Menu

Mode Gelap

Wejangan · 12 Apr 2023 10:27 WIB ·

“Riyalat”: Bersakit-Sakit Dahulu, Bahagia Kemudian


 Sumber: NU Online Perbesar

Sumber: NU Online

WEJANGAN XXI
21 Ramadhan 1444 H

Hukum dasar yang berlaku untuk kehidupan rohani nyaris sama dengan kehidupan badani, yaitu: bersakit-sakit dahulu, bahagia kemudian. Suatu kebahagiaan yang “langgeng” hanya bisa dicapai jika seseorang tidak buru-buru berharap akan kepuasan sesaat. Seseorang tidak bisa menikmati kebahagiaan yang sejati jika tidak bisa menunda keinginan untuk sukses yang hanya sementara sifatnya (instant gratification).

Problem dasar manusia, sebagaimana telah dicandra oleh Qur’an (misalnya: QS 17:11), adalah wataknya yang cenderung buru-buru. Wakana-l-insanu ‘ajula, demikian ditegaskan di dalam Qur’an. Ini, boleh jadi, karena sifat dasar manusia sebagai makhluk yang memiliki jasad dan tubuh. Karakter tubuh adalah adanya hasrat untuk menikmati kepuasan yang bisa dirasakan saat ini juga, “instant”, walau hanya sebentar. 

Sementara akal manusia bisa menimbang-nimbang antara kepuasan-sekarang-juga yang sifatnya sementara dan kepuasan-nanti yang lebih bertahan lama. Akal manusia bisa memberikan pertimbangan matang: Engkau lebih baik menunda kenikmatan sekarang demi kepuasan yang lebih langgeng di masa depan. 

Demikianlah, manusia yang menjadi tawanan tubuhnya akan cenderung memilih kepuasan saat ini. Sementara mereka yang mendengarkan pertimbangan akal akan mampu menunda kepuasan sesaat demi kesuksesan yang lebih sejati di masa depan. Manusia semacam ini bersedia untuk menanggung kesakitan dan penderitaan di saat ini demi meraih kebahagiaan di masa depan. Kesakitan sementara yang harus ia tanggung sekarang terasa remeh dan ringan jika dibandingkan dengan kepuasan yang lebih bertahan lama di kemudian hari. 

Masalahnya, sebagian besar orang lebih memilih badan ketimbang akal; lebih condong kepada jasad ketimbang roh dan jiwa. Di antara dua tarikan akal dan badan, manusia memang biasanya lebih tergoda untuk memenuhi hasrat badan untuk menikmati kepuasan saat ini yang sesaat saja.

Alasannya sederhana saja: sebab badan dan jasad bisa dilihat dan dirasakan, sementara akal, roh, dan jiwa tidak bisa diindera. Manusia cenderung mementingkan hal yang inderawi ketimbang yang non-inderawi, yang tampak ketimbang yang tersembunyi. Manusia memiliki kecenderungan “optikal”, mementingkan mata lahir ketimbang mata batin. Inilah yang menjelaskan adanya watak ‘ajula, terburu-buru, pada manusia. Inilah yang menjelaskan kenapa manusia lebih mementingkan kenikmatan sekarang walau hanya sesaat ketimbang kebahagiaan di kemudian hari. 

Menanggung kesakitan sementara untuk kebahagiaan yang lebih langgeng di kemudian hari, inilah yang oleh al-Ghazali sebagai “ihtimal al-masyaqqah” yang oleh para kiai di pesantren-pesantren tradisional biasa dimaknai sebagai “mbetah-mbetahke rekasa” (menahan kesulitan). “Ihtimal al-masyaqqah” adalah salah satu jalan yang harus ditempuh jiwa manusia untuk menyerap akhlak yang baik. 

Inilah salah satu bentuk “riyalat” atau latihan rohani agar jiwa manusia menjadi peka terhadap sifat-sifat kebaikan. Jiwa yang telah dilatih melalui jalan riyalat ini akan mirip dengan tanah yang telah di-“luku” atau dicangkuli, sehingga siap untuk ditanami benih apapun. Jiwa yang belum dilatih sama dengan tanah yang keras sehingga sulit untuk ditanami padi. 

“Setiap orang yang memiliki akal yang waras,” demikian kata al-Ghazali dalam kitab Ihya’, “tentu akan bersedia menahan “rekasa” atau kesakitan selama sebulan untuk belajar ilmu atau ketrampilan tertentu agar bisa menikmati kebahagiaan bertahun-tahun di masa depan.” Yang harus digaris-bawahi dalam kalimat al-Ghazali ini adalah “akal yang waras”. Yang menjadi soal adalah: tak setiap orang yang memiliki akal yang waras mau mendengarkan “fatwa” dari akal-warasnya itu. Ia, biasanya, lebih mengikuti perintah yang didiktekan oleh hasrat badan dan syahwat tubuhnya. 

Wa ‘inda al-shabahi yahmadu-l-qawmu al-sura” demikian kata Sayyidina Ali dalam sebuah kalam matsal (kata mutiara) yang terkenal. Maksudnya: Ketika pagi menyingsing, orang-orang biasanya akan bersyukur karena telah melakukan perjalanan panjang di malam hari. Umumnya, orang-orang cenderung istirahat pada malam hari, tidur nyenyak. Tetapi, ada orang-orang yang mau menahan kepedihan dan kesakitan dengan terjaga semalam suntuk untuk bekerja. Ketika pagi tiba, mereka akan tersenyum puas karena telah menuntaskan pekerjaan berat di malam hari. 

Walhasil, cara terbaik untuk melatih jiwa adalah dengan cara “menggak” atau mengendalikan agar ia tidak “dilolohi” atau disuapi segala hal hal yang ia sukai. Al-Ghazali memberikan contoh kecil ini. Jika seseorang yang kebetulan memiliki profesi penceramah menikmati kepuasan karena ceramah-ceramahnya viral dan disukai banyak orang (al-qabul fi al-wa’dz), maka ujian baginya adalah: “menggak” atau menahan jiwanya agar tidak terus-terusan menikmati kepuasan seperti itu. Sekali-kali ia harus menguji dirinya untuk menjauhi popularitas. 

Sebab, jika kepuasan menikmati popularitas ini dibiarkan terus, ia bisa menjadi “candu” yang menina-bobokkan. Seseorang bisa tergantung pada “candu” popularitas. Ia akan menjadi tawanan dan hamba dari popularitas, bukan lagi hamba Allah. ***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College. 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 284 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan