“Wahai, Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak.”
“Wahai, Ayahku, singsingkanlah baju engkau agar darahku tak mengotori bajumu, maka akan berkurang pahalaku, dan jika nanti Ibu melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih.”
“Tajamkanlah pisau Ayah serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih ringan bagiku. Karena sungguh kematian itu amat dahsyat.”
“Wahai, Ayah, apabila engkau telah kembali, maka sampaikan salam kasihku kepada ibunda, dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang, maka lakukanlah.”
“Wahai, Anakku, sungguh engkau adalah anak yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allah.” jawab sang Ayah lirih dengan berlinang air mata. Ia menatap wajah ikhlas anaknya dengan mengarahkan pisau mengkilat di leher putranya. Sungguh, ini perintah yang harus tetap dia jalankan.
###
Mimpi itu kembali datang menghiasi tidurnya. Mimpi yang sama seperti malam lalu. Mimpi yang awalnya dikira hanya sebagai bunga tidur itu sekarang terasa nyata dan sangat menakutkan. Ia seakan tidak percaya, berkali-kali bermunajat kepada Allah dan meminta petunjuk atas mimpi yang membayangi tidurnya. Tetapi, tetap saja mimpi itu berkali-kali menghampirinya. Hatinya terasa gundah. Haruskah takdir ini menimpa putra kesayangannya? Bagaimana dia harus mengatakan perintah ini kepada Hajar? Tak pernah terbayangkan Tuhannya akan memberikan perintah yang sangat sulit dia jalankan. Sudah banyak kesulitan yang telah dilalui istri dan putranya tersebut. Namun, sebagai hamba dia tidak pernah berani melanggar perintah-Nya.
Ismail adalah putra yang sangat ia nanti-natikan kelahirannya. Setelah penantian panjang dan di umur yang tidak lagi muda, Ibrahim baru dikaruniai seorang putra dari istri keduanya-Siti Hajar- yang nantinya akan menorehkan sejarah peradaban Islam.
Sejak kecil, Ibrahim selalu menyerahkan segala takdir Ismail kepada Sang Maha Kuasa. Banyak sekali rintangan dan ujian yang mereka lalui. Tetapi Ibrahim percaya bahwa Tuhan akan selalu meniti setiap langkah umat-Nya yang taat.
Lahir dari seorang budak istri pertama Ibrahim, Ismail harus mengalah dalam segala hal. Terlebih setelah ternyata Siti Sarah-ibu tirinya- juga melahirkan anak laki-laki.
Memenuhi keinginan Sarah, Ibrahim terpaksa membawa Ismail kecil dan Hajar menuju Hijaz. Tempat itu berbentuk lembah yang sangat gersang, tidak ada tanaman, dan dikelilingi bukit berbatu. Lembah itu tidak berpenghuni.
Dengan ikhlas Hajar menerima keadaan yang mengharuskannya tinggal dengan Ismail kecil di tengah-tengah lembah yang gersang. Mendirikan sebuah pondok kecil untuk melindungi dari teriknya panas dan dinginnya angin malam. Di situlah Ismail tumbuh menjadi pemuda cerdas dengan luapan kasih sayang dan perjuangan ibunya.
“Bagaimana bisa kau meninggalkanku dan Ismail di tengah lembah ini, wahai, Suamiku?”
“Maafkan aku, wahai, Istriku. Allah telah mengutusku.” ujar Ibrahim tertunduk tidak berani menatap wajah lelah istrinya.
“Jika demikian, maka Dia tidak akan menelantarkan kami.”
Kemudian Ibrahim meninggalkan istri dan putranya dengan lapang dada. Hanya doa yang bisa ia panjatkan.
###
Suatu hari, di tengah teriknya mentari, perbekalan Siti Hajar sudah habis tak tersisa. Tidak ada lagi yang bisa dimakan oleh Ibu dan anak itu. Mereka kelaparan dan kehausan. Ismail kecil menangis menghentak-hentakan kakinya ke tanah. Ia sangat kehausan. Hajar yang melihat keadaan sang putra pun merasa sedih dan tidak tega. Ia mengamati sekelilingnya tidak ada sumber mata air sama sekali. Ia berjalan tergesa menyusuri bukit satu ke bukit satunya, pulang pergi. Sepi, tidak ada satu pun orang yang bisa menolong putranya.
Tak disangka, ketika Hajar sudah tidak berdaya dan ingin menyerah, pertolongan Allah datang. Tanah jejak hentakan kaki Ismail mengucurkan air segar entah darimana datangnya. Ia segera menghampiri putranya, mengambil secawuk air di tangan dan meminumkannya kepada Ismail. Sungguh pertolongan Allah benar adanya.
Setelah meninggalkan mereka dengan berbagai kesulitan yang menimpa Hajar dan Ismail di lembah tersebut, akankah Ibrahim mampu mengatakan perintah Allah yang satu ini kepada mereka? Dengan penuh ketekadan, ia akhirnya menyampaikan mimpi itu kepada putranya.
“Wahai, Anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.”
“Wahai, Ayahku, lakukanlah apa yang diperintah kepadamu. Insyaallah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”
Sungguh jawaban tersebut membuat Ibrahim bangga dengan putranya. Begitu gampangnya ia menerima perintah itu dengan lapang dada. Dengan begitu, tidak ada lagi keraguan dalam hati Ibrahim untuk menjalankan perintah Allah. Putranya telah ikhlas menerimanya. Ibrahim lalu membawa putranya menuju tempat yang telah mereka tentukan. Hanya mereka berdua. Tanpa kehadiran Siti Hajar. Siti Hajar tidak kuasa melihat putra satu-satunya mati disembelih ayahnya dendiri. Tetapi walaupun begitu, Hajar menerima perintah Allah ini dengan ikhlas. Sebagaimana Ismail juga menerima dengan penuh keyakinan.
Dalam perjalanan, hati Ibrahim kembali resah. Banyak bisikan-bisikan dari setan yang membuat ia sedikit goyah dengan keputusannya.
“Wahai, Ibrahim, apakah kamu akan tega menyembelih anakmu sendiri. Sungguh perintah itu adalah perintah yang tercela. Kembalilah. Jangan kau menyesal melihat mayat putramu.”
“Wahai, Putra Ibrahim. Jangan kau turuti perintah Ayahmu. Kembalilah. Sungguh, itu adalah perintah yang tercela.” Setan pun berusaha memperdaya Ismail.
Di lain tempat dengan hati yang sama cemasnya, setan kembali berulah. Tidak berhasil membujuk Ibrahim dan Ismail, setan membujuk Hajar agar menggagalkan perintah tersebut. Tetapi bujukan itu pun juga tidak bisa mempengaruhi ketaatan Hajar untuk tetap ikhlas menerima perintah Tuhan.
Takdir itu memang harus terjadi. Ismail dibaringkangkan membelakangi Ibrahim.
“Wahai, Ayahku, percepatlah pisau itu menembus kulitku. Agar perintah ini cepat berakhir. Maka yakinlah kita adalah orang yang taat.”
Tanpa melihat wajah putranya, Ibrahim menempelkan pisau ke leher Ismail siap menyembelih putra kesayangannya. Tetapi lagi-lagi keajaiban itu datang. Allah menyelamatkan Ismail. Belum sempat pisau itu menembus lehernya, Allah mengganti tubuh Ismail dengan seekor domba. Itu balasan atas keimanan mereka dalam mentaati perintah-Nya.
Karya: Karra Khatun, Santri Mansajul Ulum.