(Bagian Dua)
Mendengar adzan shubuh yang kedua, Abah membawaku pulang, menaiki si merah tentunya. Kali ini tidak kebut-kebutan seperti tadi. Abah membiarkanku menyembunyikan wajah di tengkuknya. Menghirup aroma khas yang menjadikanku pulang.
Usai sholat shubuh aku memilih duduk di gazebo belakang rumah, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk tidak tenang. Dengan salah satu 5 perkara tombo ati. Kalian tahu sih syi’ir yang ber-bahr wafir itu.
Tombo ati, iku lima perkarane
Kaping pisan, moco Qur’an sak maknane
Kaping pindo, sholat wangi lakonono
Kaping telu, wongkang sholeh kumpulono
Kaping papat, weteng iro ingkang luwe
Kaping limo, dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijining, sopo biso ngelakoni
Insya Allah, gusti Allah ngijabahi
Nah, dari kelima perkara itu, aku memilih yang pertama. Aku memang menyukainya, terlebih lagi mengingat kisah imam Ahmad bin Hambal dalam kitab tuhfatul murid. Pertama kali aku tercengang ketika mendengar guruku membacakannya, 99 kali imam Ahmad mimpi bertemu Allah. Bukan main. Dan dalam 99 kali itu imam Ahmad belum pernah sekalipun membuka suara. Hanya diam tanpa mampu berkata. Kemudian beliau berujar, “Jika aku bermimpi untuk yang keseratus kalinya, aku akan bertanya kepada-Nya (Allah).”
Dan wah, benar saja, Allah datang ke mimpi imam Ahmad untuk yang ke 100 kalinya, maka imam Ahmad bertanya, “Sesuatu yang paling dekat apa yang dapat mendekatkan orang-orang yang mencari kedekatan kepada-Mu?” Allah menjawab, “Membaca kalamku (Al-Qur’an)”
“Dengan pemahaman atau tanpa pemahaman?” lanjut imam Ahmad bertanya.
“Dengan pemahaman,” Guruku sengaja menjeda kalimatnya, membiarkan tenggorokan santri-santrinya tercekat. “atau tanpa pemahaman.” Lolos juga udara dalam paru-paruku. Aku bernapas lega penuh syukur, Ya Robbi, Ya Rohman, Ya Rohiim.
Suara langkah datang semakin dekat ke arahku. Aku mendongak, menemukan Ummi yanng berjalan ke arahku dengan box mika di genggaman.
“Aduh neng geulis, galau sampai tidak nafsu makan,” goda Ummi.
“Ummi!” seruku merajuk. Abah pasti sudah menceritakannya.
“Sudah jam 8, segera sarapan, ini Ummi buatin makanannnya anak muda zaman sekarang. Apa namanya? Dessert!”
Aku melirik ke arah box, heeee?! Sejak kapan ummi meniru anak muda zaman sekarang? Usia Ummi hanya beberapa tahun lebih muda dari abah lho!
“Segera dimakan, mumpung masih hangat.”
“ Lhoh, bukannya dezzert, harusnya dingin, Mi?”
“Lha iya, makanya tadi ummi taruh di microwave dulu biar hangat. Kasihan lambungmu nanti kalau langsung dikasih yang dingin-dingin, nanti kaget!”
Aku diam, menurut, mulai menyuapkan dessert itu ke dalam mulut.
“Dihabisin, yo!”
“Semuanya, Mi? Ini banyak bangett.”
“Iyo harus dihabisin!”
“Separuh saja wes, Mi, nanti yang separuh Nisa makan waktu sudah dingin.”
“Terserah-terserah. Yang penting kamu cepetan siap-siap, sekitaran jam setengah sepuluh nanti ibu nyai mu mau datang.”
“Eh, ada apa, Mi? Kok tiba-tiba.”
“Lhah, mau silaturrohim kok ndak boleh,”
Aku ber-oh panjang, mengerti maksud Ummi. Abah yai dulu pernah mondok di pesantren simbah kakung, ya, pesantren ini. Makanya Abah yai dan Abahku sudah saling mengenal sejak lama. Terlebih lagi Abah yai pernah mengaji dengan Abahku sewaktu Abah masih muda.
Ummi beranjak pergi meninggalkanku, aku bergegas menghabiskan separuh dessert, hatiku mendadak membuncah bahagia. Ya muqollibal qulub memang.
Satu jam persiapan akhirnya selesai. Eh, jangan salah! Satu jam bukan hanya kuhabiskan untuk mempersiapkan diri, aku sibuk mempersiapkan daharan yang akan disuguhkan kepada Abah yai dan Ibu nyai nanti, baru setelahnya aku mempersiapkan diri, mengenakan tunik berkelir putih dan jilbab peach motif, untuk bawahan aku kenakan sarung batik Lagurda. Sederhana saja, melalui setelan ini aku ingin memberitahu Abah yai dan Ibu nyai bahwa aku masih santri.
Tak lama waktu berselang, sebuah mobil Innova putih memasuki halaman rumah. Aku bergegas keluar, menyambut dua insan mulia, mencium asta Ibu nyai, mempersilahkannya duduk di hamparan karpet berbulu.
Abah dan Ummi pun ada di belakangku, turut menyambut kemudian menjamu. Aku bergegas masuk mempersiapkan daharan. Membiarkan kedua pasang orang tuaku berbincang.
Setelah upyek ini itu, aku berjalan nggangsut menuju ruang tamu dengan nampan yang berisi teh hangat di genggaman. Telingaku mulai mendengar perbincangan.
“Lha nggeh, Bu nyai, baru satu tahun mondok, menduduki bangku 1 aliyah, bocah itu sudah ngotot minta jadi anak ndalem. Kulo tangledi, ‘Lha nopo nang?’ ‘Nggeh kersane saget ngalap baraokah!’ jawabnya kanthi mantep tanpo keder.”
Siapa yang dimaksud Ibu nyai? Tanyaku dalam hati.
“Duduk, Nduk.” Titah Ibu nyai-ku tiba-tiba. Segera kuselesaikan urusanku menyuguhkan teh hangat, kemudian duduk di samping Ummi.
“Lha, sebenarnya saya itu sudah heran, sudah genap 10 tahun bocah itu jadi kang ndalem, kok ya tidak ada kabar mau boyong, opo ya dia tidak mau nikah? Yo tidak matur bapak minta dicarikan jodoh juga.”
Keranjingan barokah, pikirku.
“Lha ternyata yang disukai di pondok.”
Woy, siapa yang dibahas? Batinku tidak tenang.
“Lha, enam bulan lalu, mendadak bocah itu minta izin boyong. Mukanya pucet. Ditanyain abah apa alasannya, jawabnya malah ndredek.
‘Ngapunten Abah yai, kulo ajrih. Bisa ngaji dan ngalap barokah di sini tentu membuat saya sangat bersyukur. Tapi sekarang sudah mboten saget. Saya takut semakin lama justru saya memumpuk dosa.’
‘Sopo, Nang?’
“Ditanyain bapak bocah itu malah nggigit bibir, kemudian baru menyebut satu nama ‘mbak Annisa, Abah.’ Ya, kamu, Nis, jawabnya sambil merem-merem gitu.”
Jantungku berdetak kencang, puzzle-puzzle ini mulai menemekukan alurnya.
“Ya wis tho, langsung diajak bapak sowan ndaleme njenengan. Tapi bocahe malah ndak mau. Bilang ‘Ampun, Bah, saya sadar diri, saya ini mboten siapa-siapa, tidak punya apa-apa. Nyuwun izin boyong saja, Abah. Saya juga takut mengganggu belajarnya mbak Annisa.’
“Ya sudah, tak izini boyong. Matur sama orang tuamu, minggu depan diajak bapak melamar ke ndaleme Abahnya Annisa.’ Bapak bilang gitu, tapi yo bocahe tetep tidak mau, langsung disekak abah, “Wis, Nang, sami’na wa atho’na!’ langsung mendel.”
Ibu nyaiku menyudahi ceritanya. Ibu nyaiku itu kalau sudah cerita, sangat menggebu dan detail.
“Sek, tak celukke.” Jantungku berdetak kencang. Ibu nyai keluar, sebentar kemudian, masuk kembali. Seseorang membuntuti dari belakang. Sosok itu mulai muncul dari balik pintu, kepala tertunduk dan berjalan menggunakan lutut. Meraih tangan abah dan menciumnya. Kemudian duduk di samping Abah yai. Aroma parfumnya menguar memenuhi indra penciumanku, tubuhku seketika lemas, kujadikan tangan kananku sebagai tumpuan.
Abah membuka suara, “Jadi, Nis, kang Mubarok ini sudah pernah ke sini bersama Abah yai-mu dan orang tuanya. Melamar kamu. Abah bilang menunggu jawaban dari Annisa saja, dan minta menunggu sampai kamu boyong.”
Apa Abah? Apa yang harus kuputuskan? Sampai sekarang aku masih tidak tahu apakah ini benar atau salah.
“Ada yang mau kamu sampaikan, Nang?” tanya Abah sudah seperti bertanya pada anak sendiri.
Hening, kepalaku sudah tidak bisa kuangkat, tapi sepertinya kang itu mengangguk, hendak menyampaikan sesuatu.
“Ehem.” Laki-laki itu berdehem, kemudian menarik napas berkali-kali.
“Halah, cah lanang kok wedinan.” komen Ummi. Aduh kenapa Ummi manas-manasin sih?
“Be-begini ning Annisa. Tepat satu bulan setelah saya datang kemari, saya bermimpi mendapat amanah,” Ucapannya terhenti, menghela napas panjang. “Untuk menyampaikan salam kepada sampean, assalamu’alaiki warohmatullah wabarokatuh, dari,” Ucapannya terhenti lagi, lagi-lagi menghela napas panjang. “Rosulullah.”
Limbung sudah tubuhku di pelukan Ummi, air mataku luruh, tubuhku bergetar hebat. Selama beberapa menit aku menangis terisak, tidak sanggup melontarkan sepenggal kata.
“Wa ‘alaikas–salam waroh–matullah–wabarokatuh.” balasku terbata-bata. “Allahumma–sholli ‘ala–habibika–sayyidina–wamaulana–Muhammad.” lanjutku tiga kali. Kemudian menangis lagi. Seluruh ruangan hening, hanya isakku yang terdengar. Lama sekali, sampai aku sedikit dapat mengendalikan diri, Abah membuka suara.
“Apa keputusanmu, Nis?”
“Apa, Abah? Apa yang harus diputuskan? Sejak aku hidup, ini adalah anugerah terbesar yang aku dapatkan.”
Kulirik kang Mubarok, tangan kanannya ia jadikan tumpuan, telapak tangan kirinya ia guanakan untuk menutupi wajah. Ia tersenyum, seraya bernapas lega.
***
Sekarang giliranku yang bercerita, ya, aku Mubarok. Yang sekarang sudah menjabat jadi garwa ning Nisa. Kurasa tak perlu kuceritakan perjalananku mendapatkan ning Nisa. Itu tidak seru. Akan kuceritakan yang seru-seru saja.
Sore itu, tepat satu minggu setelah pernikahan, kegiatan kami biasa-biasa saja. Malah cenderung membosankan. Hanya saja deg-degan terus-terusan terjadi. Mungkin karena di pondok kami jarang sekali berinteraksi, lebih sering menahan salting dan cepat-cepat pergi. Ning Nisa juga sejak kecil jarang berinteraksi dengan lawan jenis, membuat perempuan cantik itu bingung acap kali kami bersama. Jangan tanya aku. Satu minggu berada di rumah ini belum juga membuatku terbiasa, masih ewoh tiap kali bertemu Abah dan Ummi. Nasib, menikah dengan anak terakhir. Sebelum menikah Abah memberikan 2 persyaratan yang harus kupenuhi. Pertama, tinggal di rumah ini. Abah Ummi tidak mau jauh-jauh dengan putri terakhinya. Kedua, siap mengemban amanah mendampingi setiap santri di pesantren ini.
Aduh, berat sekali syarat yang kedua itu. Aku tidak pernah memintanya, bahkan nyaris saja aku menolaknya. Tapi tidak! Cintaku memang ditakdirkan untuk ning Nisa.
Aku menghampiri ning Nisa yang tengah mencuci piring. Aku tahu dia bosan, bingung harus apa denganku sampai-sampai meminta piring semua anak santri yang masih kotor, akan ia cuci. Beruntung hanya sedikit.
“Ning.” panggilku. Ia menoleh, uuh, cantik.
“Ayo kita jalan-jalan.” ajakku.
“Ayo!” jawabnya antusias. Lihatlah muka itu, lucu sekali. Matanya yang berbinar, mengangguk-angguk seperti anak kecil.
“Kemana?”
“Gimana kalau keliling dunia?”
“Halah, nggak percaya!”
“Lho, beneran, keliling dunia kita.”
“Hiiih!” balasnya gemas, mencubit lenganku.
“Ya sudah, yang penting izin Abah dulu.”
Aku mengeluh tertahan. Nah, itu “Kenapa? Ndak berani?”
“Oh, berani dong.” ujarku mempertahankan harga diri. Cukup sekali saja aku dibilang wedinan. Walau begitu langkahku tetap ragu menghampiri abah yang ada di perpustakaan ndalem. Aku menjatuhkan lutut hendak masuk perpustakaan, tapi tak kunjung melangkah, sampai ning Nisa yang berada di belakangku mendorong punggungku.
“Assalamualaikum, Bah.”
“Waalaikumsalam.” jawab Abah yang masih fokus membaca kitab. Membuatku ragu hendak berbicara, takut mengganggu Abah. Ning Nisa menyenggol sikutku, aku balas menyenggol sikutnya.
