Namaku Rahayu, hanya itu, tidak ada tambahan yang lain. Kata ibu dulu nama itu pemberian mbah putri yang artinya selamat. Entah selamat datang ke dunia atau selamat karena telah terlahir. Mungkin mbah putri kepengin aku selamat di dunia maupun di akhirat. Aku juga memiliki seorang adik laki-laki. Kami terpaut dua tahun. Namanya Lintang Seta, nama yang bagus. Ibuku sendiri yang menamainya Bintang Putih. Lintang alias bintang yang memiliki sifat tertib dan tangguh, tidak mudah dipengaruhi, menjadi pelipur lara, dan penuntun bagi yang tersesat. Sementara Seta atau putih artinya suci. Ibu berharap semoga adikku selalu suci, tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang berbau dosa.
Namun, tentu takdir siapa yang tahu. Meski diberi nama dan doa di dalamnya, adikku memiliki sifat luar biasa nakalnya. Tapi ibu sangat menyayangi adikku, berbeda dengan bapak. Kerjaan bapak sehari-harinya hanya bermalas-malasan, kadang main sabung ayam bersama tetangga desa. Malamnya dibuat judi hingga uang habis tak bersisa.
Kembali ke diriku sendiri. Umurku 19 tahun, lulus sekolah tahun lalu. Sekarang aku tengah mengabdikan diriku kepada Abah yai dan ibu nyai di sebuah pondok pesantren salaf. Sebenarnya aku sudah menjadi abdi ndalem sejak kelas 3 MA. Jadi ini tahun keduaku menjadi seorang abdi ndalem.
“Mbak Ra,” panggil salah satu adik santri sore itu. Perjalananku menuju ke pawon terhenti sebentar.
“Ada apa, Nis?” tanyaku, yang ditanya malah cengengesan.
“Titip salam buat kang Hasan, saranghae. He he.” Pintanya.
“Ck ck, Anis, Anis. Ndak ah, mbak ndak mau, ngaji dulu yang pinter baru nitip salam.” Tolakku.
“Halah, ah.”
“Jadi perempuan harus jual mahal, Nis, biar buaya-buaya nggak pada ngerubung. Biar yang dapetin kamu cuma pangeran tampan seorang.” Semprongku bergurau.
“Ck, kang Hasan juga ganteng, putih lagi.”
“Eh, dibilangin yang tua!”
“Ampun mbak! Ha ha ha.” Anis kabur.
Aku menghela napas, geleng-geleng kepala. Itu permintaan kedua pagi ini –salam untuk kang Hasan. Hasan, salah satu abdi ndalem yang digandrungi para santri putri. Kulitnya putih bersih, hidungnya mbangir, alisnya agak tebal, dan tinggi. Wajar jika para santri mengidolakannya. Selain itu nilai plusnya kang Hasan adalah dia pintar, murah senyum, dan memiliki adab yang baik. Makannya santri putri, bahkan mbak ndalem sekalipun dibuat ge-er olehnya. Aku pun begitu, sempat ge-er saat di senyumi orangnya.