Lantunan sholawat menggema ke seluruh penjuru ruangan mengiringi kerja bakti yang rutin dilakukan oleh para santri putri di Pondok Ar-Rahman. Para santri hilir-mudik melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugasnya, seperti menyiram tanaman, menyapu, membakar sampah, dan lain sebagainya. Mereka terlihat semangat dan bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya dengan senyum yang selalu terpatri di wajah. Sesekali juga diselingi guyonan dan candaan agar tidak membosankan.
Capai memang membersihkan gedung 2 lantai dengan halaman yang luasnya mencapai 50 meter. Tapi kalau dilakukan bersama-sama dengan rasa cinta rasa capai pun tidak akan terasa lagi. Para santri Ar-Rahman selalu memegang teguh hadist yang berbunyi al nadzofatu minal iman, bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Mereka juga memegang teguh pedoman Ibu Nyai mereka tercinta yang selalu mengajarkan disiplin dalam kebersihan dan kesehatan.
Setelah kerja bakti selasai, ada hal yang mereka nantikan setiap bulannya. Waktu di mana mereka melepas rindu dengan keluarga di rumah. Menelepon keluarga dengan HP Nokia tahun 50-an. Mengantre menunggu waktu gilirannya sampai bosan tapi berujung senang karena bisa bercakap dengan Ibuk Bapak. Selain menelepon mereka juga bisa bertemu langsung dengan sanak keluarga di ruang tamu yang telah disediakan. Tidak lama tapi cukup untuk mengikis rindu dan mengembalikan semangat yang memudar.
Berbeda dengan seorang gadis keturunan Yogjakarta ini. Ia adalah santri senior yang tiga tahun tidak pernah ditelepon, dijenguk, bahkan tidak pernah pulang. Hebat bukan. Tapi jangan salah, dia bisa saperti itu tidak dengan cara yang mudah. Ada pergolakan batin yang selalu dia tahan setiap tahunnya.
Tahun pertama, gadis yang mempunyai nama Nirwana itu masih perlu beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman di pondok, itu adalah hal yang mudah baginya. Nirwana anak yang humbel, ceria, dan cerdas. Banyak para senior yang suka padanya. Semua terlihat baik-baik saja, semua pelajaran, baik di sekolah maupun di pondok, dilahap dengan cepat. Tapi ada satu hal yang selalu membuat dia murung setiap harinya. Dia rindu Bapaknya.
Bapaknya belum juga datang di saat semua santri baru melepas rindu dengan orang tua setelah satu bulan lamanya tidak berjumpa, gadis dengan kerudung biru itu masih setia menunggu di teras pondok. Memegang Alfiyah kecilnya sambil sesekali melirik ke arah pintu gerbang. Siapa tahu wajah bapaknya tiba-tiba menyembul dari sana. Pagi, siang, sampai sore menjelang, dia tetap menunggu di sana sambil terus melalar hafalannya. Hanya beranjak ketika teriakan jama’ah dari seksi pendidikan menggema di telinganya. Sesekali ada satu dua santri yang menyapa dan duduk bergabung dengannya.
“Wawa, ada surat untukmu.” kata salah satu santri sambil mengulurkan secarik amplop berwarna coklat. Tertera nama Nirwana di sampulnya.
“Dari siapa, Mbak?”
“Gak tahu, dibuka saja,”
“Makasih ya, Mbak.”
“Ayo masuk ke dalam dulu, udah sore gak usah ditunggu. Mungkin bapakmu belum bisa ke sini.”
Teruntuk anakku Nirwana yang jauh di sana,
Bagaimana sekolahmu di sana, apakah kamu masih menjadi seorang Nirwana yang selalu membanggakan Bapak?
Bapak memberikanmu nama Nirwana bukan hanya sekedar nama, tetapi nama itulah yang akan menemani setiap langkah yang akan engkau tuju.
Anakku Nirwana,
Tetaplah menjadi Nirwana bagi Bapak. Seseorang yang bisa memadamkan panasnya api yang menyala. Orang yang akan selalu keluar dari segala penderitaan.
Bapak memang sengaja tidak menjengukmu di sana. Jangan kamu tunggu, belajar saja yang sungguh-sungguh.
Salam jauh dari Bapak.
Air mata tiba-tiba menetes. Dia sudah satu tahun di pondok, dan baru kali ini dia mendengar nasihat dari Bapak, walaupun hanya lewat secarik surat. Walaupun nasihat itu sudah beribu-ribu kali dia dengar langsung dari Bapak. Bapak memang seperti itu dengan Nirwana, selalu menyelipkan arti namanya setiap kali menasehatinya.
Entah, dia harus sedih apa bahagia ketika mendapatkan secarik surat yang nantinya akan selalu dia baca ketika merindukan sosok Bapaknya.
Satu hal yang terngiang dalam pikirannya adalah bahwa pokok dari semua perkara adalah kesabaran dan keteguhan. Nasihat Abah Yai ketika ngaos juga selalu menjadi amunisi semangat bagi Nirwana bahwa “Tujuan kita akan berhasil apabila kita mampu melewati berbagai rintangan”. Dan ini adalah salah satu cobaan yang harus Nirwana hadapi.
“Selamat ya, Nirwana. Hebat deh kamu, mbak aja tiga tahun baru khatam Alfiyahnya.”
“Bapakmu belum bisa dihubungi?” Tanya santri yang lain di sela-sela makan bersama
“Belum, Mbak. Tapi tidak apa-apa, aku sudah dapat surat dari Bapak.”
“Padahal kamu pengen ngasih kabar kalau hafalan Alfiyahmu sudah khatamkan?. Pasti bapakmu senang kalau dengar berita itu. Kirim balasan surat aja, Wa,”
“Gak ah mbak. Gak usah. Cuma pencapaian yang kecil saja.”
Di tahun pertama, gadis yang akrab disapa Wawa ini telah mengkhatamkan hafalan seribu bait Alfiyahnya dalam waktu kurang lebih 10 bulan. Prestasi yang membanggakan tentunya. Sebenarnya dia ingin sekali menghubungi Bapaknya. Tapi, dia tidak pernah berani. Pesan Bapaknya satu tahun yang lalu selalu terngiang di pikirannya.
Tahun ke dua. Bapak lagi-lagi tidak datang. Nirwana tetap setia menunggu di teras pondok dengan membawa kitab kecil di tangannya. Mengulang hafalannya walaupun sudah hafal, tetapi Nirwana tetap harus mengulang-ulang hafalannya agar tidak hilang dimakan masa. Sesekali dia memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di depannya. Tak jarang dia ikut tersenyum ketika melihat ada temannya yang menggandeng ibunya masuk ke pondok dengan senyum lebar. Terkadang dia ikut sedih ketika melihat ada santri yang menangis karena tidak rela jam jenguknya telah selesai. Terkadang dia hanya diam menatap kosong ketika ada santri yang memeluk orang tuanya dengan hangat menandakan perpisahan. Mengingatkannya tentang sosok yang dua tahun ini dia rindukan.
Tahun ke dua ini masih sama seperti tahun pertama. Dia masih Istiqomah melakukan rutinitas di pondok maupun di sekolah, mengaji dan belajar. Tidak ada yang sulit baginya. Semua dia jalankan dengan ikhlas dan sabar. Bedanya, di tahun ini dia punya target yang lebih besar dari tahun pertama, dan target itu membutuhkan proses belajar yang lebih ekstra lagi.
Satu bulan yang lalu, Nirwana baru saja mendapatkan penghargaan murid berprestasi di sekolahnya, dengan nilai yang sempurna. Fotonya terpampang di majalah sekolah dan di media sosial. Banyak yang mengucapkan selamat atas prestasi yang membanggakan ini. Semoga saja Bapak nya bisa melihat prestasi yang dia dapatkan. Dan tersenyum bangga di rumah. Tapi, Nirwana masih merasa kurang puas dengan apa yang dia raih. Bapaknya sampai sekarang belum pernah menengoknya, dan hanya secarik surat yang sampai di tangannya. Surat kedua.
Anakku Nirwana,
Bapak di sini baik-baik saja. Kau tak perlu risau memikirkan Bapak. Fokuslah belajar, jangan pikirkan yang lainnya.
Anakku Niirwana,
Bapak ingin menceritakan sebuah kisah yang belum pernah Bapak ceritakan kepadamu. Kisah seorang perempuan yang cerdas dan pemberani, sama sepertimu.
Bapak bertemu pertama kali dengannya di salah satu kampus di Yogyakarta pada acara debat ilmiah antar mahasiswa se-DIY. Bapak mewakili Universitas Bapak, dan perempuan itu mewakili universitasnya. Kau tahu, Bapak jatuh cinta untuk yang pertama kalinya pada gadis itu. Bapak jatuh cinta dengan cara dia menyampaikan pendapat, cara dia menyanggah pendapat orang lain, dan cara dia tersenyum. Dia perempuan satu-satunya pada acara tersebut, dan perempuan satu-satunya yang bisa meruntuhkan argumen Bapak pada saat itu.
Setelah acara itu, Bapak menjalin hubungan baik dengannya. Teman diskusi yang baik. Sampai akhirnya Bapak berani untuk mengungkapkan perasaan Bapak dengannya, dan bertemu dengan keluarganya.
Perempuan itu bernama Nirwana, Ibumu.
Kamu adalah duplikat dari ibumu. Ketika tertawa, tersenyum, kecerdasan, ketangguhan, dan ketika berdebat dengan Bapak. Sama persis dengan ibumu.
Kalau kamu bertanya bagaimana sosok Ibumu, semuanya ada dalam dirimu, Nak. Lihatlah dirimu, maka seperti itulah Ibumu.
Sudah jangan menangis. Hapus air matamu, Nak. Setelah ini jadilah Nirwana yang semakin tangguh untuk Bapak. Yang selalu siap memadamkan api yang berkobar yang menghalangi jalan mu dan jalan orang-orang yang kamu cintai.
Dan ingatlah selalu di manapun kamu berada, sejauh apapun kau melangkah meninggalkan Bapak, Ibu dan Bapak akan selalu menemani langkahmu, di dalam hatimu.
Nirwana menyeka air mata yang terus menetes. Cerita ini sudah dia nantikan sejak lama. Sosok Ibu yang belum pernah dia lihat. Bapak selalu menghindar ketika Nirwana menanyakannya. Dan akhirnya hari ini, dia mendengar cerita Ibu, walaupun hanya lewat surat. Hati Nirwana sedikit lega walaupun Bapaknya tetap tidak mengunjunginya.
Tahun ke tiga, Masih sama Nirwana setia menunggu di teras pondok. Hanya saja, kali ini dia tidak begitu mengharapkan Bapaknya datang. Dia sudah tahu Bapak pasti tidak datang. Dia hanya menunggu surat ke tiga. menerka-neraka isi surat yang akan dia terima. Apakah Bapaknya akan melanjutkan cerita tentang Ibunya. Kalau memang benar, itu akan seru sekali. Nirwana akan mengenal sosok Ibu lewat cerita. Kalau nanti dia ditanya tentang Ibu oleh teman-temannya. Dia akan menjawabnya dengan percaya diri.
“Wawa! Ada keluargamu di depan!”
Deg
Nirwana tersadar dari lamunannya. Keluarga, hanya Bapak keluarga satu-satunya yang Nirwana punya.
***
“Bapak tinggal ya, Wa. Kamu baik-baik di sini, belajar yang rajin, tunjukan kalau kamu adalah Nirwananya Bapak.”
“Iya, Bapak. Nirwana selalu ingat kok. Harus jadi Nirwananya Bapak.” Nirwana membenahi ransel besar yang ada di pundaknya. Menatap Bapaknya yang sebentar lagi akan pergi meninggalkannya.
“Sini, peluk Bapak dulu” Bapak merentangkan kedua tangannya. Meminta putrinya untuk masuk ke dalam dekapannya.
“Nirwana,” Bapak menjeda ucapannya. Masih betah memeluk putrinya dengan erat.
“Iya, Bapak?”
“Ingat pesan Bapak ini. Selama kamu di sini, jangan pernah kamu menelepon, maupun pulang ke rumah sebelum Bapak yang menelepon dan menjemputmu di sini”
“Kenapa seperti itu, Bapak?”
Bapak melepas pelukannya, memegang kedua pundak putrinya dengan erat. Menatap putrinya dengan tatapan yang baru Nirwana ketahui artinya setelah tiga tahu di pondok.
“Orang mondok itu harus tirakat, harus kangelan. Supaya kamu mendapatkan apa yang kamu impikan. Supaya kamu menjadi orang yang hebat. Itu jawabannya.”
“Nggeh, Bapak”
Bapak memeluk Nirwana lagi dengan erat. Lebih lama dari yang pertama. Seakan-akan itu adalah pelukan terakhir yang bisa Bapak berikan untuk Nirwana.
Kenyataannya, memang itu adalah pelukan Bapak yang terakhir kalinya untuk Nirwana.
Oleh: Karra khatun, Santri Mansajul Ulum.