“Ada apa, Anakku? Masuklah!”
Sang putri segera masuk. Duduk bersimpuh di depan sang Abah.
“Abah, maaf. Aku ingin mengutarakan suatu hal yang telah membuat tidurku tidak nyenyak satu bulan ini.”
“Ada apa, Nok? Katakanlah!”
“Aku tahu, tak sepantasnya seorang anak membangkang dengan orang tuanya. Karena hal inilah yang selalu Abah tanamkan sedari aku masih belia. Aku pun tidak pernah membantah setiap perintah dari Abah dan Umik. Untuk perjodohan yang telah Abah tentukan, aku juga tidak akan menentangnya. Tapi, aku mohon sangat kepada Abah dan Umik untuk selalu mendoakanku siang dan malam tanpa henti. Agar nantinya aku bisa menjadi istri yang baik dan bisa mencintai lelaki pilihan Abah dengan sepenuh hati. Karena sejujurnya, di hati ini ada pria lain yang aku cintai. Setiap malam, namanya lah yang aku minta untuk menjadi pendampingku di kemudian hari.”
###
Seorang perempuan sedang duduk di dalam gazebo yang menghadap langsung pada sebuah kolam kecil. Terdapat banyak ikan hias beragam jenis dengan warna indah yang memenuhi riak air yang sedikit keruh karena belum dibersihkan. Semua ikan terlihat berenang bersisian, saling berkejaran, dan mungkin saling tebar pesona.
Suasana sore di Pondok Al-Kaffah selalu terlihat ramai. Sehabis diniyah, para santri terlihat berlalu lalang di sekitar pondok sambil masih membawa kitab di tangan. Mereka saling melontarkan candaan atau kembali membahas pelajaran yang baru saja mereka dapatkan. Dari tempat Nandine, begitu jelas terlihat interaksi para santri yang membuatnya tersenyum simpul. Ia selalu suka tempat ini dengan keriuhannya, ketenangannya, kesemrawutannya, kesejukannya, dan keberagamannya. Rasanya, tempat ini sudah menjadi cinta pertamanya.
Gadis berkerudung biru yang sering disapa Nandine itu masih khusuk dengan buku dan kitab di depannya. Sampai sebuah suara cempreng mengalihkan perhatiannya.
“Nandine!!” teriak salah satu temannya dari seberang kolam dengan wajah yang sedikit panik.
Nandine mengangkat pandangan dari setumpuk kitab yang ada di hadapannya. Memandang sang pemanggil heran. Meminta penjelasan.
Sang pemanggil menyodorkan secarik kertas berwarna biru dengan ragu. Nandine terdiam dan mengamati kertas itu sebentar. Merasa pernah melihatnya dan tidak asing dengan tulisan tangan yang tertera di pojok kertas. Satu Minggu yang lalu, ia juga menerima surat yang sama, dan sudah ke empat kalinya. Kertasnya sama, pengirimnya sama, bahkan isinya pun sama. Nandine sampai sudah hapal dengan isi surat tersebut.
Bedanya, sang pengirim kali ini sangat ceroboh. Surat itu tertangkap oleh Keamanan pondok. Padahal, pengirim biasanya selalu menyelipkan surat itu tanpa jejak. Sial, sesuai peraturan, ia akan segera mendapatkan hukuman.
Berita adanya surat cinta untuk Nandine, menyebar bak virus ke seantero pondok. Menjadi bahan gosip terhangat di sela-sela kesibukan para santri. Ditambah, sosok pengirim yang ternyata adalah santri putra yang banyak diidam-idamkan para santri putri.
Seiring berjalannya waktu, bukannya mereda, gosip yang menyebar kian panas. Bahkan, identitas dan asal usul sang pengirim surat pun mulai dibicarakan entah dari mana sumbernya. Membanding-bandingkan dengan status sosial Nandine yang merupakan seorang putri kiai besar.
“Tidak mungkin, dia mampu disandingkan dengan Neng kita. Tidak sekufu”
“Neng Nandine pasti sudah dijodohkan dengan Gus oleh Abahnya. Dia tidak akan menang bersaing dengan Gus-gus besar.”
Sang pengirim surat adalah anak yang diambil Kiai Al-Kaffah dari panti asuhan. Akibat kecerdasan yang dia punya, Kiai Al-Kaffah membiayai semua biaya pendidikannya. Dia juga menjadi tangan kanan Kiai Al-Kaffah yang bergantian dengan putra-putra kiai lainnya. Dia sering ditunjuk untuk menghadiri sebuah acara menggantikan beliau. Namun, ia selalu memposisikan dirinya sebagai seorang santri yang khidmah kepada Kiainya.
Kecerdasan, ketampanan, dan ketawadhuannya selalu membuat kagum para kaum hawa. Tapi, entah siapa yang menyebarkan berita dalam waktu sekejap mata membuat semua orang memandang rendah dan iba kepada dirinya. Anak panti asuhan yang dibuang orang tuanya karena sebuah kesalahan.
###
Seiring berjalannya waktu, berita-berita antara Nandine dan pengirim surat sudah berlalu. Lambat laun, mereka melupakannya akibat disibukan dengan rutinitas dan masalah masing-masing. Di satu sisi, mereka juga sibuk dengan ujian kelulusan, baik dari sekolah maupun pondok pesantren.
Gosip itu semakin menghilang setelah mereka sama-sama meninggalkan pesantren untuk mengapai cita masing-masing. Nandine kembali ke rumah untuk melanjutkan perjuangan kedua orang tuanya yang sudah semakin berumur. Dia adalah anak satu-satunya. Ada beban besar yang ditanggung di pundaknya. Mengurus pondok pesantren peninggalan kakeknya.
Sedangkan sang pengirim surat, melanjutkan studinya di luar negeri dengan beasiswa full. Ia masih mencoba untuk bisa memantaskan diri dengan Nandien.
Entah takdir apa yang telah menunggu mereka berdua di depan. Ada cerita di antara keduanya yang sama sekali tidak diketahui banyak orang. Mereka saling memanjatkan doa kepada Sang Maha Cinta. Dua pasangan dengan status sosial berbeda itu telah melangkah bersama untuk saling melengkapi. Ada cinta sejati yang tumbuh tanpa mereka mengerti.
“Terjemah Rasa. Antara aku, Tuhan, dan cinta” masih teringat jelas di benak Nandine, sebaris kata yang terukir di secarik surat kala itu.
Penulis: Karra Khatun, santri Mansajul Ulum.