Menu

Mode Gelap

Cerpen · 4 Okt 2024 11:42 WIB ·

Jalan Kematian Sang Resi


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

Di depan bangunan utama padepokan, tampak seorang yang menapaki usia sepuh sedang berdiri menghadap ke selatan seperti menunggu seseorang. Ia mengenakan jubah panjang dengan surban lusuh menutupi kepala, dikenal sebagai Resi[1] dari Pertapaan Girijembangan, Resi Wisrawa. Tiada seorang pun di Jagad Wayang yang tak pernah mendengar tentang kehebatan dan kedalaman ilmunya.

Sejenak kemudian, lamat-lamat terdengar suara derap rombongan kuda yang dipacu kencang. Asalnya dari arah selatan. Suaranya semakin jelas mendekat dengan cepat. Kini mulai terdengar suara bumi berdebam, seolah ada makhluk-makhluk besar yang berlarian. Tak menunggu lama, rombongan itu mulai terlihat dari balik rimbun pepohonan. Ah, puluhan prajurit berkuda rupanya. Arghh, beberapa sosok besar berlari mengikuti mereka. Tubuh yang amat besar, tingginya hampir tiga kali lipat dibandingkan manusia biasa. Mereka ternyata juga seorang prajurit yang tampak dari busana yang dikenakannya.

Semakin mendekat, hingga iring-iringan itu berhenti pada jarak belasan tombak di depan Wisrawa. Jelaslah sudah, rupanya sosok-sosok besar tadi adalah bangsa Raksasa. Salah satu ras yang menghuni Marcapada[2] dengan ciri khas tubuh besar dan gempal, mata besar, serta dua taring yang menyembul keluar dari bibirnya. Rombongan itu dipimpin oleh pemuda tampan dengan busana dan mahkota seorang raja. Dialah putra sang Resi Wisrawa, Prabu Danaraja, raja negeri Lokapala.

Entah bagaimana mendeskripsikan emosi Wisrawa saat itu. Antara rindu dan haru karena lama tak bertemu, namun menyisakan rasa sesal yang telah lalu. Penyesalan atas kesalahan yang ia lakukan beberapa warsa lalu.

“Mengapa Bapa? Mengapa memberi harapan yang Panjenengan[3] sendiri pupuskan? Harapan untukku, untuk negeri yang pernah Panjenengan pimpin,” lantang terdengar Danaraja berkata. Ternyata Wisrawa adalah Raja terdahulu negeri Lokapala sebelum anaknya.

Yang ditanya hanya diam. Menatap tajam ke Danaraja dengan kepala tegak sambil tangan bersedaku di dada.

“Apakah Panjenengan tidak mengerti betapa sakit hatinya sibu[4] atas kelakuan bejat yang Bapa lakukan?” kembali Danaraja berkata dengan nada tinggi. Tampaknya kesabaran Danaraja terkikis sedikit demi sedikit.

Sibu yang dimaksud Danaraja adalah Dewi Lokawati, istri Wisrawa. Semenjak kabar buruk tentang Wisrawa terdengar sampai kalangan istana, Dewi Lokawati selalu menyendiri di bangunan kaputren istana yang dikhususkan untuknya. Sesekali Danaraja mengunjunginya, namun sang ibu tetap diam tak mau bicara, memendam kekecewaan yang amat sangat kepada suaminya.

“Dalam kehidupan, terkadang ada beberapa hal yang berada di luar kendali kita, Ngger. Ada kalanya seseorang tidak mampu mengendalikan dirinya hingga ia melakukan sesuatu yang melewati batas. Aku pun tak pernah menyangka kejadian itu bisa terjadi. Tapi aku takkan pernah lari dari tanggungjawab itu,” jawab Wisrawa tenang.

“Simpan saja ceramah Sampeyan[5], kesalahan tetaplah kesalahan. Dan demi kehormatan Lokapala, Sampeyan harus kuboyong ke istana untuk menerima hukuman atas apa yang telah Sampeyan lakukan!” Pergantian penggunaan kata Panjenengan dengan kata Sampeyan menunjukkan bahwa Danaraja mulai tak menghormati Wisrawa. Bentuk kekecewaan sang anak atas kesalahan yang pernah dilakukan bapaknya dulu.

