Menu

Mode Gelap

Cerpen · 27 Des 2024 11:34 WIB ·

Air Mata Annisa


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

Ah, Abah, jangan lagi aku mohon. Jangan paksa Annisa untuk berbicara tentang ini lagi. Masalahnya ini bukan sekedar cerita sekalipun penuh cita. Abah, bertahun-tahun panjenengan titipkan Anis di pesantren, dan selama bertahun-tahun itu pula cerita ini mulai menemukan konflik peliknya, yang nahasnya justru menjadi kepingan puzzle, yang melengkapi ruang hampa.

Air mataku luruh di pangkuan, aku bersimpuh di depan abah. Aku tahu air mata itu bukan air mata yang kelak jadi mutiara, bukan pula air mata bening layaknya air mata ibunda. Air mataku keruh, penuh luka.

Aku ingat sekali saat pertama kali cinta itu tumbuh tunasnya, dua cinta sekaligus! Tumbuh secara hampir bersamaan. Maka jika satunya tumbuh lebat, satunya lagi akan tumbuh tak kalah lebat, persis seperti dua anak kembar.

Makam pondowan, saksi bisu tumbuhnya dua tunas itu secara diam-diam. Abah yai dawuh sebelum memulai tahlil bersama, di depan empat makam mulia.

“Sebelah sini merupakan makam mbah kiai Muhammadun,” Jemari beliau dengan santun menunjuk makam dengan pagar besi di sekelilingnya, menujukkan bahwa itu makam utama.

“Di sebelahnya makam kakak kandung mbah Muhammadun yaitu makam mbah Abdul Adzim. Keduanya lahir di tempat di mana kalian tinggal. Karena itu menurut saya tempat di mana kalian tinggal sekarang adalah tempat yang penuh berkah, karena merupakan tempat di mana lahirnya ulama-ulama besar.

Dibanjiri berkah, pikirku.  Bukan hanya mbah Muhammadun dan kakaknya, melainkan keseluruhan keluarganya, tedak turun keluarga mulia itu. Seperti mbah Abdullah Rifa’i, keluarga bu nyaiku, semuanya orang-orang besar. Dan semuanya mengukir cerita-cerita hebat di tempat yang sama. Pondok pesantren di mana aku tinggal, pondok pesantren al-Mannan. Lebih lagi di desa itulah tempat di mana waliyullah mbah Ahmad Mutamakkin pertama kali menapakkan kaki di bumi Pati

Setitik air mata menggenang di sudut pelupuk mataku, saat itulah tunas cinta itu tumbuh, cinta yang tidak perlu dipertanyakan.

Namun beberapa langkah waktu sebelum itu, ketika embun sejuk masih menemani pagi, sebuah rasa lain terlebih dulu tumbuh. Sebuah rasa yang jika benar itu cinta, maka aku tidak akan pernah berhenti bertanya.

Aku ini pemabuk bus level akut. Yah, itulah faktanya. Baru beberapa kali roda bus menggelinding, isi perutku sudah meronta-ronta, bergejolak, dan kemudian meletus tanpa diminta. Nasiblah aku duduk pasrah di teras masjid, menjadi santri terakhir yang masuk ke area makam. Aku diam saja di sana, menunggu mual itu reda selagi mbak santi masih di kamar mandi.

Di saat itulah sebuah langkah mendekatiku. Sontak aku terlonjak kaget, spontan berdiri sebelum orang itu bersuara dengan mulut setengah terbuka. “Ehem, anu, Mbak, ini saya boleh nitip ponselnya abah yai, tadi beliau menghubungi saya, minta dibawakan karena ketinggalan.”

Perutku tergelitik, aku siap menahan tawa. Aduh lihatlah, aku seketika saja tahu orang ini hanya basa-basi, biar tidak salting. Tangannya memang terjulur memberikan ponsel, tapi jelas sekali ia ragu, dan ingin memberikan ponsel itu langsung kepada abah yai.

“Bukankah lebih baik sampean sendiri yang memberikan, Kang?” usulku sekenanya, ikutan basa-basi.

“Begini saja, sampean tunggu di sini, insyaAllah abah tidak lama.”

Laki-laki itu tampak sedikit terkejut, kemudian manut saja mengangguk setuju. Setelahnya aku beranjak pergi, masuk ke area makam bersama mbak Santi yang ternyata sudah selesai sedari tadi.

Itu tahun pertamaku mondok, Abah, kelas 1 aliyah. Masih sangat awal. Tapi lingkunganku yang sedari kecil memang pesantren, dan karena aku yang memang suka memperhatikan bahasa tubuh orang lain membuatku bisa membacanya. Tatapan mata yang tajam, postur tubuh yang tegap, tapi di baliknya penuh ketawadlu’an, dan prinsipnya, sami’na wa atho’na.

Aku masih diam di hadapan abah, dengan air mata yang justru semakin deras mengalir. Setelah itu hidupku di pesantren terasa penuh perjuangan, Bah. Tentang rasa ini di setiap langkah, yang tak kunjung menemukan titik terangnya.

Abah menarik kepalaku lembut, kemudian mengecup pelan dua kelopak mataku. “Jangan nangis lama-lama,” dawuhnya seraya beranjak pergi, melangkah menuju madrasah, banyak murid yang menunggu beliau di sana.

Aku tahu, cepat atau lambat aku memang harus menceritakannya.

***

“Abaaaaaah, jangan ngebut-ngebut!” Teriakku. Abah justru tertawa nyaring dengan suara seraknya sebagai respon. Aku mengeratkan pelukanku di pinggang tua abah, menyembunyikan wajahku di tengkuk beliau, melampiaskan rasa lelahku. Meskipun begitu aku masih sempat melihatnya, setiap sisi wajah abah, sudah kentara sekali kalau umurnya sudah bukan tahap dewasa lagi, apalagi muda. Punggung yang dibiasakan tegap itupun tetap saja tampak sedikit bungkuknya. Dengan mengendarai si merah? Oh ayolah.

“Abaaaaaaah!” teriakku lagi, abah memutar semakin dalam gas motornya. Si merah ini adalah motor jenis CB 20. Motor tua. Motor kesayangan abah yang menemani perjuangan beliau sejak muda. Abah memang pernah mengaku bahwa semangat mudanya masih berkobar sampai sekarang, sekalipun cucu-cucunya terus bertambah. Tapi justru begitulah, acap kali bertemu cucu, aliran darah di tiap ruas pembuluh darah abah bergejolak semangat.

“Sudaaah, kita turun di sini,” ujar abah diiringi semakin pelannya kecepatan si merah.

“Di sini? Di tengah lapangan?” ‘gelap sekali.’ gumamku.

Aku sontak mendongak, kebiasaanku, yang sengaja kubiasakan sebenarnya. Teringat teori dasar filsafat yang tertera di dalam novel Dunia Shopie, mengenai kutu yang bersemayam di antara bulu rambut kelinci. Mulanya kutu itu ada di ujung rambut, takjub melihat dunia. Tapi semakin berjalannya waktu, kutu itu merosot kebawah, kemudian sibuk sendiri dengan dunia sempit di sekitarnya, merasa dunia ini sederhana dan biasa saja. Maka aku akan terus berada di ujung bulu rambut kelinci, menatap dunia dengan tatapan berbeda.

“Nah, siap.” Abah mengaburkan lamunanku yang masih terpaku melihat langit. Keadaan sekitar yang gulita membuat bintang nampak banyak dan terang. Aku menoleh ke arah abah, dan seketika terkejut melihat teropong besar yang sudah berdiri anggun di samping abah. Kegiatanku yang melamun tadi membuatku tidak sadar bahwa sedari tadi abah sibuk sendiri memasang komponen teropong.

“Ini hadiah atas keboyonganmu.” Abah tersenyum.

Hish, Abah, boyong kok dikasih hadiah.”

Abah tertawa lagi, “Yo ndak papa, tapi kamu masih suka tho lihat bintang.”

“Suka sekali!” sahutku yang tak sabaran, bergegas mengintip bintang melalui teropong.

“Subhanallah, Abah! Lihat, milky way! Pantas saja di sini banyak bintang.”

Abah melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, “Nis, sekarang pukul tiga pagi, tunggulah sampai fajar shodiq, kamu akan melihat yang lebih keren dari milky way.”

Ah, kalian tidak tahu ya. Sebenarnya momen ini sedikit ganjil, untuk pertama kalinya abah mengajakku keluar, menaiki si merah saat matahari masih belum minat muncul dari ufuk timur. Pukul setengah tiga tadi aku masih sibuk bergelut dengan sujudku dalam sholat tahajjud, mencurahkan semua luka kepada sang pendengar paling bijaksana. Usai salam terakhir, tahu-tahu abah sudah ada di belakangku, lagi-lagi mengecup dua kelopak mataku yang masih basah. “Siap-siap ya, kita akan jalan-jalan bersama si merah.”

“Bintang fajar?” tanyaku penuh semangat. Abah mengangguk sebagai jawabannya.

“Kamu bisa bercerita sambil menunggunya,”

Aku masih berusaha mempertahankan senyumku sekalipun mendengarnya. Sedari awal aku memang sudah menduga, perjalanan ganjil ini adalah bagian dari rencana kancil abah. But, it’s okey. Di tengah sujudku tadi, Allah seakan berbisik memperteguh hatiku, bercerita dengan abah bukan lah suatu hal yang perlu dihindari, justru merupakan solusi.

Aku masih mempertahankan senyumku, baiklah, aku siap bercerita.

***

Pondok pesantren Al-Mannan, tempat di mana aku mengenyam banyak pengetahuan itu diasuh oleh sosok ibu nyai muda, yang cantik dengan aksen ke arab-arab-an. Siapapun jika pertama kali bertemu ibu nyai, dan tanpa abah yai di sampingnya, maka bisa kupastikan tidak akan mengira bahwa beliaulah yang mengasuh pesantren, melainkan sosok ning-nya yang paling tua dan jelas masih single. Aura beliau kuat penuh wibawa, tatapannya tajam penuh ketegasan, namun di dalam hatinya, lautan kasih sayang.

Ibu nyaiku adalah sosok yang menjunjung tinggi pendidikan, karenanya setiap santri harus mengikuti kegiatan mengaji dengan baik, tidak terkecuali mbak dan kang ndalem. Mengaji kitab kala malam, tetap mengikuti madrasah dinniyah di kelas masing-masing, mengikuti musyawarah, hafalan wajib dituntaskan, jama’ah pun tidak boleh ketinggalan. Hanya saja sesekali tetap mendapat keringanan karena tugas anak ndalem lebih berat dari santri yang lain. Bangga sekali aku mengetahui hal itu, langsung saja aku ceritakan kepada abah di salah satu kesempatan teleponku yang hanya satu bulan sekali. Ah, keputusan yang bodoh sekali. Karena tepat setelah itu, abah menurunkan titahnya, memintaku menjadi anak ndalem. Haish, itu permintaan yang tidak terduga sekali. Aku tidak tahu harus senang atau sedih, dapat lebih mudah mengalap barokah, tentu membuatku bahagia, kepalang bahagia malah. Tapi itu juga membuatku mudah dalam hal lain dan sulit dalam satu waktu sekaligus.

Dalam waktu 3 tahun cinta itu diam-diam tumbuh semakin lebat, Abah. Aku berhasil menyimpannya seorang diri. Tapi aku bukan Fathimah Az-Zahra yang dapat menyembunyikan rasanya bahkan setan pun tidak dapat mencium jejaknya. Dalam kisahku, setan justru telah berhasil memporak-porandakannya, Abah, membuatnya menjadi begitu liar. Seorang guru besar mengatakan bahwa membayangkan lawan jenis saja haram hukumnya, Abah. Sedang menjadi mbak ndalem, membuat mata ini melakukan zinanya berkali-kali, berbincang satu patah kata membuat lidah ini tidak mau berhenti, jantung ini pun malah jadi kecanduan berdetak kencang. Prinsip-prinsip yang telah tertata rapi itu mulai goyah berceceran, Abah. Mati-matian aku mempertahankannya.

Aku bukanlah Rabi’ah Al-Adawiyyah, yang dengan semua tekad baja itu mampu menampik hasrat-hasrat tak berguna, yang lebih bahagia terpenjara dalam kubangan api dunia dari pada diabaikan oleh kekasih tercinta. “Sungguh, Abah! Laiknya Rabi’ah Al-Adawiyyah, aku hanya ingin memiliki cinta yang haq.” Tapi aku hanya An-Nisa, sorang perempuan yang lahir dengan semua sifat keperempuanannya.

Ujarku di tengah-tengah cerita, lidahku terdiam, pikiranku melayang dalam salah satu ingatan. Waktu itu, malam satu bulan Rabi’ul awal, usai berjama’ah maghrib. Ibu nyai berbalik badan, santri-santri yang biasanya bergegas meraih tangan beliau, kemudian menciumnya dengan harapan keberkahan mengalir dari asta beliau, kali ini para santri diam, ibu nyai hendak menyampaian satu-dua kata.

“Anak-anakku yang kusayangi, malam ini kita memasuki bulan Rabi’ul Awal. Bulan dimana lahirnya sosok kekasih di antara yang terkasih. Beliau adalah Nabi Muhammad SAW. Sosok yang memang sudah seharusnya dicintai. Apakah kalian mencintainya?” Ibu nyai melontarkan pertanyaan, jawaban ‘YA’ serentak didengungkan. Tapi pertanyaan itu berhasil menyentil hatiku. Apakah aku mencintai Nabi Muhammad SAW?

“Apakah kalian benar-benar mencintainya?” Tentu saja aku mencintainya.

“Mana buktinya?” Nah, itu masalahnya.

“Barang siapa ingin mencintai Allah, maka mengikutiku. Barang siapa ingin mencintai Allah, maka cintai Nabi Muhammad dengan mengikutinya. Apakah kita sudah mencintai beliau? Mengikutinya? Melaksanakan sunnah-nya? Setiap malam Jum’at kalian membaca Al-Barjanji, menyambut kedatangan nabi kala mahallul qiyam, apa yang kalian rasakan?” Ibu nyai menjeda kalimatnya, membiarkan santri menyelami emosinya.

Heh, bagaimana perasaan kalian ketika bertemu idola kalian? Ketemu idol-idol korea? Deg-degan, semangat menggebu, sekalipun dalam radius ratusan meter, di tengah konser jutaan umat! Kalian tetap rasakan euforianya, tidak sabar ingin bertemu, berteriak, ‘Woy! Aku fans terberatmu!” Sebagian santri tertawa malu, sedang aku? Air mataku menggenang di pelupukan mata, siap meluncur.

“Lalu bagaimana ketika kalian bertemu nabi?” Ibu nyai sengaja diam. Air mataku lolos meluncur. Satu yang muncul di benakku, “Maukah? Maukah Nabi bertemu denganku?”

Abah membelai jilbabku, aku bangun dari lamuanan. Aku tersenyum, “Benar, Abah, aku hanya ingin memiliki cinta yang haq. Meskipun begitu di pondok aku memiliki banyak sekali cinta. Karenanya, Abah, ketika kabar itu datang, aku tidak mau menyerah. Memang siapa dia? Mampu menghancurkan duniaku! Di pondok aku memiliki banyak sekali cinta, maka ketika satu cinta hancur, tidak masalah!” Aku menarik napas dalam-dalam.

“Seharusnya begitu, Abah. Nisa tahu seharusnya Nisa senang, bahagia lepas dari hasrat cinta buta. Tapi rasanya sakit, abah, sangat sakit. Hatiku meronta-ronta bilang jangan munafik!”

Kang ndalem itu, namanya kang Mubarok. Dikabarkan minta izin boyong ke abah yai. Mengejutkan sekali. Lalu menyusul kabar lain, ia boyong karena hendak melamar pujaan hati.”

“Sungguh, Abah, jika bisa jadikan saja aku seperti Sayyidah Maryam, yang hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Robbi. Karena itu, Abah, setelah mendengar kabar itu aku tidak mau menyerah, ikut-ikutan boyong. Aku pernah bilang, cinta itu tumbuh bersamaan cinta lain, persis seperti anak kembar. Maka jika satu anak mati, bukan berarti anak yang lain ikutan bunuh diri.”

Sampai akhirnya gelar wisuda kuraih di umur 21 tahun. Abah menurunkan titahnya lagi, memintaku boyong. Kini aku harus berpisah dengan dua cinta itu. Berlebihan? Iya, aku menangis sejadi-jadinya. Abah yang tidak suka putrinya dirundung duka, terus-terusan bertanya, maka aku terus-terusan meledakkan air mata.

Abah meraih puncak kepalaku, lagi-lagi mengecup dua kelopak mata yang basah ini. Kali ini sangat lama.

“Fajar sudah tiba,” bisik abah. Aku bergegas mengintip lagi melalui teropong, menatap indah sang bintang fajar. Venus. Segala puji bagimu, Robbi, segala puji bagimu, Robbi. Dalam hatiku kalimat itu terus kudengungkan. Sampai abah membuka suara.

“Kamu mau mendengar abah, Anakku?” Seketika aku menoleh ke belakang, mengangguk mantap, memang itu yang kucari.

“Cinta itu anugerah, mau semenyakitkan apapun itu. Segala hal yang datang dari Allah, mau itu bahagia atau justru menggoreskan duka, adalah anugerah. Maka kamu harus mensyukurinya.

Bersambung…

Karya: Ikrima Elok Zahrotul Jannah, alumni Mansajul Ulum 2023.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 143 kali

Baca Lainnya

AK24

18 April 2025 - 09:54 WIB

Lima Butir Jagung

21 Maret 2025 - 11:38 WIB

24 Hours

21 Februari 2025 - 12:47 WIB

Air Mata Annisa

24 Januari 2025 - 09:25 WIB

cinta

Sabar dan Tawakkal Adalah Kuncinya

29 November 2024 - 09:32 WIB

Doa Ilmu

1 November 2024 - 10:29 WIB

Trending di Cerpen