Selasa malam, cuaca yang sedikit mendung, suara katak pun saling bersahutan. Namun, suara itu tak berangsur lama, karena dikalahkan oleh para santri yang sedang asyik menyenandungkan nadzom Imrithi bersama.
Senandungan nadzom Imrithi tersebut berhenti setelah 15 menit lamanya. Kemudian dilanjutkan dengan seorang moderator mengawali kalimatnya.
Suasana saat itu mulai sedikit canggung, karena tak adanya santri yang mengeluarkan isi dalam kepalanya. Hingga akhirnya, sang moderator memecah keheningan, walaupun tak 100% berhasil.
“Gimana, menurut mbak Lathif?” tanya Nadin, selaku moderator yang meminta pendapat kepada salah satu santri yang bernama Lathifatul Qolbi. Tapi, yang ditanya hanya mringas-mringis sambil menundukkan kepalanya.
“Lho, ndak usah malu-malu, Mbak. Keluarkan pendapatmu.” bujuk Nadin lagi kepada Lathif. Namun, bukannya terbujuk, Lathif malah semakin menundukkan kepalanya.
“Ya udah. Bagaimana pendapat yang lain?”
“Kalau saya begini, Mbak…”
Begitulah suasana pada malam itu. Di pondok ini ada tradisi yang sangat jarang dijumpai di berbagai pondok-pondok besar lainnya. Yaitu musyawarah nahwu setiap Selasa dan Sabtu. Sebenarnya, pondok ini bukanlah pondok besar yang banyak sekali orang pada nyantri di sana. Namun, pondok ini adalah pondok salaf yang sederhana. Hanya ada beberapa santri di sana. Jumlahnya bahkan tidak sampai 50-an. Namun, jangan salah, walaupun pondoknya kecil, prestasinya amat sangat di luar ekspektasi manusia.
Tak banyak orang yang mengetahui keberadaan pondok ini. Namun, siapa sih pejabat-pejabat di seluruh desa bahkan kota yang tidak tahu siapa pengasuhnya?
Pondok Pesantren Miftahul Jannah.
“Demikian, musyawarah pada malam hari ini. Saya sebagai moderator meminta maaf jika ada tutur kata yang tidak berkenan di hati, saya pamit undur diri. Cukup sekian, “Tsummassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”
***
“Mbak Lathif, ditimbali Ustazah Nafi’.” timpal salah satu santri bertubuh gempal yang akrab dipanggil Ika.
“Eh, Aku?”
“Iya, Mbak. Di teras tadi kayaknya.”
“Ngapain Ustazah Nafi’ nimbali aku?”
“Mm….., aku ndak tahu, Mbak, hehe. Oh ya, aku ke kamar dulu ya.”
“Iya, makasih ya, Ka.”
Pikiran Lathif kalut, “Ngapain Ustazah Nafi’ manggil aku?” tanya Lathif pada pikiranya sendiri. Tanpa berpikir dua kali, Lathif kemudian melangkahkan kakinya menuju teras tempat Ustazah Nafi’ memanggilnya.
Lathif melihat punggung Ustazah Nafi’ yang sedikit membungkuk dari celah-celah pintu aula yang sedikit tertutup. Punggung itu membelakanginya. Lathif kemudian menghampirinya.
“Nyuwun sewu, Ustazah. Ada apa jenengan nimbali?” tanya Lathif sedikit pelan kemudian berlutut di samping Ustazah Nafi’ yang sedang melanyahkan hafalan Al-Qur’annya sambil memejamkan mata.
“Oh Lathif. Sini, duduk di sampingku.”
“Nggih, Ustazah.”
“Ndak usah panggil ustazah-ustazah segala ah, panggil mbak aja.”
“Ndak papa kok, Ustazah.”
“Ya udah, terserah kamu, mbak mau minta tolong, boleh?”
“Iya, Ustazah.”
“Tolong, mbak disemak ya.” hanya dengan satu anggukan yang Lathif berikan, kemudian mengambil alih Al-Qur’an yang sempat disodorkan Ustazah Nafi’ kepadanya.
Ayat demi ayat telah dilantunkan Ustazah Nafi’ dengan merdu. Ustazah Nafi’ hanyut ke dalam lantunannya bersama dengan Lathif.
Lima belas menit telah berlalu. Posisi Lathif masih sama seperti tadi –menyimak Ustazah Nafi’. Lathif pun dibuat kagum olehnya. Udah cantik, pinter, hapalan Al-Qur’an, ditambah lagi, Ustazah Nafi’ sudah menjadi guru di pondok ini atau bahkan di luar kurang lebih selama 3 tahunlah. Jadi, bertambah kali-kali lipat kagumnya, bahkan gak jadi kagum doang malahan.
Satu jam telah terlewatkan, Ustazah Nafi’ kemudian menghentikan hafalannya begitu saja, hal ini membuat Lathif menatapnya heran.
“Lho kok berhenti, Ustazah ?” tanya Lathif heran.
“Udah, segitu dulu, besok bisa dilanjutin lagi.” jawab Ustazah Nafi’ sambil mengembangkan senyumnya. “Terimakasih banyak ya, Thif.” tangan Ustazah Nafi’ kemudian terulur untuk mengambil alih kembali Al-Qur’an dan menciumnya cukup lama.
“Lathif.” panggil Ustazah Nafi’ setelahnya.
“Iya, Ustazah, ada apa ?”
“Mbak boleh tanya ?”
“Iya Ustazah.”
“Tadi, mbak lihatin kamu pas musyawarah. Kenapa kamu nggak pernah mengutarakan pendapatmu? Mbak tahu kok, kalau kamu memiliki jawaban tersendiri. Mbak tahu, kalau kamu itu bisa. Tapi, kenapa kamu gak pernah mau mengutarakannya?” tanya Ustazah Nafi’ panjang lebar serta merta memberikan saran dengan tatapan yang meneduhkan. Tubuh kecil nan tinggi itu seketika menundukkan kepalanya dalam. “Aku masih malu, Ustazah.”
“Malu kenapa, Thif? Orang ndak bakalan ada yang menertawakanmu kok. Coba pertanyaan mbak yang tadi dijawab. Jangan nunduk gitu, gak enak ngomongnya. Hadap ke mbak.” tangan Ustazah Nafi’ kembali terulur untuk mengangkat dagu Lathif. “Ndak usah malu sama mbak. Cerita aja, gapapa kok.”
“Aku masih belum berani, Ustazah, untuk mengkritik apalagi memberi pendapat. Ya, sebenarnya aku udah tahu jawabannya dan udah merancang kata-katanya. Tapi, aku ndak berani buat ngungkapinnya, Ustazah.”
“Iya, mbak paham kok apa yang kamu maksud. Namun, setidaknya berusahalah untuk terbuka di depan umum. Apalagi saat musyawarah bersama teman-temanmu. Itu adalah waktu yang pas untukmu mengapresiasikan pendapatmu. Mbak tahu lho, kalau kamu sebenarnya bisa. Namun, cara kamu mengungkapkannya belum tepat saja. Cobalah sedikit demi sedikit lama-lama kamu pasti terbiasa.” jelas Ustazah Nafi’ dengan tangannya yang masih setia memegang tangan kecil nan lentik milik Lathif.
Lathif mencoba mendengar dan merenungi saran dari Ustazah Nafi’ malam ini. Otaknya berpikir keras untuk melawan ego dan rasa takutnya.
“Coba pikirin baik-baik, ya. Mbak yakin, kamu pasti bisa.” semangat Ustazah Nafi’ untuk Lathif. Kemudian, ia lepaskan tangan Lathif dari genggamannya. Menepuk pelan pundak Lathif beberapa kali.
“Udah ah, besok kamu masih sekolah. Istirahat ya.” pesan Ustazah Nafi’ kepada Lathif.
Lathif mengangguk kemudian tersenyum, “Iya, Ustazah. Aku pamit dulu, ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
***
Malam sudah semakin larut. Angin berhembus semakin kencang. Hawa dingin malam menusuk pori-pori kulit, membuat ujung jari-jari kaki dan tangan semakin menggigil kedinginan. Namun, hal itu tak menggoyahkan semangat para santriwati yang sedang menuntut ilmu dan belajar.