“Jalan takdir memang menuntunku hingga pernah menduduki tahta Lokapala, namun kampung halamanku tetaplah Girijembangan. Maka aku akan menetap dan mati di sini. Jika kau memaksa, maka hanya jasadku yang akan kau bawa!” jawab Wisrawa tak kalah lantang.

Bersitegang antara bapak dan anak itu membuat para prajurit Lokapala heran, hanya diam satu sama lain tak berani berkomentar. Selama ini, sebelum tersebarnya kabar buruk tentang Wisrawa beberapa warsa lalu, bapak dan anak itu sangatlah dekat. Bahkan sang anak sangat mengidolakan sosok sang ayah. Hingga sosok yang diidolakannya berkhianat, berkhianat padanya, pada negerinya, dan juga ibundanya.

“Baiklah jika itu yang Sampean mau. Prajurit ringkus dia!” teriak Danaraja pada prajurit di belakangnya.

Namun, tak satupun dari puluhan prajurit itu yang bergerak. Mereka diam di tempat sambil menundukkan kepala. Sedikitpun tak punya keberanian merangsek maju menangkap Wisrawa yang dulu pernah membuat Lokapala bangkit dari keterpurukan dan membawa negeri itu kembali jaya. Selain itu, mereka juga sungkan berbuat kasar terhadap Wisrawa yang namanya masyhur dikenal sebagai resi dengan pengetahuan dan kebijaksanaan yang amat luas. Setidaknya itulah yang dipikirkan para prajurit Lokapala itu.

Danaraja paham, bagaimanapun Wisrawa adalah salah seorang resi ternama di Jagad Wayang. Ditambah pernah menduduki tahta Lokapala. Wajar saja para prajuritnya tak beranjak dari tempat berdirinya meski telah diperintah olehnya. Tak mau ambil pusing, Danaraja melangkah menuju Wisrawa. Dengan cepat, disambarnya tangan kiri Wisrawa, lalu ditariknya agak memaksa.

Danaraja merasakan keanehan pada bapaknya. Ia serasa sedang menarik sebongkah batu yang amat besar dan berat. Ditariknya sekali lagi, hasilnya sama saja. Dicobanya lagi dengan seluruh kesaktiannya, hasilnya sia-sia. Luar biasa memang, dengan tubuh yang tak lagi prima, Wisrawa tak bergeming ditarik anaknya sedemikian rupa.

Danaraja mulai geram, sedari awal ia menahan amarahnya agar tidak meluap-luap. Kini retak sudah benteng kesabaran itu. Sambil menggertakkan giginya, ia tampar wajah bapaknya dengan keras.

Plaakk! Cukup keras sampai wajah Wisrawa menengok ke samping. Kemudian ditariknya lagi tangan Wisrawa, tetap saja terasa seperti menarik sebongkah batu yang amat besar dan berat, tak bergeming sedikit pun membuat Danaraja semakin meradang. Ditamparnya lagi bapaknya, dipukuli, lalu ditarik kembali. Hasilnya tetap saja sama. Danaraja mulai hilang akal bagaimana cara membawa bapaknya ke Lokapala. Ditarik dengan berbagai cara tak membuat Wisrawa berpindah dari tempatnya. Namun, jika ditampar, dipukuli, bahkan sampai ditendang, Wisrawa tampak membiarkannya.

Kejadian itu berulang-ulang hingga tampak darah keluar dari hidung dan memar di beberapa bagian wajah Wisrawa. Namun tetap saja ketika sang anak menariknya, ia bagaikan batu besar yang amat kokoh. Para prajurit Lokapala yang menyaksikan pun tertegun, antara takjub dan bingung. Entah kesaktian apa yang dimiliki Resi dari Girijembangan itu.

Merasa dipermainkan di hadapan prajuritnya, kewibawaan dan kesabaran Danaraja diuji. Kesabarannya sudah berada di ambang batas, akalnya sudah tak dapat berpikir jernih. Tanpa pikir panjang, dicabutnya keris besar yang sejak awal menggantung di pinggangnya disabetkan begitu saja ke dada bapaknya.

Crassh! Tampak luka menganga lebar di dada Resi tua itu. Darahnya mengalir deras. Nafasnya terengah-engah, namun tetap pada posisi berdiri meskipun agak terhuyung kehilangan keseimbangan.

Duakk! Buggh! Pukulan serta tendangan keras Danaraja telak mengenai dada Wisrawa. Tubuh tua itu terdorong hingga dua tombak, diiringi dengan batuk berdarah. Nafasnya kembang kempis. Ia kembali dihajar dengan brutal! Ditendang! Diinjak! Berulang kali! Anaknya sedang kesetanan!

Jlebb! Sratt! Danaraja menghujamkan kerisnya dengan beringas ke perutnya! Ah, mengerikan! Darah berceceran, organ dalamnya tercerai berai meninggalkan luka menganga dan bau anyir darah yang membuat mual siapapun yang menciumnya. Entah mengapa setiap serangan dan terjangan Danaraja selalu dibiarkan mengenainya. Bila saja ia menghendaki melawan, pastilah kesaktiannya jauh lebih unggul daripada putranya.

Danaraja menghentikan serangan membabi butanya, ia terengah-engah dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Menatap ke jasad bapaknya dan merasa ngeri sendiri atas apa yang diperbuatnya. Kemudian ia mengalihkan pandangan ke wajah bapaknya. Wisrawa terbatuk darah lalu tersenyum. “Seperti yang telah kualami dulu, kini kau juga tak dapat mengendalikan diri dan melewati batas itu, Ngger.” Danaraja tertegun. Kembali Wisrawa terbatuk-batuk hebat. Nafasnya sudah tak beraturan dan kian melemah.

Danaraja lalu bertolak melangkah menuju kudanya, meninggalkan Wisrawa yang terbaring tak berdaya. Sambil berjalan, tampak punggung tangannya menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Ia menangis. Menangis dalam diam, baru sadar apa yang dilakukannya adalah hal yang seharusnya tidak ia lakukan.

Para prajurit sedari tadi hanya diam di tempatnya. Tak berani berbuat apa-apa menyaksikan sang resi terkemuka dihajar dan diserang membabi buta oleh anaknya sendiri. Beberapa dari mereka memilih menundukkan pandangan, tak kuasa melihat tragedi yang terjadi di hadapannya.

Uhuk uhuk! Wisrawa terbatuk darah untuk yang kesekian kalinya. Sorot matanya kian pudar. Tampak basah sudut matanya. Sambil tersenyum, ia mengingat kembali peristiwa kelam beberapa warsa lalu. Peristiwa yang bermula dari sebuah janji kepada anaknya. Janji untuk meminangkan seorang putri negeri Alengka[6], Dewi Sukesi, anak dari Prabu Sumali. Ia bersama beberapa senopati Lokapala berangkat menunju Alengka, membawa berbagai macam upeti sebagai seserahan lamaran pernikahan.

Sesampainya di Alengkadiraja[7], Wisrawa dan rombongan disambut dengan hangat oleh Prabu Sumali yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Ia kemudian menyampaikan maksud kedatangannya melamar Dewi Sukesi untuk dipersunting putranya. Namun Prabu Sumali mengatakan bahwa putrinya berkenan untuk dipinang dengan satu syarat. Sukesi yang sedari kecil sangat akrab dengan naskah-naskah kuno disertai rasa penasaran yang tak pernah surut, tertarik akan pengetahuan seorang Resi dari Girijembangan mengenai Sastrajendra. Tak ada seorang pun di Jagad Wayang yang mengetahui intisari Sastrajendra kecuali sang Resi Wisrawa.

Dahulu kala, Wisrawa kecil adalah seorang yang bengal, nakalnya minta ampun. Hingga di suatu tidurnya, ia bermimpi menghadap Batara Guru[8], sang pemimpin Bangsa Dewa, penguasa Jonggring Saloka. Di dalam mimpinya ia diajari oleh Batara Guru tentang ilmu suci yang menguak rahasia kebenaran dunia, disebut Sastrajendra. Konon, Sastrajendra dilarang diajarkan di Marcapada, karena tiada seorangpun Bangsa Marcapada yang mampu memahami intisarinya.

Tapi entah mengapa Batara Guru mengajarkannya pada Wisrawa kecil. Hanya sang pengajar yang tau alasannya. Setelah peristiwa itu, Wisrawa tiba-tiba berubah sikapnya. Menjadi pribadi yang khusyu’ dan tak lagi banyak polah[9]. Bahkan akhirnya sampai dikenal di seluruh jazirah Jagad Wayang sebagai seorang resi dengan wawasan dan kebijaksaan tinggi. Hingga berita mengenai pemahaman Wisrawa akan Satrajendra tertangkap oleh telinga Dewi Sukesi.

