“Di balik kesusahan pasti ada hikmahnya.
Semakin besar cobaan yang dihadapi,
maka semakin besar pula balasan kebaikan yang akan terjadi.”
Pagi itu, langit di atas Pondok Pesantren Roudlotul Ulum tampak cerah. Lalu disambut dengan datangnya sinar mentari menerangi setiap sudut kampung yang dikelilingi oleh sawah hijau. Di tengah ketenangan desa yang asri, terdapat sebuah pesantren yang sudah berdiri lebih dari lima dekade. Pondok yang menjadi tempat para santri menuntut ilmu agama dan akhlak ini, tidak hanya terkenal dengan kualitas pengajarannya, tetapi juga dengan keteladanan seorang kiyai dan ibuk nyai yang selalu memberikan perhatian penuh kepada setiap santri.
Kiai Ja’far, adalah sosok ulama yang bijaksana dan dihormati di kalangan masyarakat. Ia dikenal sebagai sosok yang sederhana, penuh ketulusan, dan selalu peduli dengan kesejahteraan santri-santrinya. Istrinya adalah nyai Mariam, ia juga sosok yang tak kalah luar biasa. Meski jarang muncul di depan umum, peran nyai Mariam sangat besar dalam kehidupan pesantren dan juga suaminya. Ia bukan hanya mengurus rumah tangga, tetapi juga sering membantu di dapur pesantren, memberikan makanan untuk para santri, bahkan memberikan motivasi serta nasihat kepada mereka yang membutuhkan.
Pagi itu, Kiai Ja’far tengah mengajar di ruang utama pesantren. Ia dikelilingi oleh ratusan santri yang duduk khusyuk mendengarkan setiap ucapannya. Di luar, para santri lainnya tengah membersihkan halaman dan memasak di dapur besar untuk persiapan makan siang. Keseharian di sana dipenuhi dengan kebersamaan, kerja keras, dan semangat untuk belajar.
Namun, meski suasana tampak damai, ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh kiai Ja’far dan nyai Mariam. Tidak hanya tantangan dari dalam diri para santri yang terkadang masih muda dan perlu bimbingan keras, tetapi juga tantangan eksternal, seperti tidak disukai oleh masyarakat maupun kecukupan sumber daya untuk menjalankan pesantren ini.
***
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, kiai Ja’far menyempatkan diri untuk berkeliling pesantren, mengunjungi setiap ruang, memastikan santri-santri belajar dengan baik, dan memberi mereka arahan. Terkadang, ia bertemu dengan para santri yang sedang dalam kesulitan, baik itu kesulitan dalam memahami pelajaran agama, masalah keluarga, atau bahkan yang lebih sederhana seperti rasa rindu atas kampung halamannya.
Di salah satu ruangan, kiai Ja’far melihat seorang santri muda Bernama Rofi yang tampak termenung. Rofi adalah seorang santri yang baru beberapa bulan bergabung di pesantren ini. Ia berasal dari desa yang jauh di luar kota, dan keluarganya mengalami kesulitan ekonomi. Rofi sempat merasa ragu apakah ia bisa bertahan di pesantren atau tidak, tetapi semangatnya untuk belajar agama begitu kuat.
“Rofi, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya kiai Ja’far dengan lembut, mencoba memecah kesunyian yang melingkupi santri muda itu.
Rofi terkejut dan menunduk. “Saya merasa kesulitan, Kiai. Saya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Saya khawatir orang tua saya kesulitan membayar biaya saya di pesantren ini.”
Kiai Ja’far tersenyum bijak. “Jangan khawatir, anakku. Di sini, tidak ada yang lebih penting selain niat dan usaha untuk menuntut ilmu. Jika kamu sungguh-sungguh, Allah akan memberikan jalan. Jika kamu mengalami kesulitan, kami akan membantu semampu kami.”
Rofi hanya mengangguk, meski masih terlihat cemas. Kiai Ja’far mengusap kepalanya dengan lembut, memberi dorongan yang sangat dibutuhkan oleh santri muda itu. Ia tahu, perjuangan para santri tak hanya berkisar pada belajar ilmu agama, tetapi juga perjuangan hidup yang lebih besar.
Di sisi lain, nyai Mariam sedang mengawasi aktivitas dapur pesantren, tempat di mana ia selalu sibuk setiap hari menyiapkan makanan untuk ratusan santri. Meski dengan tangan yang terbatas, ia selalu memastikan setiap santri mendapat makanan yang layak. Baginya, memberi makan santri bukan hanya tentang memenuhi perut mereka, tetapi juga tentang memberi energi untuk perjuangan mereka menuntut ilmu.