Saat sedang serius belajar, tiba-tiba saja pintu ndalem terbuka, menghasilkan suara berdecit antara kayu dan lantai. Semuanya terperanjat. Napas pun turut berhenti sejenak.
“Ndok,” panggil Bu Nyai kepada salah satu santri yang berada di teras.
“Nggih, Buk.” jawab Lula cepat.
“Tolong panggilkan mbak Nafi’, suruh ke rumah.”
“Nggih, Buk.” dengan segera Lula masuk ke dalam aula dan mulai mencari Ustazah Nafi’. Tak butuh waktu lama, Lula akhirnya menemukan Ustazah Nafi’ sedang berbincang dengan santri lainnya.
“Ustazah Nafi’, ditimbali Bu Nyai. Disuruh ke ndalem.”
“Oh, iya.”
***
Waktu kian cepat berlalu. Yang tadinya baru menjelang subuh, sekarang matahari sudah terbenam di ujung barat. Namun, masalah waktu tak melemahkan tekad para santri untuk mengabdi di Pesantren Miftahul Jannah ini. Justru itu yang membuat para santri giat belajar di sini. Selain dikenal dengan pondok yang genius, pondok ini juga dikenal dengan keasrian dan kebersihannya. Hal ini membuat siapa saja yang memandangnya adem ayem nan tentrem. Bukan cuma dipandang, dibuat belajar pun sangat syahdu.
Kata mereka, pondok itu unik. Dari adat sama kebiasaannya saja unik, apalagi ilmu dan orang yang mempelajarinya? Di pondok ini diwajibkan ngaji kitab kuning, ngaji Al-Qur’an dan belajar. Karena di sini mementingkan prestasi dan apresiasi, bukannya simpati. Dan yang lebih penting lagi, manfaatnya ilmu, serta ngabdi kiai.
Adzan maghrib telah selesai dikumandangkan oleh muadzin. Kini giliran pujian setelah adzan mulai disyairkan.
Suara lembut nan menyejukkan hati ini berasal dari pondok putra yang terletak di depan ndalemnya keluarga pengasuh. Siapa sih, yang tak kenal dengan muadzin satu ini?.
“Masyaallah, kang Fatih, adem ayem hatiku.” ucap salah satu santri yang sibuk merapatkan shof jama’ahnya sambil menyentuh dadanya takjub.
“Heleh, dasar buaya betina. Semua yang bagus-bagus kayak gitu, langsung kamu embat.” semprot santri yang mulai terganggu bacaan Al-Qur’annya.
“Lho, piye tho. Orang cantik mah, bisa apa aja.” sombongnya sambil mengibaskan tangan.
“Heleh, yo, Din…, Din. Ayu sih ayu, pinter nahwu, gak?”
Jleb!!!
“Eee.. jang..”
“Ayo, Mbak, shofnya dirapatin.” teriak mbak Lula –selaku pengurus bagian Sie. Pendidikan. Sontak semua santri berhamburan menuju ke tempat shof masing-masing. Jama’ah pun dimulai.
Setelah jama’ah nanti masih ada kegiatan lain yang harus dilakukan para santri, yaitu ngaji kitab kuning dan belajar wajib malam hari.
“Mbak-mbak, minta perhatiannya sebentar.” sela Ustazah Nafi’ bersama Ustazah Rahma mengambil alih perhatian para santri yang hendak kembali usai jama’ah.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 22.15 WIB
“Hoaam…” Lathif menguap setelah selesai pengumuman dari Ustazah Nafi’ dan Ustazah Rahma tadi, mata Lathif sudah mulai berat.
“Lathif, sini.” panggil Ustazah Nafi’ di ambang pintu aula. Tangannya mengalun, meminta Lathif agar mendekatinya.
Tanpa berpikir lama, Lathif segera beranjak dari duduknya. Tak lupa menutup buku serta kitab yang usai ia pelajari tadi. Kakinya menuntunnya untuk mendekati Ustazah Nafi’.
“Ada apa, Ustazah?”
“Duduk dulu dong. Begini, kamu terpilih jadi perwakilan pondok untuk lomba HSN Matan Jurumiyah.”
“Tapi Ustazah,”
“Gapapa, Lathif, gak usah takut. Mbak yakin, kamu pasti bisa.”
“Tapi, Ustazah,” ucapnya lagi-lagi berusaha menolak.
“Thif,” ucap Ustazah Nafi’ dengan nada rendah, membuat Lathif seketika diam.
“Apa yang kamu ragukan dengan kemampuanmu? Ini saatnya kamu buktikan pada dunia bahwa kamu bisa. Buktikan pada semua, bahwa kamu itu ada.” Lathif menunduk. Otaknya berpikir cepat. Haruskan ia terima atau tidak? Ia masih bimbang.
“Maaf, Ustazah. Saya butuh waktu.” jawab Lathif ragu. Ia tak berani bertatapan dengan Ustadzah Nafi’. Ia takut mengecewakan.
***
“Sudah siap?” tanya Ustazah Nafi’ sambil tersenyum hangat.
“Bismillah. Siap, Ustazah.” mantap Lathif. Kemudian naik ke atas podium.
Sepuluh menit berjalan begitu cepat. Sebentar lagi bacaan Lathif akan selesai. Ustazah Nafi’ berdo’a terus menerus dalam hati dan bertasbih berulang kali menyebut nama Allah Yang Maha Kuasa. Meminta perlindungan dan kelancaran untuk Lathif mengikuti lomba.
Setelah Lathif selesai, sang pembawa acara naik ke atas podium, bersiap melaksanakan tugasnya.
“Bismillahirrohmanirrohim,” mula sang pembawa acara. “Kategori pemenang lomba HSN periode 2022/2023 dengan lomba MQK Fathul Qorib…”
MC mulai membacakan hasil penilaian juri. Jantung Lathif berdetak kencang tak karuan, pun dengan Ustazah Nafi’, selaku pembimbing Lathif. Tangan Lathif sampai gemetaran, keringat dingin pun keluar dari buku-buku tangannya, saking gugupnya ia mendengar hasil pemenang.
“Lomba matan Jurumiyyah dengan juara ketiga dengan rata-rata nilai 85.5 dimenangkan oleh ananda Nayaka Putri, juara kedua dengan rata-rata nilai 89.8 dimenangkan oleh ananda Bening Rahmantiyas. Dan ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu. Juara pertama matan Jurumiyyah dengan nila rata-rata 92.5 dimenangkan oleh…” sengaja sang MC menggantungkan kalimatnya, membuat para peserta maupun para audien gemas sendiri.
“Ih, kenapa berhenti, sih?” tanya salah satu peserta menggigit bibir bawahnya. Geram sekaligus cemas.
“Ananda Nur Rofi’ah… berikan tepuk tangan untuk para peserta lomba HSN kita tahun ini. Wah-wah, hebat-hebat banget ya santri zaman sekarang. Ck-ck, saya salut. Baiklah, untuk para peserta yang saya sebut namanya tadi dipersilahkan naik ke atas podium untuk menerima hadiah dan piala.
Hati Lathif seketika mencelos. Terkejut akan hasil kenyataan bahwa dirinya memang belum mendapatkannya. Lathif menunduk dalam.
“Thif,” panggil Ustazah Nafi’ sambil menepuk pelan bahu Lathif. “Gapapa, kita bisa coba lain waktu.” yakin Ustazah Nafi’ menenangkan Lathif yang terus menunduk lebih dalam.
***
Semenjak kejadian Lathif yang belum berhasil mendapatkan juara itu, ia makin menjadi pribadi yang tertutup, jarang bersosialisasi dengan sekitar, apalagi bertanya-tanya saat musyawarah pondok. Ia juga jarang bercanda dengan Ustazah Nafi’. Dirinya kini lebih sering menyendiri.
Lathif sedang melantunkan nadzom-nadzom imrithi dengan syahdu di pojok aula. Tiba-tiba saja Fifi dan Okta menghampirinya.
“Hai, Thif. Lagi ngapain?” tanya Fifi.
“Iya, nih. Kok kayaknya serius banget.” Okta menimpali dengan nada agak jahil. Tapi, yang digoda hanya tersenyum sekilas lalu menundukkan kepalanya.
“Lho, kok nunduk sih, sini main sama kita.” bujuk Okta lalu mengangkat dagu Lathif. Tak ada penolakan, Lathif hanya menurut.
“Kok, kamu sekarang tambah pendiem sih, Thif. Padahal biasanya, kamu sering nyapa, mudah tersenyum, tapi ini kok sebaliknya?”
“Gapapa kok, Fi.” jawab Lathif seadanya.
***
“Lathif, ditimbali Ustazah Nafi’ di teras.” ujar salah satu santri kemudian melenggang pergi meninggalkan Lahif begitu saja. Lathif yang baru saja ingin mengucapkan terima kasih ia urungkan.
Lathif mempercepat langkahnya.
“Ada apa, Ustazah?”
“Tolong semakin mbak lagi, ya? Melanjutkan yang kemarin. Kamu ndak sibuk atau terganggu kan?”
“Ndak, Ustazah.”
Setelah selesai menyemak Ustazah Nafi’, Lathif tak langsung meninggalkan Ustazah Nafi’. Namun, ia menunggu wejangan yang akan diberikan untuknya. Lathif paham akan perlakuan Ustazah Nafi’ kepadanya ketika ia diminta untuk menyemak hafalannya. Pasti ada yang mau diomongin.
Benar saja firasat Lathif. Ustazah Nafi’ memberikannya wejangan malam ini sampai tengah malam. Bukan hanya wejangan saja, namun juga saran yang mampu membuka pintu hati seorang Lathif –si lemah lembut.
Hati Lathif tersentuh setelah mendengarkan nasihat dari Ustazah Nafi’. Bahwa tidak semua usaha harus berjalan sesuai dengan ekspektasi. Ada kalanya beberapa usaha yang kita lakukan yang menurut kita sudah optimal, tapi hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tapi, yakinlah bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jadi, janganlah berhenti dengan usaha yang hasilnya belum sesuai dengan ekspektasi. Karena banyak orang hebat yang sering gagal dalam setiap usahanya. Mungkin cukup hanya itu yang Lathif ingat dari ucapan Ustazah Nafi’.
Sayup-sayup terdengar beberapa suara santri yang masih asyik bercerita. Sedangkan Lathif kini sedang berusaha untuk menutup kedua matanya yang sulit terpejam.
***
Kukuruyuk….. Kukkuruyukkkk
Alunan suara ayam jantan berkokok di pagi hari menjadi awal dari aktivitas para santri di Pesantren Miftahul Jannah. Tidak terkecuali dengan Lathif. Setelah usai shalat jama’ah subuh bersama, Lathif kemudian dipanggil oleh Ustazah Nafi’.
“Bagaimana, sudah siap belajarnya?”
“Insyaallah, siap, Ustazah”
“Bagus. Sebelum kita memulai belajarnya, lebih baik kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa mulai.”
***
Waktu telah kian berjalan begitu cepat. Tidak terasa, hari-hari yang paling Lathif takuti pun tiba. Dimana dirinya kali ini akan membuktikan pada dunia bahwa dia mampu dan dia bisa.
“Thif, jangan takut ya…” ucap Ustazah Nafi’ memecah keheningan di dalam mobil. Tangan kecil nan lembutnya menggenggam tangan Lathif yang amat dingin. Sedangkan dirinya hanya tersenyum canggung.
“Baiklah, ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu. Langsung saja, pemenang lomba matan Jurumiyah tingkat provinsi yang diselenggarakan di pondok pesantren Az-Zahir adalah….” sang MC menjeda sejenak kalimatnya.
“Ananda Lathifatul Qolbi dari pondok pesantren Miftahul Jannah.” hiruk pikuk suara para penonton menggema di seluruh penjuru ruangan disertai tepuk tangan yang meriah. Siulan demi siulan meneriaki nama Lathif yang bersujud syukur di hadapan Allah. Air matanya luruh begitu saja seiring ia bersujud.
“Untuk ananda Lathifatul Qolbi dari Pesantren Miftahul Jannah, harap segera naik ke atas panggung.”
Lathif melangkah dengan pasti, masih dengan air mata yang terus luruh membasahi pipinya. Ia tak menyangka kalau dirinya bakalan bisa sejauh ini.
Karya: Nafidatussalafiyah, Santri Mansajul Ulum.