Menu

Mode Gelap

Wejangan · 3 Apr 2023 07:44 WIB ·

Tanda Jiwa yang Sehat: Tidak Karatan!


 Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College. Perbesar

Kiai Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

WEJANGAN XII
12 Ramadhan 1444 H

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa tanda-tanda tubuh dan jiwa yang sehat ialah keduanya bekerja secara seimbang (i’tidal); seluruh onderdil dan bagian-bagiannya berfungsi secara normal. Setiap anggota dalam tubuh diciptakan untuk fungsi tertentu; “li-fi’lin khassin”, demikian kata al-Ghazali dalam kitab Ihya’. Tangan manusia diciptakan dengan tujuan tertentu, begitu juga organ-organ yang lain. Tubuh kita disebut sehat jika organ-organ ini bekerja secara normal.

Sebaliknya, kita bisa tahu bahwa tubuh sedang sakit manakala ia tidak bekerja sesuai dengan fungsinya, atau kesulitan menjalankan tugas yang dikhususkan baginya. Tangan kita sedang sakit jika tidak bisa mengerjakan salah satu fungsinya, misalnya tidak bisa menjotos (al-bathsyu). Mata kita sedang sakit manakala kesulitan menjalankan tugasnya, yaitu melihat (al-ibshar). Dan seterusnya.

Demikian pula jiwa manusia: ia sedang sakit jika tidak menjalankan tugas pokoknya. Yang jarang kita sadari adalah: apa sebetulnya tugas pokok jiwa manusia. Menurut al-Ghazali, tugas pokoknya ialah menyerap pengetahuan (al-‘ilm), kebijaksanaan (al-hikmah), dan pemahaman (al-ma’rifah).

Tugas pokok jiwa manusia adalah menyerap segala hal yang membuatnya berbeda (yatamayyazu) secara radikal dari binatang. Keistimewaan manusia dibanding binatang bukan terletak pada, misalnya, kemampuan melihat, mendengar, meraba, berhubungan badan dengan lawan jenis, menyantap makanan, dsb. Dalam hal-hal ini manusia tidak memiliki hal yang istimewa. Baik manusia dan binatang memiliki kesamaan dalam kemampuan-kemampuan “primitif” tersebut.

Bahkan dalam hal-hal tertentu binatang memiliki kemampuan yang jauh lebih hebat dibandingkan manusia. Kelelawar, contohnya, punya kemampuan indera yang jauh lebih tajam sehingga bisa melihat dalam kegelapan. Anjing, dalam contoh yang lain, memiliki kemampuan mengendus yang lebih hebat tinimbang manusia. Dan seterusnya. Dalam hal kemampuan-kemampuan yang bersifat fisik, manusia kerapkali kalah jauh dibandingkan dengan binatang.

Tetapi manusia memiliki keunggulan dan keistimewaan dibandingkan dengan binatang. Menurut al-Ghazali, “maziyyah” atau keunggulan itu terletak dalam kemampuan mengetahui, memahami, serta menyerap sesuatu yang abstrak berupa ilmu, gagasan, dan informasi.

Saudara-saudara! Berbeda dengan makanan dan minuman yang bisa diindera secara langsung, apa yang disebut informasi itu selalu bersifat abstrak, tidak kasat-mata. Meski tak terlihat, tetapi informasi memiliki nilai yang lebih besar ketimbang makanan. Walau, sebut saja, beras memiliki bobot ribuan ton, nilainya bisa kalah jauh dibandingkan dengan informasi yang termuat dalam sebuah flash disc yang beratnya hanya beberapa gram saja, sebab di dalamnya tersimpan naskah disertasi yang amat mahal.

Manusia menjadi istimewa karena hal-hal yang bersifat abstrak semacam ini. Jiwa manusia disebut sehat jika mampu menjalankan fungsi pokoknya, yaitu mampu memahami, mampu belajar, bisa menyerap informasi yang bermanfaat. Nilai jiwa manusia akan naik seturut dengan informasi, pengetahuan, dan pemahaman yang tersimpan di sana. Jika jiwa manusia kita serupakan dengan “flash disc”, maka nilainya tergantung pada jumlah bit yang tersimpan di sana. Makin besar dan berkualitas pengetahuan yang terkandung dalam jiwa manusia, makin naik pula kelas manusia bersangkutan.

Dengan kata lain, jiwa yang sakit adalah jiwa-jiwa yang miskin pengetahuan, pemahaman, dan kebijaksanaan. Jiwa yang sakit ialah jiwa yang tidak mampu menyerap sifat-sifat yang terpuji. Orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan pertanda bahwa mereka memiliki jiwa yang sakit.

Jika parang tidak sering-sering dipakai untuk memotong, pelan-pelan ia akan karatan, tumpul. Ketika pacul jarang dipakai untuk mencangkul, ia juga akan berkarat. Demikian pula jiwa manusia: ketika ia tidak dipakai untuk menjalankan fungsinya, ia pelan-pelan akan karatan. Jiwa yang sakit ialah jiwa-jiwa yang karatan.

Sebaliknya, jiwa yang sehat adalah mirip dengan pisau yang tajam: ia akan cepat menangkap pengetahuan; ia akan lekas mempelajari sifat-sifat yang baik, laksana pisau tajam yang dengan tangkas bisa memotong sayuran dengan cepat.

Sementara itu, pengetahuan yang paling sejati ialah memahami bahwa asal-usul segala sesuatu adalah Allah. Tak ada gunanya pengetahuan yang menumpuk dalam jiwa manusia jika ia tidak mendatangkan pemahaman semacam ini. Karena itu, kata al-Ghazali, tanda bahwa seseorang memiliki pengetahuan yang sejati ialah kecintaan kepada Tuhan. Barangsiapa memahami bahwa asal-usul dari segala sesuatu adalah Allah, ia akan mencintai-Nya (fa-man ‘arafa-l-Laha Ta’ala ahabbahu).

Tanda seorang pecinta amat sederhana: menumpahkan seluruh pikiran, perasaan, perhatian, dan kepedulian hanya kepada seseorang yang dicintai. Tanda cinta adalah kemampuan untuk memfokuskan jiwa ke titik tertentu secara intense dan terus-menerus.

Demikianlah, jiwa yang sehat ialah jiwa yang memiliki pengetahuan yang membawa kepada tujuan akhir: cinta kepada Allah.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 1,084 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan