Aku tidak tahu, sejak kapan Ibu yang selalu membanting barang-barang di sekitarku ketika marah tiba-tiba berubah menjadi amat halus lemah lembut. Aku tidak tahu, sejak kapan Ibu yang super sibuk dengan karier sebagai influecer nya mendadak pulang setiap hari dan menyempatkan memasak makan malam untukku. Aku tidak tahu, sejak kapan Ibu yang sering tidak peduli dengan diriku malah kini sering menanyai keadaan diriku. Aku senang, sungguh senang. Tapi jika kesenangan itu harus aku tukar dengan tenggelamnya, lebih baik aku tetap bersamanya meski aku tertuntut sendiri. Karna setidaknya, raga dan jiwanya tetap ada meskipun jauh.
###
“Biru…, Hanin…, ayo kita sahur, Nak. Sebentar lagi imsak. Ibu juga sudah masakin semur ayam kesukaan kalian.” Suara Ibu menyapa halus gendang telingaku, dengan perlahan mataku mengerjap dan mendapati Ibu sedang berdiri di depan pintu kamarku sambil tersenyum, Di tubuhnya, masih melekat daster bunga tulip berwarna pink serta celemek hijau. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang kulihat Ibu selalu mengenakan setelan wanita bisnis dengan jas-jas elite nya. Sepertinya Ibu benar-benar memasak untuk kami. Yeay, aku jadi semangat sekali di hari puasa pertamaku ini.
Setelah nyawaku benar-benar terkumpul, Aku berdiri dan segera menuju meja makan. Di sana, Ibu sudah menyiapkan beberapa jenis lauk dan menata tiga piring di atas meja makan. Kami memang hanya hidup bertiga, Ayah sudah terlebih dulu menyapa Tuhan sejak delapan tahun yang lalu. Saat itu umurku menginjak sembilan tahun.
“Biru, panggil adikmu dulu dan cuci tangan, baru setelah itu makan.” Perintah Ibu membuatku mengangguk, segera aku membelokkan kakiku ke kamar adikku satu-satunya. Haninda Olivia.
“Nin.., ayo bangun, diajak Ibu sahur bareng loh..” Aku mencoba membangunkan Hanin secara halus, sebelum pada akhirnya aku harus menggunakan tenaga ekstra untuk membangunkannya. Maklum, umurnya baru sepuluh tahun, jadi sedang nyenyak-nyenyaknya tidur setelah asyik bermain sepanjang hari. Hanin mengerang pelan.
“Kak Biru pasti bohong, Ibu kan sibuk kerja. Mana mungkin Ibu ngajak kita sahur bareng. Hanin males sahur sendiri ah.” Ucapnya sebelum kembali menutup matanya, bersiap untuk tidur lagi. Aku memutar bola mataku malas.
“Kakak gak bohong Hanin, ayo Ibu udah nunggu di meja makan.” Aku kembali menarik tangan Hanin, berusaha membangunkannya lagi. Sampai pada akhirnya, Ibu masuk sendiri ke kamar Hanin, mungkin kami terlalu lama.
Ibu membelai halus rambut Hanin. Aku menatapnya terharu, mataku mulai berembun melihat moment di hadapanku. Hanin sejak dulu selalu berceloteh menanyakan kemana Ibu pergi saat kami makan berdua. Saat bermain kadang pula Hanin bilang bahwa ia benar-benar rindu kepada Ibu yang dulu. Kini, saat sedang tertidur Ibu membelainya halus, seperti tiga tahun yang lalu.
“Hanin sayang, bangun yuk…, ayo sahur sama Ibu dan Kak Biru.” Hanin yang semula ingin merajuk mendadak membuka matanya perlahan karna mendengar suara Ibu. Hanin bergerak pelan memeluk Ibu erat, ia menangis keras sambil menumpahkan segala kerinduannya pada Ibu. Sejak tiga tahun lalu, Ibu sibuk mengurus perusahaan Ayah yang terancam gulung tikar karna tiba-tiba orang kepercayaan keluarga kami berkhianat. Ibu yang semula terbiasa terima bersih terpaksa harus bekerja keras demi mempertahankan kehidupannya dan kami. Semenjak itu, kurasa Ibu jadi sering emosional dan hampir tidak pernah pulang jika tidak benar-benar luang. Bahkan saat Hanin sakit hingga harus diinapkan ke rumah sakit daerah pun Ibu tidak bisa merawat Hanin, Ibu hanya menjenguk Hanin dua kali saat itu. Aku dan Hanin terpaksa harus mengerti keadaan Ibu. Cukup melelahkan sebenarnya, tapi Ibu pasti juga sama lelahnya.
“Sudah, jangan nangis lagi, nanti kita gak bisa sahur loh gara-gara telat.”
Setelah berhasil membujuk Hanin, kami segera menikmati sahur bersama di meja makan, rasanya hangat seperti delapan tahun lalu saat Ayah masih ada. Andaikan ayah masih ada, pasti beliau bahagia melihat putra-putrinyaa sudah tumbuh besar dan cerdas. Hanin dengan wajah berseri-serinya menceritakan tentang kesehariannya di sekolah, sesekali kami tertawa mendengar celotehan Hanin. Kami terhanyut dalam kebersamaan yang dulu sempat hilang.
“Sekarang Kak Biru sendiri, sibuk ngapain saja?” Pertanyaan Ibu membuat aku tercengang sekejap, jujur. Gugup rasanya saat tiba-tiba Ibu yang tidak peduli kepadaku mendadak menanyai keseharianku.
“Ehmm…, Kakak lagi sibuk oraganisasi, Bu. Ya kadang Aku juga ikut ngajarin anak-anak panti sama komunitas ekskul di dekat taman kota.” Jawabku canggung. Ibu tersenyum antusias.
“Oh ya? Asyik dong, Kak? Hobi kakak apa sih? Ibu lupa.” Tanya Ibu lagi, Aku tersenyum penuh makna, sepertinya Ibu tertarik dengan keseharian remajaku.
“Seru banget dong, Bu. Apalagi waktu kita bagi-bagi ilmu, rasanya kalau sudah seperti itu, ilmu yang kita punya kayak habis, kurang. Jadi kita harus belajar terus supaya dapat ilmu baru yang bisa kita ajarin. Oh iya, Bu. Hobi kakak masih sama kok. Seputar seni, sastra dan fotografi saja.” Kini ganti Aku yang bercerita ria. Rasanya lega sekali ketika kita menyandarkan kembali sayap-sayap setelah lelah terbang jauh. Ibu tersenyum senang.
Hanin memasang wajah malas. “Alah, Kak Biru juga sering tuh buk ngajak jalan-jalan Mbak Andina itu loh, Bu. Runner Up Duta SMA.”
“Hebat banget sih kalian, Kak Biru hebat, Hanin juga hebat, kalian anak terbaik yang Ibu punya. Maaf ya, Nak. Ibu jarang temanin kalian. Maaf juga Ibu sering marah-marah sama kalian. Tapi Ibu janji, setelah ini Ibu akan perbaiki kesalahan Ibu. Ibu akan lihat keseharian kalian, Ibu akan masakin kalian terus. Ibu Janji sama kalian bakalan selalu nemenin kalian.” Air mataku menyeruak tanpa permisi, Ibu dan Hanin pun sama. Kami bertiga menangis dengan posisi saling memeluk. Sebelum pada akhirnya pelukan itu terlepas karna memasuki waktu imsak sehingga kami harus segera menyelesaikan sahur kami.
Hari itu, Ramadhan pertama. Kami berusaha saling memaafkan dan menerima kembali satu sama lain. Kembali menguatkan dan menyempurnakan satu sama lain. Setelah tiga tahun lamanya.
###
Aku mengelap air yang tiba-tiba saja keluar dari mataku, lalu kembali menatap nanar Ibu yang terbaring lemas di atas brankar rumah sakit. Sudah sejak lima hari lalu Ibu dirawat di rumah sakit dan dinyatakan koma. Pada waktu itu, sahur hari ke delapan belas Ramadhan. Setelah selesai sahur, Ibu yang sedang mengangkat piring-piring kotor bersama Hanin mendadak pingsan. Hanin berteriak panik memanggilku yang sedang asyik mengamati konsol game terbaru hadiah dari Ibu di hari sebelumnya karna Aku berhasil memenangkan lomba puisi sastra tingkat kabupaten.
Aku melihat Ibu tergeletak tak berdaya di bawah lantai, segera kuangkat tubuh ramping Ibu dan membawanya kerumah sakit bersama Hanin dan Supir keluarga kami. Ayah, beruntung anakmu ini sudah besar dan gagah, sehingga mampu menggendong Ibu yang nyaris tak tertolong saat itu.
