Sinar mentari pagi menelisik celah dinding pesantren di tepi sungai. Dinding yang terbuat dari tumpukan bata merah tampak nyaman. Berbayang anggun tata ruang aula berwarna putih tulang bersanding dengan lantai berwarna hitam. Lukisan yang bertuliskan kalimat tauhid di atas dinding menambah pesona begitu nyaman dan elegan. Mengingatkan siapa saja yang memandanginya dengan keagungan Sang Kuasa. Bahwasanya tiada yang patut disembah selain-Nya.
Di ranting-ranting pohon bambu, kicauan burung terdengar seolah berkomunikasi mesra pada Sang Pencipta. Rerumputan yang mendengar pun ikut menari-nari terbawa angin sepoi-sepoi. Seolah ikut senang menyenandungkan tasbih pada Sang Kuasa.
Di atas kursi hitam, sesosok berbaju putih dengan sorban hijaunya tampak begitu berwibawa bersama dengan kitab kuning di atas meja depannya. Di sekitarnya, begitu banyak sorot mata yang fokus mencermati setiap dawuh-dawuhnya.
“Nang, kalian semua harus ingat, kalau ridhanya guru itu penting untuk kunci manfaatnya sebuah ilmu. Saya pesan pada kalian semua supaya tidak menjalin hubungan dengan santri putri tanpa ada kebutuhan. Apalagi sampai ada yang pacaran. Saya tidak akan Ridha, Nang. Sekarang itu adalah waktu kalian semua belajar yang rajin. Masalah jodoh itu nanti ada waktunya sendiri. Kalau kalian sudah pintar dan sukses nanti, pasti ya banyak perempuan yang antre ingin bersama dengan kalian.” Dawuh Kyai Musthafa sebelum mengakhiri pengajian pagi dengan para santri putra.
Kyai Musthafa adalah pengasuh di Pesantren Al-Hikmah. Beliau merupakan kyai sepuh di Desa Tegalombo. Keberadaan Kyai Musthafa di sana bagaikan muara yang menjadi sumber cahaya bagi warga Tegalombo. Karena setiap warga di sana ketika ada yang mendapatkan sebuah masalah, Kyai Musthafa-lah yang selalu dicari untuk membantu menyelesaikannya.
Di pesantren Al-Hikmah, terdapat ratusan santri yang menimba ilmu. Pesantren ini dihuni oleh santri putra dan putri. Komplek antara santri putra dan putri hanya dipisah dengan sebuah dinding besar. Hanya santri ndalem-lah yang boleh berkeliaran di halaman pondok putri karena tempat masaknya berada di komplek putri.
~~~
Hari ini adalah hari pertama kalinya Alif ikut masak di dapur. Setelah pengajian pagi usai, Alif dan santri ndalem lainnya pun langsung siap-siap bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan siang bagi santri. Kebetulan Alif mendapatkan bagian untuk menggoreng lauknya. Tempat dari penggorengan tersebut pun tak jauh dari bangunan pondok putri.
“Sreppp.. !!”
“Manise, Kang.” Ucap Alif pada Khamdan, selaku pembuat kopi yang diminum oleh Alif.
“Ada-ada aja kamu itu, Lif, kopi belum dikasih gula aja dibilang manis. Itu gulanya ada di atas rak sana tolong kasih sedikit.” Balas Khamdan dengan sedikit cuek karena sedang sibuk dengan pekerjaannya memotong tempe yang akan digoreng.
“Hehe… Maksudnya itu lho, Kang, yang ada di sana.” Ucap Alif dengan percaya dirinya sambil menunjukkan jemarinya ke arah seorang santri putri yang tengah membaca kitab kuning di seberang sana.
“Oalah, Lif… Lif. Udah-udah gak usah diterusin. Ikut ndalem baru kemarin sore kok udah ingin macam-macam.” Tegas Kang Khamdan.
“Nggih, Kang, maaf.” Sesal Alif.
“Sreng… Sreng… Sreng..!”
Gemuruh suara minyak tampaknya sedang bersaing dengan isi hati Alif. Entah kenapa sejak melihat gadis cantik tadi Alif merasakan hal yang berbeda. Dulu waktu masih SMA, sebelum mondok, begitu banyak gadis cantik yang sering Alif lihat. Namun, ia tak pernah merasakan perasaan yang seperti ini.
Meskipun awalnya ketika bilang manis ia hanya bercanda dengan Kang Khamdan, namun perasaan Alif tak pernah bercanda bahwa Mbak santri yang ditunjuk itu memang manis. Wajahnya pun langsung melekat dalam benak Alif.
“Apa ini yang namanya cinta? Lalu siapakah gadis cantik berbaju hitam itu?” Guman Alif dalam hati.
~~~
Bumi selalu setia berputar mengelilingi sang mentari. Begitupula dengan waktu, selalu setia bertambah untuk berganti membuat hal-hal yang baru. Meskipun hari telah silih berganti, waktu selalu ciptakan hal-hal baru, namun entah kenapa perasaan Alif masih setia dengan gadis berbaju hitam itu.
Dua tahun berlalu begitu cepatnya. Perasaan Alif dengan gadis berbaju hitam itu tak memutuskan semangat Alif untuk menambah wawasan ilmunya. Siang malam selesai membantu ndalem, Alif selalu menggunakan waktunya untuk melahap semua materi yang telah diajarkan oleh guru-gurunya di pesantren.
Tak perlu menunggu waktu lama untuk Alif menguasai semua kitab-kitab kuning yang telah diajarkan oleh guru-gurunya. Sejak masih duduk di bangku SMA dulu memang Alif sudah memiliki kepandaian untuk melahap semua meteri dari gurunya. Tak heran, dalam waktu dua tahun pun ia sudah berani mewakili pesantrennya untuk mengikut MQK (Musabaqoh Qiro’atil Kutub).
Sania, itulah nama gadis berbaju hitam dulu yang selalu Alif kagumi dalam diam. Ternyata Sania juga dipercaya untuk mewakili pesantren Al-Hikmah mengikuti MQK. Pada saat itulah untuk pertama kalinya Alif bisa dengan sangat dekat duduk bersama Sania. Degupan jantungnya bagaikan suara petir yang meledak-ledak dengan suara yang menggelegar.
“Dar… Dar…. Dar…!”
Serasa ingin copot jantung Alif duduk begitu dekatnya dengan Sania.
“Anak-anakku semua yang saya banggakan. Lomba ini bukan sebagai ajang untuk mencari ketenaran. Siapapun dari kalian yang akan menang nanti, itu hanya bonus dari lelahnya kalian selama belajar. Jangan sampai ada rasa ujub ataupun sombong ketika salah satu dari kalian nanti ada yang pulang mendapatkan juara.” Dawuh Kyai Musthafa memberikan nasehat sebelum semua anak didiknya memperlihatkan semua hasil kerja kerasnya selama ini.
“Nggih, Bah… ” Begitu kompaknya semua santri membalas dawuh Kyai Musthafa.
Bagi Alif, kitab Imrithi adalah makanannya sehari-hari. Kalau disuruh mengulang bait-bait mulai dari depan, belakang, ataupun dibolak-balik ia dengan mudahnya akan menjawab. Di antara sekian banyaknya santri yang ikut lomba, ternyata Alif-lah yang paling bagus hafalannya.
Begitu pula dengan Sania. Ia juga sangat lancar menjawab semua pertanyaan dari dewan juri. Akhirnya dari sepuluh delegasi pesantren Al-Hikmah. Alif dan Sania berhasil memperoleh juara 1 MQK Imrithi. Yang lain hanya berhasil memperoleh juara dua dan tiga. Hanya satu yang masih kurang beruntung tidak membawa pulang juara untuk pesantren Al-Hikmah.
~~~
Selain dipercaya kalau masakanya enak, Alif juga dipercaya bersih-bersih oleh Kyai Musthafa. Karena ia memiliki tingkat standar bersih-bersih yang berbeda dibanding santri-santri lainnya. Sampai debu pun takut berhadapan dengannya.
Pagi ini adalah waktu dimana Alif disuruh bersih-bersih mobil oleh Kyai Musthafa. Akibat waktu pulang dari lomba kemarin, kebetulan di tengah jalan turun hujan. Mobil yang asalnya putih kinclong akhirnya berubah menjadi kecoklat-coklatan.
Karena kemarin dua mobil Kyai Musthafa terpakai semua, hari ini pun Alif harus mencuci kedua-duanya. Untuk pekerjaan ini, tak mungkin Alif meng-handle-nya sendiri.
Khamdan, meskipun ia santri senior, ia tak pernah menolak bila dimintai tolong oleh temannya. Terutama Alif, santri ndalem yang sangat akrab dengannya.
“Kang Ndan, nanti biar aku saja yang bersihin semua bagian dalamnya. Kamu masak duluan aja.” Pinta Alif dengan percaya dirinya kepada Khamdan.
“Oke, Lif. Nanti langsung nyusul ya.”
“Siap, Ndan. Hehe” Canda Alif.
Semua barang-barang yang berada di mobil, Alif keluarkan. Sedikit demi sedikit Alif keluarkan debu-debu yang berserakan. Bagai seorang detektif meneliti buruannya, dengan telitinya Alif menyeleksi seluruh debu di dalam mobil.
“Prak…!!” Tak sengaja Alif menyenggol dua buah buku bertumpukan di bagian kursi belakang.
Alif…
Entah kenapa tiba tiba jantung ini terasa aneh waktu di dekatmu
Aku tak tau ada apa
Waktu tadi ku penuh tekanan
Entah kenapa melirikmu saja ku jadi tenang
Aku tak tahu apa itu cinta
Apakah perasaan seperti ini namanya cinta?
~Sania
Bagai dihantam meriam di siang bolong.
“Dar….!!!”
Serasa ingin copot jantung Alif membaca lembaran kertas dari buku yang dijatuhkannya.
“Pertanda apa ini Tuhan?” Ucap Alif dalam hati.
Dengan penuh getaran yang hebat tangan Alif mengambil buku tersebut. Ia merapikannya di atas meja kecil. Entah ia punya niatan menyimpan atau akan mengembalikannya. Tapi yang jelas itu bukanlah miliknya.
~~~
Bukan Alif namanya kalau berani mengambil barang yang bukan miliknya. Di atas kursi coklat bertuliskan “Jangan diganggu” di bagian belakangnya, dua orang bagaikan bidadari tampak begitu asyiknya mendiskusikan makna dari kitab yang dibawanya.
“Mbak.. Pada syi’ir كانّى تنوين و انت إضافة – فاين ترانى لاتحل مكانى ini yang benar bacanya anta atau anti ya, Mbak?” Tanya Rosa, adek kelas yang sangat akrab dengan Sania.
“Ya terserah yang baca sih, kan itu gak ada harakatnya di situ.” Balas Sania disertai senyum manisnya.
“Ih.. Mbak Sania kalau ditanya sukanya bercanda terus.” Rajuk Rosa kesal.
“Hehe.., itu tergantung siapa yang di khitabi nanti. Kalau kita yang baca enaknya ya dibaca anta karena yang di khitabi kan laki-laki.” Jelas Sania.
“Oh.. Gitu ya, Mbak. Kalau artinya gimana Mbak?” Tanya Rosa dengan menaikkan alisnya.
“Itu artinya: Aku bagaikan tanwin dan kamu bagaikan idhofah. Apalah daya aku yang hanya bisa memandangmu tanpa bisa berada di sisimu.” Jawab Sania.
“Deg..!!”
Tiba-tiba senjata AK47 terasa menghantam diri Alif. Mendengar penjelasan Sania begitu terasa ingin copot jantung Alif. Namun, sebisa mungkin Alif langsung mengendalikan dirinya.
“Maaf, Mbak, kalau mengganggu. Benarkah ini buku punyamu?” Tanya Alif dengan suara agak gugup.
“Eh.. Iya Kang. Ini udah aku cariin dari kemarin” Jawab Sania.
“Kebetulan kemarin pas bersih-bersih mobil aku menemukannya di dalam mobil. Maaf, Mbak, kemarin sempat terjatuh tak sengaja ada sedikit kata yang ku baca.”
“Iya Kang, gak apa-apa. Makasih ya.”
Tiba-tiba Sania mengeluarkan senyum manisnya yang benar-benar bisa membuat jantung Alif copot. Kalau diteruskan di situ bisa berbahaya bagi kesehatan Alif, Karena terlalu manisnya senyuman Sania di mata Alif. Alif hanya membalas “Iya” sambil mengeluarkan sedikit senyumannya sebelum meninggalkan Sania.
~~~
“Ya Allah, apakah engkau mempertemukan jodohku di sini. Aku memang mencintainya, tapi ridha pengasuhku juga begitu penting bagiku. Untuk saat ini, jagalah dulu hatiku supaya tak terlalu mengaharapkannya. Dekatkanlah bila memang sudah waktunya. Jauhkanlah bila memang itu yang terbaik bagiku.”
Dengan khusyu’ Alif berdo’a di samping santri lainnya yang mendengkur menikmati tidur malamnya. Karena begitu lelahnya pekerjaan tadi siang, baru Alif terlentang di atas sajadahnya tiba-tiba dengan pulasnya Alif langsung tertidur.
“Nang! Sudah tak kasih fasilitas bisa melihat santri putriku, berani-beraninya kamu menaruh perasaan padanya tanpa seijinku. Bawa sini tanganmu!”
Bagaikan singa ingin menerkam mangsanya, raut wajah kyai Musthafa menunjukkan kegeramannya. Dengan susah payah Kyai Musthafa memutuskan gelang tali di tangan Alif menggunakan astha-nya. Karena begitu sulitnya, beliau pun langsung menggunakan waja untuk memutuskannya.
“Astaghfirullahal’adzim… Huft.. Huft… Huft.”
Alif terbangun dengan nafas terengah-engah. Rasa-rasanya mimpi itu begitu nyata. Rasa marah dari Kyai Musthafa masih mengepung di benaknya. Baru kali ini Alif melihat Kyai Musthafa yang biasanya lembut, kini marah begitu dahsyatnya.
Dilihatnya tangan kanan dan kiri Alif. Tak ada gelang di sana. Ia cari-cari di sampingnya apakah ada bekas gelang putus. Tak satupun ada.
“Ya Allah… Pertanda apakah ini. Apakah Kyai Musthafa sudah tidak memberikanku ridha ikut ndalem karena aku telah menyalah gunakannya.”
Alif mengangan-angan maksud dari Kyai Musthafa memutuskan gelang yang ada di tangannya.
“Gelang tali, itu adalah sebuah benang yang asalnya lurus akhirnya menjadi berhubungan. Dulu, memang aku lurus mematuhi pesan Kyai Musthafa untuk tidak menciptakan sebuah hubungan dengan santri putri. Tapi sejak pertemuan tadi pagi, apakah itu menjadikan awal dari hubunganku dengan Sania sehingga membuat Kyai Musthafa tidak meridhainya.”
“Ya Allah…, aku tak ingin lelahku selama ini menjadi sia-sia karena tidak mendapatkan ridha dari pengasuhku.”
Tiba-tiba setetes air mata jatuh mengenai tangan Alif. Di dalam hati, pagi nanti Alif memiliki niat untuk meminta maaf pada Kyai Musthafa karena telah melanggar pesannya.
Waktu Alif berdiri menggunakan lututnya di depan ndalem Kyai Musthafa. Ternyata sudah ada seorang santri yang lebih dahulu di dalam sana.
“Begini, Nang, jatuh cinta itu wajar bagi seorang remaja. Yang tidak wajar itu adalah seorang santri yang sudah berani melanggar peraturan dan pesan dari pengasuhnya. Untuk saat ini, sibukkanlah pikiranmu untuk mendalami sebuah ilmu. Bukan perempuan yang belum jelas itu jodohmu.” Ucap Kyai Musthafa.
“Deg..”
Belum berkata apa-apa dengan Kyai Musthafa Alif terasa sudah mendapatkan tamparan yang begitu keras.
“Sudah tahu kan resiko berhubungan dengan ajnabiyah akan mendapatkan takziran apa. Itu belum seberapa dibanding dengan siksaan di akhiratmu nanti.” Sambung Kyai Musthafa.
“Nggih, Bah.. ” Dengan penuh penyesalan santri yang sowan tadi keluar dengan wajah memelas.
Bagi setiap santri Al-Hikmah bila melakukan hubungan ajnabiyah memang akan mendapatkan hukuman yang berat. Ia akan dicukur gundul, kemudian dimasukkan ke dalam kobokan cuci kaki. Ya, itulah cara Kyai Musthafa untuk meminimalisir santrinya supaya tak ada yang berani berhubungan dengan ajnabiyah.
Sekali berucap, dua orang santri Kyai Musthafa langsung mendapatkan sebuah tamparan yang keras. Air mata pun keluar dari mata Alif walaupun ia belum menjelaskan apa-apa kepada Kyai Musthafa.
“Sudah mendengar, kan? Kamu boleh bersama dengannya bila memang sudah waktunya. Untuk saat ini, hilangkan dulu perasaanmu untuk bersanding dengannya. Ikut ndalem itu berat, Nang. Tapi aku masih yakin kamu bisa untuk menjalankannya” Jelas Kyai Musthafa.
“Nggih, Bah. Nyuwun pangapuntenipun engkang kathah.” Alif pun keluar dengan penyesalan yang jauh lebih hebat dibanding santri sebelumnya.
Karya: Muhammad Sholihul Huda, Santri Mansajul Ulum.