiah untuk menghasrati makanan, yaitu menyusu ibunya. Ini adalah daya yang paling primitif pada seorang manusia.
Pada tahap berikutnya, barulah muncul daya kedua, yaitu daya marah. Daya ini muncul ketika seorang anak sudah mulai menyadari dirinya sebagai “aku” yang terpisah dari lingkungan sekitarnya. Dia mulai menyadari bahwa ada batas antara dirinya sebagai “aku” dan aku-aku lain yang ada di sekelilingnya. Dia akan marah ketika ke-aku-annya dilanggar oleh aku-aku yang lain.
Misalnya, ia akan marah ketika mainan yang ia miliki direbut oleh anak lain. Dalam situasi seperti itu, ke-aku-an seorang anak dilanggar oleh aku-nya anak lain itu. Daya marah ini muncul lebih belakang ketimbang daya syahwat.
Lalu, pada tahap selanjutnya, muncul daya lain yang oleh al-Ghazali disebut dengan “daya membedakan” (quwwat al-tamyiz). Dengan daya ini, seorang anak sudah bisa membeda-bedakan. Misalnya: membedakan, walau dalam kadar yang amat sederhana, mana perbuatan yang baik, mana yang tidak. Dia mulai tahu, merebut mainan anak-anak lain bukanlah hal yang baik. Dia mulai tahu bagaimana menghormati hak milik anak lain. Dia mulai mengenal batas. Seorang anak yang sudah mencapai tahap ini disebut “mumayyiz”, yaitu anak yang bisa melakukan “tamyiz” atau pembeda-bedaan.
Karena daya syahwat muncul pertama pada seorang anak, ia memiliki akar yang dalam. Karena itu, mengendalikan daya ini jauh lebih susah dibandingkan dengan daya-daya yang lain. Meski demikian, bukan berarti daya ini tidak bisa dikendalikan sama sekali.
Dalam hal hal kelambanan dan kecepatan menyerap akhlak-akhlak baik (juga yang buruk), ada empat kategori manusia. Pertama, manusia lugu atau yang disebut al-Ghazali sebagai “al-ghuflu”; yaitu orang-orang yang masih dalam kondisi fitrah atau watak alaminya. Ia belum mengenal konsep tentang baik dan buruk sebagaimana diajarkan dalam kitab dan buku. Dia masih belum memiliki predisposisi atau pilihan tertentu. Dia masih bersih dari segala prasangka.
Orang semacam ini memiliki daya serap yang lebih cepat terhadap nilai-nilai apapun yang diajarkan kepadanya. Ia ibarat pita kaset yang masih bersih, yang belum pernah dipakai untuk merekam suara. (Catatan: ini jelas analogi yang hanya bisa dipahami generasi “kolonial” seperti saya; generasi milenial sekarang tentu sudah tidak lagi melihat atau mengenal kaset!).
Kedua, manusia yang sudah mengenal ajaran tentang baik dan buruk, tetapi ia tidak terlatih untuk menjalankan ajaran-ajaran itu. Pengetahuan tentang baik dan buruk berhenti di kepalanya saja, tidak pernah menjadi tindakan. Entah karena lingkungkannya yang tidak mendukung, atau karena ia tunduk kepada, dan dikuasai oleh syahwatnya. Manusia seperti ini memiliki daya serap yang lebih lambat ketimbang jenis yang pertama.
Ketiga, manusia yang tumbuh dalam lingkungan yang menganggap hal-hal yang buruk sebagai baik. Orang yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan mafia, misalnya, akan mengaggap segala kejahatan-kejahatan mafia sebagai hal yang bisa, normal. Dengan kata lain, ini adalah jenis orang yang menormalisasi kejahatan, begitu rupa sehingga hal yang semula jahat tidak lagi tampak demikian. Jelas sekali, daya serap jenis orang-orang seperti ini jauh lebih lamban dari dua golongan sebelumnya.
Keempat, jenis orang yang tidak sekedar menormalisasi kejahatan, bahkan mempromosikannya, mendakwahkannya kepada orang lain, karena ia meyakini bahwa sesuatu yang di mata umum dipandang sebagai “kejahatan”, bagi orang bersangkutan justru dianggap sebagai kebaikan yang layak dipromosikan. Inilah puncak kejahatan yang sebenar-benarnya. Orang-orang dalam kategori ini tentu paling susah diajarkan kebaikan, sebab ia sudah memiliki “pilihan” sendiri yang ia anggap lebih baik.
Dengan memahami jenis-jenis manusia seperti ini, kita bisa melakukan pendidikan akhlak dengan cara dan metode yang lebih tepat sasaran. Manusia dari jenis pertama dan kedualah yang selayaknya menjadi fokus pendidikan akhlak. Meski ini tidak bermakna bahwa dua jenis manusia yang lain tidak harus menjadi sasaran pendidikan akhlak.***
Oleh: Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College