“Kek, apa yang belum pernah Kakek ceritakan kepadaku?” ucapku lalu memandang keluar jendela. Masih pagi, bahkan terlalu pagi untuk bepergian. Matahari pun masih malu-malu menampakkan cahayanya. Jalanan masih lenggang, lampu-lampu rumah dan ruko-ruko di kanan-kiri jalan masih menyala terang. Pemiliknya masih tertidur lelap atau mungkin masih khusuk bersujud kepada Tuhannya. Hanya satu-dua-tiga sepeda motor, truk, bus, dan beberapa mobil pribadi yang melintas.
Di kanan jalan terlihat monumen yang lampunya hanya menyala sebagian, yang lainnya mati, tidak terawat. Ditambah ada jembatan yang dibangun 10 tahun lalu menutupi keindahannya. Padahal ketika aku masih duduk di bangku kelas dua SMP, monumen itu tempat terbaik untuk nongkrong. Cuma nongkrong tidak pacaran. Orang-orang menyebutnya K3. Itu artinya aku telah meninggalkan kota asalku.
“Kau bergurau…? Kakekmu ini selalu punya persediaan cerita, tidak akan habis. Apalagi buat cucuku satu ini yang sebentar lagi akan meninggalkan Kakek untuk menimba ilmu di pondok pesantren.”
Kakek menatapku. Terlihat murung –berpura-pura murung lebih tepatnya-, hanya saja Kakeklah yang paling semangat mengantarku ke pondok sepagi ini. Di tengah keluarga yang masih nyenyak di dalam mimpinya, Kakek pagi-pagi buta setelah adzan subuh menggedor-gedor pintu kamar untuk membangunkanku. Padahal tadi malam aku baru tidur jam dua karena begadang meladeni Dodi yang minta mabar.
“Ayolah, Wan! Kita mabar sebentar. Besok-besok aku sudah tidak bisa ngalahin kamu lagi.” bujuk Dodi tadi malam dengan nada sok melankolis yang membuatku tidak bisa menolaknya. Tak mengerti kalau mataku yang masih mengantuk, Kakek menyuruhku segera berkemas tanpa mempedulikan anggota keluarga yang lain. Dan berakhirlah aku pergi hanya dengan Kakek dan sopir yang menemani.
“Tenang, mereka bisa menyusul nanti.” begitulah jawaban Kakek ketika aku protes tadi. Memang menyebalkan.
“Ayolah, Kek. Cepat ceritakan kepadaku! Aku sudah bosan berdua dengan Kakek di dalam mobil ini.”
Jalanan masih lenggang. Lampu-lampu jalan satu-dua-tiga sudah padam, begitpun rumah-rumah dan ruko-ruko di kanan-kiri jalan. Pemiliknya sudah bangun. Matahari sudah mulai sedikit menampakkan sinarnya.
“Baiklah-baiklah, kamu memang tidak sabaran. Ada pedoman penting cah bagus dalam menuntut ilmu di pondok pesantren.”
“Ahh, kalau itu aku tahu, Kek. Pasti harus belajar yang tekun! Itu hal yang gampang, aku sudah setiap hari melakukannya.”
“Ehh…, gak cuma itu cah bagus. Lebih dari itu sebenarnya.” Aku menatap Kakek bingung. Di luar jalanan masih sepi, mobil bisa meluncur bebas tanpa penghalang.
“Lalu, kalau bukan dengan belajar yang tekun, dengan apa lagi, Kek?”
“Kalau hanya dengan belajar, kamu akan dapat ilmunya saja, Gus”
“Lho, bukannya memang tujuanku ke pondok memang menuntut ilmu?”
“Tidak cuma ilmu yang harus kamu dapatkan di pondok pesantren” sahut Kakek dengan tersenyum.
“Tidak cuma ilmu, terus apa lagi?” batinku penasaran.
“Ahh, Kakek, ayolah katakan saja, jangan berbelit-belit! Seneng banget bikin cucunya mati penasaran.”
“Hahahaha…” tawa Kakek pecah memenuhi mobil.
“Baiklah-baiklah akan Kakek beritahu. Kamu ini memang tidak sabaran.”
“Hehehe…” Aku nyengir lebar.
“Ada tiga hal yang harus kamu pegang selama mondok nanti. Yang pertama adalah al-‘ilmu bil-ta’allum, ilmu didapatkan dengan belajar. Al-barakatu bil-ta’dzim, keberkahan didapatkan dengan mengagungkan ilmu dan ahli ilmu. Dan al-manfa’atu bil-ridho al-sayhki, kemafaatan didapatkan dengan ridonya guru. Ilmu, barakah, dan manfaatlah yang harus selalu mengiringi langkahmu di pesantren, Gus.”
“Apa maksudnya, Kek? Aku belum paham.”
Di luar matahari sudah mulai tinggi. Alun-alun kota Kudus terlihat sepi. Tidak seperti hari minggu, semua sekolah libur dan alun-alun kotalah yang menjadi destinasi mereka. Sayang, minggu pagiku kedepannya tidak akan lagi sama. Bersepeda, main game, ngopi, ngumpul-ngumpul sama teman, dan rebahan di kamar itu semua mungkin tidak akan aku rasakan lagi -ah mello banget sih-. Tapi tenang saja, kalau menurut cerita yang Kakek katakan, kegiatan di pondok kalau pagi sekolah, siang rebahan tidur, sore ngaji, malam ngaji, habis ngaji terus keluar buat ngopi. Ini nih yang aku suka, ngopi. Hidupku terasa hampa kalau tanpa pahitnya kopi.
“Kamu kan cerdas, pikir sendiri apa maksudnya. Cari tahu nanti kalau udah sampai pondok. Pasti kamu akan paham sendiri.”
“Ahh, Kakek! Lama dong kalau nunggu nanti.” Aku menatap ramainya jalanan dengan cemberut.
“Kakek, apakah Kakek melakukan ketiganya?”
Aku kembali menatap wajah Kakek yang sudah semakin menua. Banyak uban yang tumbuh di kepala dan janggutnya, kalau jalan saja Kakek harus memakai tongkat. Tapi walaupun begitu dia masih jiwa-jiwa anak muda. Perkasa –sok perkasa lebih tepatnya-, selalu terlihat sehat bugar, dan tidak ketinggalan selalu menggodaku. Maklum, aku satu-satunya cucu laki-laki yang Kakek punya, dan satu-satunya orang pengangguran di rumah. Jadi, Aku selalu bisa menjadi telinga untuk cerita Kakek yang menurutku luar biasa.
Kakek tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia diam, wajahnya terlihat sedih, kecewa, atau entah apalah. Wajah ini persis sekali dengan raut wajah Kakek ketika duduk di teras rumah setiap kali matahari mempersiapkan diri untuk meninggalkan langit. Memandang jalanan yang dipenuhi anak-anak desa yang berjalan menuju musala untuk mengaji bersama.
“Tidak,”
“Hahh…!” Aku terkejut mendengar jawaban Kakek.
“Kakek tidak melakukan semuanya…,” wajah Kakek terlihat sedih, benar-benar sedih. Aku mengamati wajah Kakek lekat-lekat. Diam, tidak ingin menyela ucapannya.
“Akan Kakek ceritakan kepadamu mengenai kehidupan Kakek di pondok dulu yang mungkin akan Kakek sesali sampai akhir hidup Kakek.”
Hening, hanya suara mesin mobil dan suara klakson di luar sana. Di depan terpampang jelas tulisan selamat datang kota Pati yang artinya sudah semakin dekat tujuan kami.
“Lihatlah!” Kakek menunjuk seorang pengendara sepeda motor di sebelah kanan mobil. Seorang bapak-bapak mengenakan jaket kulit dan helm di kepala. Di boncengan terdapat seorang lelaki yang sepertinya seumuran denganku. Memakai sarung yang tersingkap ke atas dan terlihat celana selutut di dalamnya. Ransel besar tersampir kokoh di pundaknya.
“Dulunya Kakek diantar ke pondok seperti dia,”
Beginilah ceritanya dulu…
###
“Ki Hajar!” panggil kang Shabran sambil lari tergesa.
“Ada apa, Kang?” yang dipanggil segera menghentikan langkahnya.
Namanya Hajar As-Shiddiq, bukan Ki Hajar Dewantoro, tapi seringkali dia disama-samakan dengan tokoh revolusioner tersebut. Bahkan dia masyhur dipanggil Ki Hajar oleh teman-temannya.
Dia memang terkenal sebagai seorang pejuang ilmu di pondok. Ia selalu membawa senjata andalannya, entah di aula, di teras, di bawah tangga, di kamar, di kantin pondok, dan kapan pun itu. Santri yang lain akan dibuat geleng-geleng kepala ketika melihat Hajar membawa buku catatan kecil –bukan catatan hutang-, dan bolpoin ‘Hi-tech-H’ warna hitam.
Ia juga selalu menjadi rujukan teman-temannya untuk meminjam catatan –karena hanya dialah satu-satunya laki-laki yang catatannya rapi dan tulisannya bagus-. Catatan itu dipinjam untuk kemudian difotocopi dan dikonsumsi satu angkatan. Hal ini biasanya terjadi ketika mendekati hari ujian catur wulan membuat tukang fotocopi di sekitar Kajen dipenuhi oleh para siswa-siswa pemalas.
Bersambung…
Karya: Karra Katun, Santri Mansajul Ulum.