Nyai Mariam tahu betul, tidak sedikit dari para santri yang datang dari keluarga miskin. Beberapa bahkan harus bekerja sambil belajar untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun, di tengah segala kesulitan itu, mereka tetap bersemangat untuk mengejar ilmu.
Pada suatu sore, setelah mengurus semua pekerjaan di dapur, nyai Mariam mendatangi ruang pertemuan yang biasa digunakan kiai Ja’far untuk mengajar. Di sana, ia melihat beberapa santri sedang berbincang-bincang tak terarah. Tidak dengan salah seorang santri yang bernama Alif, ia tampak gelisah. Ia adalah santri yang memiliki potensi besar dalam pembelajaran agama, tetapi sejak beberapa minggu terakhir tampaknya ia tengah kehilangan semangat.
Nyai Mariam mendekati Alif dan duduk di sampingnya. “Alif, ada apa? Kok kamu tampak tidak seperti biasanya?”
Alif menunduk, matanya tampak kosong. “Ibuk nyai, saya merasa sangat lelah. Seperti ada banyak beban yang harus saya pikul. Saya ingin pulang, tapi saya tahu itu bukan jalan yang benar.”
Nyai Mariam tersenyum lembut. “Alif, hidup itu memang penuh ujian. Tidak ada kata mudah, tapi inilah jalan yang telah engkau pilih. Di pesantren ini, kamu bukan hanya belajar tentang agama, tetapi juga tentang kehidupan. Jangan lihat bebanmu, tapi lihatlah tujuanmu. Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi kemampuan hamba-Nya.”
Alif mengangguk, meski hatinya masih diliputi kebimbangan. Ibuk nyai Mariam menggenggam tangannya dengan penuh kasih, seolah memberinya kekuatan yang ia butuhkan.
***
Kehidupan di pesantren selalu diselimuti dengan semangat kebersamaan dan juga perjuangan. Tidak hanya dalam belajar agama, tetapi juga dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan. Kiai Ja’far selalu menekankan kepada para santri bahwa menuntut ilmu itu adalah sebuah jihad perjuangan yang harus dilakukan dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Namun, perjuangan itu tidak hanya terbatas pada pelajaran agama, tetapi juga pada keteguhan hati untuk menghadapi segala ujian hidup.
Namun, tidak semua santri datang dengan latar belakang yang mudah. Ada beberapa yang berasal dari keluarga yang sangat miskin, bahkan ada yang kehilangan orangtua di usia muda. Seperti Yusra, seorang gadis muda yang baru beberapa bulan bergabung di pesantren ini. Yusra datang dari desa yang jauh, dibesarkan dalam kemiskinan dan hanya memiliki sedikit bekal untuk hidup. Ia datang ke pesantren ini dengan niat bulat untuk belajar, meskipun ia tahu tantangannya tidak ringan.
Sikap Yusra juga sama seperti santri lainnya. Ia sering merasa cemas tentang masa depan mereka. Kadang, di malam hari ketika semua santri telah tidur, ia merenung dalam kesendirian, bertanya-tanya apakah ia bisa bertahan di sini.
“Yusra, apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya ibuk nyai Mariam dengan lembut.
Yusra tersentak, merasa malu karena sudah dipergoki. “Ibuk Nyai, saya merasa sangat cemas. Saya datang ke sini untuk belajar, tetapi saya takut tidak bisa bertahan menghadapi segala cobaan ini. Saya takut orang tua saya kesulitan mengirimkan uang untuk biaya pesantren ini.”
Nyai Mariam duduk di samping Yusra, memandanginya dengan penuh kasih. “Anakku, jangan biarkan kecemasan itu menghalangimu. Di sini, kami akan selalu berusaha membantu. Yang paling penting adalah niatmu, jika kamu berniat untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, Allah akan memberikan jalan.”
Yusra menunduk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tetapi saya merasa seperti tidak pantas berada di sini, Ibuk nyai. Saya terlalu miskin, saya tidak tahu apakah saya bisa mengikuti pelajaran dengan baik.”
Nyai Mariam menggenggam tangan Yusra dengan penuh lembut. “Tidak ada yang namanya terlalu miskin di sini. Di pesantren, kita semua adalah saudara. Tidak ada yang memandangmu rendah hanya karena latar belakangmu. Yang penting adalah tekad dan usaha. Jika kamu sungguh-sungguh, kamu akan menemui jalannya.”
Kata-kata nyai Mariam itu menyentuh hati Yusra. Ia merasa lebih ringan setelah mendengarkan motivasi yang diberikan ibuk nyai, seolah beban yang selama ini mengikat dirinya mulai terlepas sedikit demi sedikit. Sejak malam itu, Yusra mulai menguatkan tekadnya. Ia belajar dengan lebih giat, meskipun terkadang tubuhnya lelah dan pikirannya mulai goyah. Namun, ia tahu bahwa pesantren ini adalah tempat yang tepat untuk menuntut ilmu, tempat di mana ia bisa memperbaiki diri dan meraih cita-cita nanti.
