WEJANGAN IX
09 Ramadhan 1444 H
Menurut Imam al-Ghazali, ada banyak kemiripan antara tubuh luar dan tubuh dalam, antara jasad dan roh. Dengan memahami cara kerja tubuh luar, kita akan memahami pula jiwa manusia. Sebab yang tampak pada kita adalah jasad luar. Jiwa tidak tampak. Cara memahami hal yang tidak tampak adalah dengan mengamati hal-hal yang tampak. Sebab yang lahir merupakan petunjuk kepada sesuatu yang batin.
Para ulama menyebutnya: qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid. Menyerupakan yang tak kelihatan dengan kelihatan.
Tanda tubuh yang sehat adalah jika ada keseimbangan di dalamnya. Tubuh adalah sistem yang mirip dengan mesin. Di dalam sistem ini ada organ-organ yang beragam. Masing-masing organ ini menjalankan fungsi sendiri-sendiri yang saling mendukung. Tubuh yang sehat adalah manakala semua organ ini bekerja secara normal dan seimbang, saling menyempurnakan. Ketika keseimbanga ini terganggu karena ada salah satu organ yang bekerja melebihi atau kurang dari fungsinya, tubuh akan mengalami gangguan.
Tubuh Jatuh Sakit.
Hal yang sama juga terjadi pada jiwa. Tanda jiwa yang sehat adalah adanya i’tidal atau keseimbangan di dalamnya. Di dalam jiwa terdapat banyak kekuatan dan daya yang bermacam-macam. Ada daya marah, syahwat, dan daya-daya yang lain. Manusia membutuhkan daya-daya ini untuk kelansungan hidupnya. Jika daya-daya ini bekerja secara seimbang, tidak ada salah satu yang lebih dominan, maka itulah tanda jiwa yang sehat.
Sebagaimana kesehatan badan bisa dicapai dengan cara menghalau jauh-jauh penyakit dari dirinya, begitu juga jiwa. Cara untuk merawat kesehatan jiwa adalah dengan menghindarkannya dari kotoran-kotoran berupa akhlak dan sifat-sifat yang buruk. Jiwa yang di dalamnya bersarang sifat dan akhlak yang buruk sama dengan tubuh yang sedang terkena penyakit.
Tubuh yang sakit membutuhkan penanganan seorang dokter, yaitu dokter tubuh (thibb al-ajsad). Begitu pula jiwa yang sakit: membutuhkan “mu’alajah” atau pengobatan seorang dokter jiwa (thibb al-arwah). Karakter penyakit tubuh dan jiwa jelas berbeda, tetapi keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama penyakit. Baik penyakit tubuh atau jiwa memiliki sifat yang sama, yaitu mengganggu keseimbangan “metabolisme” atau kerja keseluruhan sebuah sistem.
Wilayah dokter (yaitu dokter tubuh) hanyalah terbatas pada penyakit-penyakit yang tampak. Dia tidak bisa mengatasi penyakit batin yang menyerang jiwa manusia. Jiwa yang terserang penyakit membutuhkan jenis dokter yang lain, yaitu “dokter jiwa”. Ini bukan dokter jiwa dalam pengertian modern, yaitu psikiatris atau psikolog. Yang dimaksudkan dengan “dokter jiwa” di sini adalah mereka yang mampu menangani penyakit-penyakit hati (maradl al-qalb).
Penyakit hati adalah wilayah para nabi. Tugas pokok para nabi adalah membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan yang sejati di kehidupan kelak. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kebahagiaan yang sejati hanya bisa diraih jika seseorang kembali ke Sumber Asal-nya (yaitu Tuhan) dengan hati yang bersih (qalbun salim). Hati yang kotor alias “penyakitan” tidak akan bisa meraih kebahagiaan ini. Peran para nabi itu kemudian diteruskan oleh para ulama dan guru-guru spiritual yang bisa menjadi pembimbing (murshid). Merekalah yang mampu mengobati hati dan roh yang menderita sakit karena adanya kotoran di dalamnya.
Jika tubuh sakit, langkah pertama yang dilakukan oleh dokter adalah memberikan obat. Cara kerja obat amat sederhana: yaitu mengobati penyakit dengan lawannya. Jika seseorang terkena penyakit panas, dokter akan memberinya obat pendingin. Sebaliknya, ketika seseorang terserang penyakit dingin, dokter akan mengobatinya dengan obat pemanas.
Penyakit selalu diobati dengan lawannya. Dengan kata lain, setiap penyakit membutuhkan “antidote”, yaitu obat penawar. Itulah cara kerja obat untuk tubuh luar manusia. Hukum ini juga berlaku untuk “tubuh dalam” manusia. Penyakit-penyakit hati juga harus diobati dengan antidote atau lawannya.
Al-Ghazali memberikan contoh-contoh berikut. Penyakit jiwa berupa kebodohan (al-jahl) harus diobati dengan lawannya, yaitu pengetahuan. Penyakit kikir atau “medhit” (al-bukhl) harus diobati dengan sifat kebalikannya, yaitu dermawan (al-tasakhkhi). Penyakit sombong (al-kibr) diobati dengan lawannya, yaitu rendah hati. (al-tawadlu’). Penyakit rakus diobati dengan antidote-nya, yaitu menahan diri. Begitu seterusnya. Setiap penyakit dalam hati dan jiwa harus ditangkal dengan sifat-sifat yang merupakan lawannya.
Mengobati penyakit hati berupa sifat sombong dengan menambahkan kesombongan yang lebih tinggi derajatnya, sama saja dengan menuangkan minyak ke dalam api. Begitu juga, mengobati penyakit tamak dengan ketamakan lain yang lebih tinggi, sama saja dengan memperparah penyakit itu.
Itulah sebabnya, penyakit “over-konsumsi” yang menjadi ciri masyarakat modern tidak bisa diatasi dengan meningkatkan lebih jauh lagi kadar konsumsi yang sudah ada. Obatnya hanyalah satu: yaitu lawan dari penyakit bersangkutan. Dalam hal over-konsumsi ini, obatnya adalah mengendalikan syahwat konsumsi hingga tidak lepas kendali.
Dengan memahami cara kerja obat ini, kita akan memahami pula bagaimana mengatasi jiwa kita jika sedang terkena penyakit.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.