Saat dokter menyatakan Ibu koma, hatiku hancur. Ditambah lagi itu karna penyakit Leukimia yang diidap Ibu dua tahun kebelakang, Aku merasa gagal menjadi anak, bagaimana mungkin Ibu yang sakit dengan begitu parahnya kami tidak tahu menahu. Aku memang payah.
“Biru” Rintihan Ibu tiba-tiba terdengaar saat aku sedang memutar balik kejadian sahur kedelapan belasku. Aku segera mendekat ke arah Ibu.
“Ibu, ada yang sakit? Ibu mau apa? Maafin Aku. Aku payah jadi anak buat Ibu.” Bibirku sudah mengeluarkan segala macam kata yang lima hari kebelakang mengisi kepalaku. Ibu menggeleng pelan lalu tersenyum.
“Enggak Biru, kamu anak terhebat yang Ibu punya, jangan nangis ya, Nak. Hati Ibu sakit kalau lihat jagoan Ibu menangis.” Ibu menghapus air mataku yang mengalir, dengan segera Aku berusaha menghentikan tangisku. Lalu Ibu kembali terkekeh pelan dan memujiku hebat.
“Hanin di mana, Nak?” Tanya Ibu, Aku baru teringat Hanin belum tahu kalau Ibu sudah terbangun dari tidur panjangnya.
“Lagi sahur sama Bik Ani di Kantin, mau Aku panggilkan, Bu?” Ibu menggeleng. “Sebentar lagi juga ia akan kembali, biarin aja dia menikmati sahur Ramadhannya.” Begitu kata Ibu. Aku menurut.
“Biru, jaga Hanin ya? Dia satu-satunya saudara kandung kamu. Jaga dia seharga nyawa kamu.” Ucap Ibu tiba-tiba. Mataku menghangat.
“Kita jaga sama-sama ya, Bu? Kan masih ada Ibu juga, kenapa Aku doing.” Elakku, Ibu menggeleng.
“Hidup kalian gak selalu tentang Ibu dan Ayah doang, Nak. Kalian hebat, jagoan, selama ini bisa urus diri sendiri tanpa Ibu. Izinin Ibu pergi sebentar ya? Nanti kalian nyusul Ayah sama Ibu setelah kalian berhasil. Jaga Hanin ya, Nak.” Ucap Ibu lagi. Kini air mataku sempurna lolos. Demi apapun, lebih baik jika Ibu sibuk seperti biasanya daripada seperti ini.
“Ibu titip salam sama Hanin, bilang maaf, Ibu gak bisa temani Ramadhan kalian sampai selesai. Maaf, Ibu selalu sayang kalian”
Hening. Ibu benar-benar pergi untuk selamanya setelah itu, menyisakan senyum di wajah lelahnya yang damai. Dua detik setelah itu, Hanin datang dengan tergesa-gesa, wajah langsung pias ketika melihat Ibu terbujur kaku di hadapannya.
“Kak Biru, Ibu Cuma pura-pura tidur lagi kan? Ibu Cuma capekan?.” Tanya Hanin dengan suara bergetar, aku hanya diam tak menjawab. Hatiku sendiri masih sibuk berdengung menyadarkan diri bahwa ibu telah tiada.
“KAK! JAWAB! IBU PASTI BANGUN KAN KAK?!” Hanin mulai mengamuk, ia benar-benar tidak menyangka Ibu meninggalkan dirinya secepat ini. Aku langsung menyambar tubuh kecil Hanin, membawanya ke pelukan terdalam dari diriku. Hatiku bertambah nyeri melihat Hanin menangis seperti ini.
“Ibu sudah tenang, Dik. Kamu juga harus tenang.” Ucapku sambil mengelus rambut Hanin. Ia menggeleng kuat.
“Enggak, Kak. Ibu pasti Bangun, Kak.” Racaunya, Air mataku kembali lolos.
Tepat pada malam ke dua puluh tiga Ramadhan, Ibu meninggalkan kami untuk selamanya. Ternyata Tuhan membawa bulan istimewa ini tenggelam bersama Ibu. Semoga Tuhan memberi tempat terbaik untuknya, bila perlu di samping Ayah, agar Ibu tidak kesepian. Aku sayang Ibu.
Karya: Naaay, Santri Mansajul Ulum.