Kabar yang beredar, seseorang yang mempelajari Sastrajendra akan berakhir gila, tak mampu menanggung beban ilmu tersebut. Tapi tidak dengan Wisrawa, dia begitu istimewa. Membuat Sukesi tertarik belajar Sastrajendra secara langsung pada sang Resi. Sukesi akan menerima pinangan dari Lokapala dengan syarat Wisrawa mau mengajarkan Sastrajendra kepadanya.

Wisrawa terkejut mendengar penuturan Prabu Sumali akan syarat yang diajukan oleh Dewi Sukesi. Pasalnya, ia diberi mandat oleh Batara Guru untuk tidak mengajarkannya pada orang lain. Pilihan yang berat baginya, di satu sisi ia sudah berjanji pada putranya, namun di sisi lain syarat yang diajukan sulit untuk dilakukan. Kemudian ia meminta waktu kepada Prabu Sumali untuk mempertimbangkannya.

Beberapa hari, Wisrawa dan rombongannya menginap di Alengka. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan ia memutuskan untuk menerima syarat dari Dewi Sukesi. Tak mengindahkan larangan sang Batara Guru. Sukesi yang mendengar syaratnya diterima merasa sangat senang. Akan tetapi Wisrawa juga memberikan syarat agar saat pengajaran Sastrajendra dibuatkan ruangan tertutup khusus untuknya dan Sukesi. Tak boleh satupun orang lain masuk ataupun mendekati ruangan tersebut. Khawatir orang lain mendengar Sastrajendra.

Prabu Sumali menyanggupi persyaratan itu, demi putrinya bisa dipinang oleh anak dari sahabatnya dan demi hubungan baik antar dua negeri. Dipilihlah sebuah ruangan di ujung belakang istana yang terpisah dari bangunan utama. Ditutup sedemikian rupa agar tak ada seorangpun yang dapat melihat ke dalam ruangan.

Setelah ruangan benar-benar telah siap, Wisrawa masuk dengan perlahan. Ditutupnya rapat pintu ruangan itu. Tampak Sukesi sedang duduk takzim menunggunya. Sebenarnya ia masih ragu untuk mengajarkan Sastrajendra kepada Sukesi. Pikirannya masih berkecamuk. Ia mengingat kembali pesan dari Batara Guru dalam mimpinya.

“Kapan Panjenengan akan mengajarkan Sastrajendra pada hamba, Resi? Hamba sudah tak sabar,” tanya Sukesi dengan mata berbinar. Tapi yang ditanya hanya diam, dan tiba-tiba saja melangkah menuju pintu keluar. Wisrawa akhirnya memilih mengindahkan pesan Batara Guru agar tidak mengajarkan Sastrajendra kepada siapapun. Ia merasa hal itu adalah tindakan yang tidak benar.

“Tunggu Resi, apakah hamba masih belum pantas menerima ajaran Panjenengan?” sambil beranjak berdiri, sebuah tanya terlontar dari mulut Sukesi. Wisrawa berhenti sejenak dan menjawab, “Bukan begitu, Nimas, sedari awal Sastrajendra memang dilarang untuk diajarkan.” Wisrawa melangkahkan kembali kakinya. Tampak Sukesi berusaha mengejar, namun karena terburu-buru ia sampai tersandung dan terjatuh.

Duk! Cukup keras terdengar, membuat Wisrawa seketika menoleh ke belakang. Dihampirinya Sukesi yang masih terduduk merintih kesakitan. Ia mencoba membantu Sukesi berdiri dengan menggaet kedua tangan putri cantik itu. Ah, jarak mereka sangat dekat. Sampai kedua pandangan mereka bertemu tajam satu sama lain.

“Bukankah ia sangat cantik, Ngger?” suara pria tanpa rupa terdengar oleh Wisrawa. Sebuah bisikan lebih tepatnya. Namun hanya ia yang mendengarnya. Meskipun puluhan warsa berkehidupan sebagai seorang resi, ia tetaplah memiliki hasrat syahwat seperti lelaki pada umumnya. Namun segera ia tampik hal-hal buruk di benaknya. Rupanya ia masih sadar diri.