“Buruan!” bisik si cantik itu.
“Ada apa, Nang, Nduk?” tanya Abah pada akhirnya.
“Mau izin jalan-jalan, Bah.”
“Jalan-jalan kemana?” tanya Abah. Aku mulai bingung harus jawab apa.
“Kemana saja, Bah.” jawabku pada akhirnya.
“Kenapa harus jalan-jalan?” tanya Abah yang menurutku pertanyaan itu sedikit ganjil. Seketika aku ingat cerita ning Nisa, bahwa Abah itu sering iseng menguji.
“Karena imam Syafi’i yang suruh, Abah.” jawabku. Abah diam, sepertinya jawabanku benar.
“Imam Syafi’i dawuh ‘Pergilah, karena kepergian memiliki 5 faedah. Pertama, menghilangkan kesedihan. Kedua, mencari maisyah, mencari ilmu, ciri khas tata krama suatu kaum, mendapat banyak teman.”
“Ya sudah Abah kasih izin, tapi ada dua syarat.” Lagi? Batinku.
“Perginya harus pakai om jengki dan habis ngaos isya’, nanti kamu main sama abah.
Sore itu aku sangat senang.
“Ning, tahu tidak?” tanyaku kepada ning Nisa yang membonceng di belakangku, yang tengah mengayuh sepeda jengki. Ya, yang dimaksud om jengki Abah adalah sepeda ini, ning Nisa bilang sepeda ini seperti adik Abah, makanya Abah memanggil sepeda ini ‘om’, panggilan untuk anak-anaknya
“Yo, ndak tahu tho, Kang, orang belum dibilangin.”
Aku terkekeh. “Dulu, kalau saya ke pasar, beberapa kali kebayang boncengan sama sampean pake sepeda jengki.”
“Dosaaaaaaa!” serangnya.
“Yang penting alhamdulillah tho, sekarang kesampean.”
“Yeee.” Itu responnya. Sesekali aku melirik ke belakang, kulihat si cantik itu menahan senyum
“Jiah, salting!”
“Heh, siapa yang dulu salting waktu di makam pondowan. Sok-sokan mau nitipin hpnya Abah yai.” Aku diam sesaat pura-pura berpikir.
“Lho, itu sampeyan, Ning?”
“Sampeyan tidak tahu atau lupa, Kang?” tanyanya tidak terima.
Tidak mungkin aku lupa, sosoknya yang berjilbab pink pach khas jilbab pondok, cantik sekali dengan kulitnya yang putih kemerahan, sok cool menahan tawa.
“Tidak mungkinlah aku tidak tahu, Ning. Apa lagi sama cantiknya bidadari.
Seketika itu ning Nisa mencubit pinggangku kencang. Argh, sakit sekali.
***
Kalian ingat syarat Abah yang kedua? Mengajakku main, main apa? Main catur! Biasa saja sebenarnya, aku sudah biasa main catur dengan anak pondok. Tapi kali ini tidak biasa, main caturnya harus ditimer pake jam pasar dengan durasi maksimal lima menit! Cukup lama sebenarnya, kalau tidak dikasih soal dari abah dan harus menjawab dalam waktu lima menit itu.
Kami duduk di sofa ruang keluarga, ning Nisa duduk di sampingku usai menyuguhkan tiga cangkir kopi hitam, sekaligus untuknya. Abah menjalankan bidaknya, sekalian memberi soal.
“Definisi hadits dalam sudut pandang usul fiqih, apa bedanya definisi hadits dengan mustholah, dan jelaskan alasanya. “Abah membalik jam pasir, waktu mulai berjalan. Nasib, baru mulai permainan saja aku sudah tau endingnya.
Dua jam permainan itu baru selesai. Aku kalah, itu sudah jelas. Tapi momen itu menyenangkan. Ning Nisa membantuku bermain, menjalankan bidak sekaligus menjawab soalan. Abah tidak terima.
“Kenapa kamu terus-terusan membantunya, Nis?”
“Lho, Abah lupa. Abah dulu waktu sama kakek,” maksudnya mertua Abah, ayah dari Ummi, “Ummi juga membantu Abah, seperti Rosulullah. Di balik sosok ayah yang keren ada sosok istri yang hebat!”
Pess, aku yakin mukaku sudah merah sekali sekarang. Abah yang disekak, kenapa aku yang panas?
Dan kalian tahu, apa yang semakin membuatku panas? Ketika Abah bertanya “Kalian tidak pengen bulan madu?”
-Selesai-
Karya: Ikrima Elok Zahrotul Jannah, alumni Mansajul Ulum 2023.