Pada suatu pagi yang cerah, kiai Ja’far tengah duduk di ruang pertemuan, menghadap ratusan santri yang siap mendengarkan tausiah keilmuan. Suasana sunyi yang khas selalu meliputi ruang ini, seolah setiap kata yang keluar dari mulut kiai Ja’far adalah cahaya yang masuk ke dalam hati para santri. Tiba-tiba ada seorang pasangan suami istri menyelonong masuk ke dalam pesantren.
Namun, sebuah peristiwa yang tak pernah disangka-sangka terjadi. Seorang lelaki asing, bernama Arman, datang ke desa itu dengan membawa kabar mengejutkan. Ia mengaku sebagai pemilik sah dari tanah tempat Pondok Pesantren Rodlotul Ulum, dengan bukti surat-surat yang tampaknya sah menurut hukum.
Kiai Ja’far, yang selalu menanggapi setiap masalah dengan bijaksana, menerima kedatangan Arman dengan penuh hormat. Ia mengundang lelaki itu untuk duduk bersamanya di ruang tamu pondok pesantren, dan mengajak berbicara dengan penuh santun.
“Bagaimana ini, Pak Arman? Apakah Anda yakin tanah ini milik Anda?” tanya kiai Ja’far dengan suara lembut, meski hatinya gelisah.
Pak Arman, yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan Kiai atau tradisi yang telah dibangun selama ini di pondok itu, menunjukkan dokumen-dokumen yang ia bawa. Surat-surat tanah yang ia tunjukkan memperlihatkan bahwa tanah itu telah dibeli oleh kakeknya beberapa dekade lalu, dan kini tanah tersebut telah jatuh ke tangannya setelah melalui beberapa proses hukum.
“Ini adalah hak saya, Kiai. Saya tidak punya masalah dengan pondok pesantren ini, tapi saya ingin Anda keluar dari tanah ini. Anda harus pergi, ini tanah saya,” ujar pak Arman dengan nada tegas.
Kiai Ja’far menatap surat-surat itu dengan hati yang berat. Ia sadar, meskipun tanah itu sah secara hukum milik pak Arman, namun di mata masyarakat dan santri-santri, tanah itu bukan hanya sekadar kepemilikan fisik, melainkan tempat yang telah dipenuhi dengan doa dan ilmu.
“Pak Arman,” kata kiai Abdul Karim pelan,
“Saya mengerti bahwa Anda punya hak atas tanah ini, tetapi ini bukan hanya soal hak hukum. Ini adalah tempat yang penuh dengan barokah, tempat yang telah menjadi rumah bagi ratusan santri, tempat yang telah mengajarkan mereka untuk menjadi manusia yang baik, berbudi pekerti luhur.”
Namun, pak Arman tidak peduli. Ia datang dengan tujuan yang jelas. “Itu semua urusan Anda, Kiai. Tapi saya sudah memutuskan, Anda harus keluar. Segera!”
Kiai Ja’far menundukkan kepala. Ia tahu, di dunia ini ada banyak hal yang tak bisa dipertahankan dengan kekuatan atau kekuasaan, meskipun pondok pesantren itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tanah itu bukan miliknya lagi, dan ia harus menghadapi kenyataan itu dengan lapang dada.
“Jika itu yang Anda inginkan, saya tak bisa berbuat apa lagi. Namun, ingatlah, Pak Arman, bahwa segala sesuatu di dunia ini ada batasnya. Ada kalanya hak kita tidak lagi bisa membahagiakan kita. Semoga Anda mendapat petunjuk dari Allah, seperti yang telah Dia berikan kepada kami selama ini.”
Kiai Ja’far kemudian berdiri dan memanggil para santrinya. Mereka berkumpul di halaman pondok pesantren, mendengarkan penjelasan Kiai tentang situasi yang sedang terjadi.
“Para santriku, kita memang harus berpisah dari tempat yang kita cintai ini. Tapi ingatlah, ilmu yang telah kita pelajari di sini tidak akan hilang. Kita akan terus menjaga dan menyebarkan apa yang telah diajarkan kepada kita, di manapun kita berada.”
Meskipun berat para santri menerima keputusan kiai. Tapi dengan penuh kesabaran mereka tahu bahwa hidup ini penuh dengan ujian, dan yang terpenting adalah menjaga hati tetap ikhlas dan penuh tawakal.
Pada malam terakhir mereka di Pondok Pesantren Roudlotul ulum, kiai Ja’far berdiri di halaman, menatap langit yang luas. Di sana, ia merasa dekat dengan Tuhan. Ia tahu, meskipun tanah itu bukan lagi miliknya, pondok pesantren itu akan terus hidup dalam hati setiap santri yang pernah menuntut ilmu di sana. Sementara itu, pak Arman yang merasa telah mendapatkan apa yang ia inginkan, kembali ke rumahnya dengan penuh kebanggaan.
Sewaktu kiai Ja’far mencari tempat tinggal baru bersama para santri. Tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya.
“Mau kemana, Pak, kok dibawa seluruh barang-barangnya.” tanya lelaki itu dari dalam mobil.
“Mau cari tempat tinggal baru, Pak.” jawab kiai dengan lapang dada.
“Oooo, silahkan beristirahat dulu ke rumah saya saja. Kasihan para santri yang sudah kelelahan. Rumah saya tak jauh lagi dari sini, Pak.”
“Baiklah, terima kasih banyak, Pak.”
Sesampainya mereka di rumah lelaki itu, ia semua dihadapkan pada sebuah bangunan yang sangat indah bagaikan istana. Lalu mereka pun disuguhkan makanan yang sangat banyak. Mereka disuruh makan makanan yang tersaji sepuasnya.
Di tengah kenyamanan mereka memakan makanan itu, tiba-tiba lelaki itu mendekati kiai Ja’far yang tengah memakan dengan wajah merenung.
“Eh, Pak, maaf menggangu bapak makan. Saya ini belum tahu nama bapak ini siapa?”
“Nama saya Ja’far, Pak, dan mereka semua ini adalah santri saya.”
“Wah! Berarti bapak ini adalah seorang kiai. Maafkan saya kiai yang tadinya saya memanggil dengan sebutan bapak. Perkenalkan juga nama saya bapak Rosyid.”
Tidak apa apa, Pak. Justru saya yang meminta maaf karena telah merepotkan bapak,”
“Tidak apa-apa kiai, sama sekali tidak merepotkan.”
“Ceritanya bagaimana bapak bisa pergi dari pondok sana?”
Lalu kiai pun menceritakan semuanya dengan jelas segala hal yang telah terjadi pada saat itu. Tak kunjung lama air mata mulai menetes dari kelopak mata bapak Rosyod. Lalu ia bergegas masuk ke dalam sebuah ruangan yang tak jauh dari kursi itu. Tak kunjung lama ia pun keluar dan membawa sebuah kotak kecil dan menghampirinya kembali.
“Maaf, Kiai, ini ada sedikit rezeki untuk kiai dan para santri. Di dalam sini ada banyak kunci. Di dekat sini ada kos-kosan saya yang baru saja jadi. Mungkin itu cukup untuk tempat tinggal kiai dan para santri. Jika masih kurang nanti tinggal bilang saja kepada saya, jangan sungkan-sungkan kiai, dan itu kuncinya.
“Alhamdulillah, terima kasih bapak sudah memberikan fasilitas untuk kami. Suatu saat pasti akan saya ganti semua ini.”
Semakin lama, bangunan itu terus dibangun oleh warga sekitar yang lama kelamaan bangunan itu menjadi besar, karena mendapatkan banyak apresiasi dan dukungan dari warga sekitar.
Kiai Ja’far dan nyai Mariam terus memberikan cinta dan perhatian tanpa pamrih. Mereka tidak hanya mendidik para santri dengan ilmu agama saja, tetapi juga dengan keteladanan hidup. Mereka tahu bahwa pengorbanan yang mereka lakukan akan memberi manfaat yang besar, bukan hanya untuk pesantren, tetapi untuk seluruh umat secara keseluruhan.
Meskipun mereka terus menghadapi peristiwa yang amat sulit, tetapi ia tetap sabar karena di balik kesabarannya pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Ia juga tidak pernah berharap untuk terus dihargai atau dipuji oleh orang lain. Kehidupan mereka yang sederhana dan penuh kasih sayang itu justru menjadi inspirasi bagi banyak orang. Setiap langkah mereka di Pondok Pesantren Roudlotul ulum adalah perjuangan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Dengan waktu yang terus berlalu, para santri yang pernah merasa ragu kini menjadi pribadi yang lebih kuat. Mereka mengerti bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita terima, tetapi tentang seberapa banyak kita memberi. Kiai Ja’far dan nyai Mariam mungkin tidak akan pernah tahu betapa besar pengaruh yang mereka berikan, tetapi mereka telah menanamkan cahaya yang akan selalu tertanam di kalangan santri maupun masyarakat.
Karya: Muhammad Alif, Santri Mansajul Ulum.