Namun tidak dengan gadis cantik di hadapannya. Hal serupa dialami oleh Sukesi. Ia juga mendengar bisikan seorang perempuan tanpa rupa. “Meskipun sudah tak muda, lihatlah, ia masih tegap dan tampan.” Sejenak kemudian ia hilang kendali. Tangannya cepat merangkul leher Wisrawa ke dalam pelukannya.

Kejadian yang tak diinginkan pun terjadi, Wisrawa dan Sukesi berhubungan intim di luar tali pernikahan. Konon bisikan-bisikan yang hanya didengar oleh keduanya adalah ulah Batara Guru dan istrinya, Batari Uma. Bisikan yang membuat Wisrawa dan Sukesi terlena, lupa diri hingga terjebak dalam hubungan haram.

Esoknya, setelah mendengar pengakuan sahabat baiknya, Prabu Sumali mengusir Wisrawa dan putrinya sendiri dari Alengka. Mereka berdua pergi menuju ke Girijembangan, kampung halaman sang resi. Beberapa warsa mereka tinggal dan membina keluarga. Di sana pula keempat anaknya lahir. Selama itu pula berita buruk mengenai Wisrawa dan Sukesi mulai menyebar luas di Marcapada.

Suatu hari Wisrawa mendapat sasmita bahwa dalam beberapa pekan ke depan akan ada yang mencarinya. Sang Resi menduga pastilah anaknya yang datang menuntut jawaban dan keterangan darinya. Sejak itulah ia memerintah istri dan keempat anaknya untuk mengamankan diri dengan mengungi ke Gohkarna, tempat pertama ia dulu bertemu ayah Sukesi, Prabu Sumali. Di sana terdapat sebuah candi yang dulu sering digunakan Prabu Sumali untuk menyendiri dari hiruk pikuk dunia. Namun semenjak kejadian tak diinginkan menimpa sahabat dan putri tercintanya, ia tak lagi pernah datang ke sana.

Sambil menunggu kedatangan anaknya, tiap hari Wisrawa dilalui dengan bersemedi dan bertapa. Sampailah sasmitanya mengatakan bahwa beberapa hari ke depan rombongan Danaraja akan sampai di Girijembangan. Hari-hari setelahnya ia sering tampak berdiri di depan bangunan utama padepokan. Berdiri dengan tegap menggunakan busana kebesaran seorang resi.

Hari pertemuan itu pun datang, sampailah pada Wisrawa terkapar tak berdaya yang disebabkan oleh putranya sendiri. Sebelumnya ia memang telah memantapkan hatinya untuk berjumpa dengan putranya. Bahkan ia sampai membiarkan Danaraja berlaku beringas kepadanya. Ia ikhlas bila memang harus mati di tangan putranya. Kini suara nafas Wisrawa mulai tak terdengar.

“Maafkan aku, Ngger Danaraja, yayi[10] Lokawati, sahabatku Prabu Sumali. Maafkan aku rakyat Lokapala,” ia berucap lirih dengan segenap sisa kekuatannya. Disusul dengan hilangnya suara nafas dan detak jantung Wisrawa. Matanya mulai terkatup rapat. Tapi lihatlah! Bibirnya mengembangkan senyuman hangat, sebuah senyum bahagia. Tersebar mengenai kematian seorang Resi Wisrawa, Resi yang amat terkenal dan disegani seluruh penghuni Dunia Wayang.

[1] Sebutan bagi seorang bijak yang menapaki dunia pertapaan/persemedian.

[2] Dunia bawah (dunia yang dihuni berbagai makhluk selain bangsa dewa).

[3] Anda.

[4] Panggilan anak kepada ibunya.

[5] Kamu.

[6] Negeri yang sebagian besar penduduknya adalah Bangsa Raksasa.

[7] Istana negeri Alengka.

[8] Pemimpin Bangsa Dewa dan penguasa Jonggring Saloka.

[9] Tingkah.

[10] Panggilan suami ke istrinya.

Karya: Muhammad Sirril Wafa, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 86 kali

Baca Lainnya

Doa Ilmu

1 November 2024 - 10:29 WIB

Pesan dari Replika

13 September 2024 - 10:07 WIB

Keajaiban Hati

16 Agustus 2024 - 09:57 WIB

Risalah Langit

19 Juli 2024 - 08:07 WIB

ISMAIL

21 Juni 2024 - 07:28 WIB

Terjemah Rasa

24 Mei 2024 - 09:07 WIB

Trending di Cerpen