Menu

Mode Gelap

Wejangan · 16 Apr 2023 04:15 WIB ·

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa


 Sumber: NU Online Perbesar

Sumber: NU Online

WEJANGAN XXV
25 Ramadhan 1444 H

Kenapa seseorang harus mempelajari akhlak dalam pengertian yang sudah dijelaskan al-Ghazali dan telah saya ulas dalam seri-seri sebelumnya? Jawabannya: agar ia hidup bahagia, baik di sini atau kelak. Sebab, dalam kaca mata seorang beriman, tujuan paling pokok dalam hidup ialah kebahagiaan yang sejati. Yakni kebahagiaan yang tidak hanya diperoleh dalam kehidupan sekarang, tetapi lebih-lebih lagi dalam kehidupan kelak.

Kehidupan saat ini, di dunia, hanya memiliki nilai jika ia dikaitkan dengan kehidupan sejati kelak di kemudian hari, di akhirat. Nilai kehidupan di dunia adalah relatif, bukan absolut. Dia tidak memiliki nilai yang otonom pada dirinya sendiri. Nilainya tergantung pada kehidupan lain, yaitu kehidupan di akhirat. Seseorang harus menanamkan akhlak ke dalam jiwanya agar ia bisa meraih kebahagiaan sejati itu.

Inti akhlak ialah hidup secara seimbang: yaitu menyeimbangkan antara berbagai daya atau hasrat-hasrat yang ada dalam diri manusia. Inti akhlak adalah menjadi manusia yang bisa mengontrol diri agar berada di titik tengah, tidak condong ke kanan atau kiri, tidak miring ke titik “ifrath” (seenaknya) dan tidak pula pada titik “tafrith” (berlebihan). Kemampuan menjaga titik tengah ini diperoleh melalui jalan yang disebut “riyalat” atau latihan batin. Inti latihan batin ialah mengendalikan nafsu (mujahadah).

Saya ingin ulang lagi ajaran utama al-Ghazali: jiwa manusia adalah mirip binatang liar. Ia perlu latihan khusus dalam waktu yang cukup sehingga menjadi “jinak” dan “lulut”. Binatang yang liar tidak bisa dimanfaatkan manusia untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Hanya binatang yang sudah jinak yang bisa bermanfaat. Demikian pula jiwa manusia. Jiwa yang masih liar tidak berguna, bahkan membahayakan. Hanya jiwa yang sudah dilatih, alias diisi dengan nilai-nilai atau akhlak yang bajiklah yang bisa membawa manfaat untuk meraih tujuan akhir: yaitu kebahagiaan sejati itu.

Ketika jiwa sudah terlatih, sudah menjalani proses “riyalat”, dan mampu mencapai keadaan tertentu yang membawa kebahagiaan, maka ia disebut sebagai jiwa yang telah “wushul”, sudah sampai pada tujuan yang dihendak dituju. Ibarat seseorang yang sedang dalam perjalanan, ia telah sampai di titik yang dituju. “Wis tekan,” kata orang Jawa. Apa yang dirasakan oleh seorang pelancong ketika telah sampai ke tujuannya? Tentu ia akan merasa lega, plong, bahagia. Selama seseorang belum sampai kepada tujuannya itu, jiwanya masih menggantung, resah, gelisah.

Begitulah, seseorang yang merasakan kegelisahan dalam hidup, bisa diduga salah satu penyebabnya ialah karena ia “durung tekan,” belum sampai di titik yang dituju. Selama belum sampai ke titik tujuan, seseorang pastilah akan merasakan kegelisahan. Karena itu, tujuan pokok dalam hidup ialah bagaimana seseorang bisa “wushul”, sampai, “tekan” seperti itu. Sebab, kebahagiaan tidak bisa diraih selama belum sampai pada titik “finish”-wushul itu belum tersentuh.

Hidup manusia, di mata para sufi, dilambangkan dengan sebuah perjalanan. Manusia yang menjalani laku riyalat atau latihan batin disebut sebagai “salik”, seseorang yang sedang dalam perjalanan, “a traveler”. Salah satu watak perjalanan ialah: tidak menetap, tidak permanen. Dunia tempat manusia menjalani kehidupan disebut sebagai arena atau wahana di mana perjalanan itu berlangsung. Karena itu, dunia tidak disebut sebagai (meminajam istilah Qur’an) “dar al-qarar”, tempat menetap yang permanen. Dunia adalah tempat persinggahan sementara, transit saja.

Yang benar-benar bisa disebut “dar al-qarar”, rumah permanen, adalah kehidupan kelak. Seseorang yang menjadikan dunia saat ini sebagai “dar al-qarar”, keadaannya mirip dengan seseorang yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di terminal transit. Kehidupan di terminal transit sudah pasti tidak membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebab, terminal transit bukan tujuan akhir. Orang yang singgah di terminal transit belumlah sampai kepada titik “wushul” tersebut.

Mengutip kata-kata bijak dari Nabi Isa, al-Ghazali menggambarkan seseorang yang hendak membangun kehidupan permanen di dunia ini seperti seseorang yang ingin membangun rumah di atas laut dengan gelombang yang menderu-deru. Tentu amat absurd jika ada seseorang mendirikan rumah di atas gelombang laut. Meskipun bisa dilakukan, tetapi rumah seperti itu sudah pasti tidak membawa ketenangan karena terus diancam oleh gelombang.

Seseorang hanya bisa mencapai wushul jika memenuhi syarat pokok: ia harus memiliki kemauan untuk “suluk”. Wushul hanya bisa dicapai jika seseorang menyadari bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah tujuan akhir. Karena ia bukan tujuan akhir, ia harus “suluk”, berjalan terus hingga mencapai tujuan akhir. Kesadaran tentu kesementaraan kehidupan saat ini dan keharusan untuk “suluk” (traveling) inilah yang memudahkan seseorang untuk menanamkan akhlak baik dan luhur pada dirinya, untuk melakukan “tahdzib al-akhlak” (pembersihan jiwa).

Orang-orang yang tidak melakukan tindakan suluk, yakni mereka yang menganggap dunia saat ini sebagai tujuan permanen, ialah orang-orang yang digambarkan oleh al-Ghazali sebagai mereka yang sedang tenggelam dalam tidur (ghashu fi raqdatihim); orang-orang yang lengah. Mereka “melek” dari sudut mata lahir, tetapi tidur dan lengah dari segi mata batin. Hanya mereka yang telah menyadari bahwa dunia ini bukan “dar al-qarar” dan memiliki kehendak kuat (iradah) untuk melakukan suluk, ya, hanya mereka itulah yang bisa disebut sebagai orang-orang yang benar-benar melek dan terjaga.

Titik wushul jelas tidak bisa dicapai jika seseorang tidur. Titik itu hanya bisa diraih oleh orang-orang yang melek.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 403 kali

Baca Lainnya

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Mendidik Anak ala al-Ghazali (3-terakhir)  

15 April 2023 - 08:20 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan