(Bagian Dua)
Saat ini kang Hajar adalah salah satu mutakharrijin di Perguruan Islam Matholi’ul Falah, dan juga satu di antara limapuluh santri di pondoknya yang sekolah di sana. Pondok yang ia tempati bukan pondok di sekitar Kajen yang hampir semua santrinya sekolah di Matholi’ul Falah. Ia mondok di sebuah pesantren yang semua santrinya sekolah di berbagai sekolahan sekitar. Ada yang sekolah di I’anah, Al-Hikmah, Khoiryah, dan Salafiyah. Tapi, justru itulah keunikan dari pondok tersebut. Walaupun berbeda-beda tetapi tidak ada sekat di antara mereka. Tepatnya pesantren tersebut berada di desa Cebolek depan kali lindur.
Ketika ada anak matholi’ yang dikejar target hafalan karena sudah mendekati bulan syura, santri yang lain akan mengasingkannya –agar bisa fokus menghafal-. Para seksi ma’arif siap menggembleng setiap malamnya.
“Sampean ditimbali Abah” ucap kang Shabran –salah satu kang ndalem senior-, sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.
“Oke, makasih, Kang. Nih, buat minum!” kang Hajar melempar botol aqua yang tadi ia bawa lalu ditangkap kang Shabran dengan tepat.
“Makasih, Ki! Tahu aja aku kehausan. Gara-gara nyari kamu dari ujung ke ujung. Huft…, susahnya na’udzubillah!!”
“A’fwan, a’fwan..” jawab kang Hajar nyengir lebar. Berlari tergesa menuju ndalem kasepuhan.
Kang Hajar sampai di samping teras ndalem. Terlihat ada sandal selain sandal ndalem berjejer rapi di situ. “Di dalam pasti ada tamu” ucapnya dalam hati. Kang Hajar berdiri di samping pintu, menunggu tamu yang masih berbincang-bincang dengan kiai Najib. Sesekali sambil membaca buku catatan yang selalu ia bawa.
Setelah tamu pamit undur diri dan keluar dari ruang tamu, kang Hajar segera uluk salam dan menampakan wajahnya sedikit di depan pintu ndalem.
“Oh, kue toh Le.. rene–rene..” kang Hajar segera masuk dengan gangsut menggunakan kedua lutut mendekati kiai Najib yang duduk di atas karpet merah dengan handphone menyala berada di genggamannya.
Beliau mengamati layar handphonnya serius. Melihat data hafalan yang tadi malam dikirim oleh kang Hajar yang mengemban amanah sebagai KaSie. Ma’arif.
“Siapa saja yang ikut PJ, Deq?” kiai Najib masih mengamati handphonnya lekat-lekat.
“Ada lima santri, Bah. Di data sampon wonten asma-asmanipun,”
“Lah yo limo ki sopo wae, Shidiq?” kiai Najib melihat kang Hajar sambil tersenyum. Beliau tidak suka memanggil kang Hajar dengan nama depannya. Beliau lebih suka memanggil dengan nama belakangnya yaitu Shidiq. Mungkin karena kalau Hajar itu mempunyai makna batu yang sifatnya keras, sedangkan Shidiq adalah salah satu sifatnya Rasul yaitu mempunyai makna cerdas. Melalui panggilannya, abah Najib mengharapkan sosok kang Hajar yang cerdas bukan kang Hajar yang keras kepala seperti batu.
Kang Hajar menyebutkan nama lima santri dengan cepat beserta tahap hafalan dan tingkatan kelasnya. Menatap lekat kiainya dengan bolpoin dan buku yang sudah terbuka di pangkuannya. Bersiap-siap mencatat titah yang akan diberikan Kiainya.
“Nanti malam, kamu suruh mereka ke sini menemui saya.” kang Hajar mengangguk mantap.
“Kamu bimbing ke lima anak itu”
“Tapi, Bah” kang Shiddiq tampak terkejut dengan menaikkan kedua alisnya.
“Sek, ojo dok potong. Aku tak ngomong disek.” kang Hajar diam menunduk.
“Jangan sampai kejadian tahun lalu terulang kembali, semuanya harus naik kelas. Satu minggu ini kamu fokus bimbing mereka.”
“Kan masih ada yang lain, Bah?”
“Ya, aku tahu masih ada yang lain. Tapi kamu yang paling berpengalaman dalam menghafalkan. Kamu ajari mereka bagaimana caranya menghafal yang benar seperti teorimu,” kang Hajar diam menunduk. Kertas di depannya masih putih bersih, tak perlu ada yang dicatat.
“Siap kan, Deq?”
Kang Hajar diam, Ragu. Kemudian menjawab dengan lirih “Nggeh, Bah…”
“Ya wes. Kapan tekmu testing kitab, Nang?”
“Tanggal dua puluh tiga, Bah”
“Oalah. Kancane seng gak iso diwarai yo” abah Najib berdiri melangkah menuju korden lalu masuk ke dalam ruang keluarga meninggalkan kang Hajar di ruang tamu sendirian.
Kang Hajar segera keluar dari ruang tamu tapi tidak langsung menuju pondok. Ia memilih duduk di teras depan ndalem membuka buku kecil di genggamannya. Terpampang coretan-coretan rapi dari mulai muraja’ah Al-Qur’an tujuh halaman, matan tahrir sembilan halaman, hadist sebelas halaman, musyawarah, dan berbagai coretan yang lain. Hanya dia yang tahu apa maksudnya. Kang Hajar menghela nafasnya berat. Ia menyobek coretan-coretan itu dan mengganti dengan coretan-coretan yang baru dengan cepat. Segera ia bergabung dengan para santri yang heboh bermain bola di halaman.
Malamnya setelah kelima anak yang masuk PJ (panggilan wajib) selesai menemui abah Najib, kang Hajar duduk di dalam kamar tiga lantai atas dengan ke lima santri yang sebagian menunduk takut dan sisanya nyengar-nyegir seperti tak punya dosa di hadapannya. Kang Hajar menatap mereka satu-satu mengintimidasi.
“Hajar, Ki! Ojo kei kendor. Kon ngapalno tekan shubuh!” teriak salah satu santri yang lewat menggoda.
“ Ha..ha..ha…” sahut santri yang lain ikut menggoda.
Kelima santri di hadapan kang Hajar menatap mereka tajam merasa kesal.
“Sudah-sudah, sana kalian pada keluar biar mereka bisa fokus menghafalkan!”
“Perintah siap dilaksanakan, Ki Hajar” jawab Miqdad teman dekat Hajar sambil meletakkan kopi hitam di depan kang Hajar yang masih mengepul.
“Ayo-ayo do metu! ben dang dieksekusi karo ki Hajar” kang Miqdad menggiring yang lain untuk segera keluar dari kamar.
Setelah semuanya keluar dari kamar, akhirnya tinggalah kang Hajar dan kelima santri di hadapannya.
“Nunan talil i’rabi emmm, nunan talil i’rabi au”
“Hemmm!”
“Nunan talil i’rabi au tanhina”
“Hemmm!! Nunan talil I’rabi nau tanwina.”
“Nunan talil I’rabi nau tanhina”
“Tanwina! Ya Allah…, tanwina Bayu!. Piye leh iki? Katanya wes apal sampek pol, agek tekan bab idlofah wae wes plegak-pleguk. Pusing aku,”
Setelah semua teman-teman santri keluar dari kamar, kang Hajar menyemak kelima santri tersebut. Tapi sial, baru dapat dua santri saja sudah membuat emosi kang Hajar sampai ke ubun-ubun. Apalagi kang Hajar adalah tipe santri yang sangat teliti. Mendengar kesalahan sedikit saja bisa menjadi fatal baginya. Nahas sekali kelima santri yang disemak olehnya.
“Kalian ini maunya apa sih? Kamu Bayu. Sudah berapa tahun kamu nunggak hafalan? Tapi kok ya gak kapok juga. Aku saja dulu Cuma butuh waktu satu tahun untuk menghafal alfiyah. Kalian juga harusnya bisa. Menghafal itu mudah kalau kalian mau istiqomah dan menerapkan caranya dengan baik. Seperti yang Abah ucapkan tadi malam. Wes-wes kono diapalno neh. Sampek jam rolas. Aku mbalek kudune wes ono perubahan.”
“Ki Hajar! Udah selesai nyemak cah-cah mbedek? Hahaha…” kang Miqdad menghampiri Hajar yang baru keluar dari pondok dengan cengengesan.
“Mboh lah pusing aku. Kono kue wae seng nyemak,”
“Oh, tidak bisa, tugasku lebih banyak dari kamu,” kang Miqdad menunjukan setumpuk kertas yang ada di tangannya berjalan bersisian dengan kang Hajar. Tumpukan kertas di tangan kang Miqdad adalah berkas-berkas LPJ (laporan pertanggungjawaban pengurus) yang akan dilaksanakan satu bulan lagi. Dia sibuk sekali mempersiapkannya. Maklumlah ketua pondok yang amanah.
“Yuk ngopi, Ki. Udah lama kita gak ngopi bareng” kang Miqdad merangkul pundak kang Hajar menggiringnya menuju gerbang pondok yang masih terbuka.
“Yang gak punya waktu tuh kamu, Dad. Sok sibuk!”
“Yee… malah nyolot. Udahlah ayo ke warung kopinya mbok Rondo. Udah kangen aku sama kopi buatannya. Hehehe,”
“Kangen kopinya mbok Rondo apa kangen sama anaknya?”
“Ya, dua-duanya sih”
“Hahaha…. Miqdad, Miqdad,”
Mereka berdua berjalan bersisian saling melempar lelucon dan tertawa bersama untuk melepas penat.
“Heh, ada yang mau aku omongin sama kamu, Ki. Penting!”
Dua gelas kopi hitam masih mengepul di meja depan mereka. Baru saja disajikan oleh anaknya mbok Rondo yang cantiknya aduhai beberapa detik lalu. Hal itu membuat kang Miqdad senyum-senyum sendiri terpesona.
“Ah, katanya refreshing! Ini malah mau ngomongin sesuatu yang penting. Gak mau ah. Mending ngomongin anaknya mbok Rondo aja. Hahaha…”
“Aduh, jangan ngomongin dia. Buat akau gak fokus. Salah satu tujuan aku ngajak kamu ke sini memang mau ngomongin sesuatu yang serius. Wes lah nanti tak kasih bonus.”
“Opo bonuse?” kang Hajar mencomot gorengan bakwan di depannya.
“Tak kasih nomernya mbak Ayu…” kata kang Miqdad lirih sambil mengedipkan matanya beberapa kali ke kang Hajar.
“Wow.., kamu tahu nomernya? Kenapa gak bilang dari kemaren? Licik emang ni orang! Ayo cepet mau ngomong apaan? Keburu kopinya habis,” kang Hajar menyruput kopinya yang tinggal separo.
“Oke, sebentar aku tak mengatur nafas dulu. Tapi kamu jangan marah,”
“Ya ya, yang penting nomernya Ayu bisa aku dapatkan.”
“Kamu jadi kandidat ketua.”
Deg!
“Kok bisa! Kita udah pernah sepakat lho, Dad!”
“Aku tahu. Tapi ini perintah dari Abah langsung. Beliau yang memilih kamu.”
Kang Hajar mecopot pecinya. Meremas rambutnya frustasi. Menyruput kopinya yang tinggal setengah sampai habis.
Sebagai teman yang akrab dengan kang Hajar, Miqdad tahu impian-impian kang Hajar setelah ini. Hajar ingin sesegera mungkin boyong dari pondok melanjutkan studinya ke Universitas ternama di Ibu Kota mengambil jurusan akutansi. Mengembangkan kemampuannya dan memenuhi perintah ke dua orang tuanya yang mengharapkan Hajar menjadi penerus perusahaan keluarga. Maka dari itu Hajar pernah berpesan kepada Miqdad supaya tidak mencalonkannya sebagai ketua pondok.
Miqdad sempat menolak permintaan itu. Baginya, permintaan temannya ini sangat aneh. Dia saja masih ingin khidmah di pondok, menjalankan semua amanah yang diberikan Abah. Karena hanya itu yang bisa ia berikan kepada pondok, bukan seperti kang Hajar yang menyumbangkan beberapa piala. Tapi kalau Hajar bisa kedua-duanya, kenapa dia harus memilih untuk segera boyong dari pondok? Padahal Abah sangat mengharapkan ia memimpin pondok ini.
Setelah percakapan panjang Hajar dengan Miqdad malam itu, Hajar memberanikan diri untuk segera matur ke Abah. Dia masih kekeh dengan tujuan awalnya. Kalau dia masih ngoyot di sini, ia tidak akan mendapat pengalaman yang baru. Mondok enam tahun di sini bagi dia sudah cukup.
“Assalamu’alaikum,” kang Hajar sudah berdiri di depan ndalem. Di belakangnya banyak para santri yang riwa-riwi menenteng kitab dan buku. Bersiap-siap untuk belajar wajib bersama di aula.
Lama tidak ada jawaban. Para santri di belakangnya sudah duduk rapi memenuhi aula untuk belajar. Hajar masih setia menunggu sambil membaca catatan kecil yang ia bawa.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
“Yah! Ada, Kang! –apaan sih, Mbak!” terdengar teriakan gus Fadhla dari dalam dibarengi dengan suara pertengkarannya dengan ning Fiya. Kakaknya.
Tak lama, Abah membuka korden menampakan wajahnya. “Oh.., Shidiq! Lapo, Nang?”
Hajar segera masuk ke dalam dan duduk di hadapan kiainya.
“Ada apa?”
“Maaf, Bah. Apa benar panjenengan meminta saya untuk jadi kandidat ketua?”
Abah tersenyum.
“Oalah, kue wes dikandani Miqdad tho. Padahal ameh tak kandani dewe,”
“Ngapunten, Bah. Kulo mboten saget. Tahun besok rencananya mau boyong,”
###
“Selesai…” Kakek mengakhiri ceritanya. Menyeka sedikit air di bawah matanya. Sedih kenangan lama itu terungkap kembali setelah sekian lama Kekek pendam sendiri. Aku menepuk-nepuk pundak Kakek menenangkan. Entahlah cerita di bagian mana yang membuatnya sedih sampai sekarang ini.
“Selanjutnya bagaimana, Kek? Kakek tetap boyong apa memilih menjadi ketua pondok? Kasian sekali rakyat-rakyat Kakek kalau model ketuanya seperti ini, cengeng. Hehehe…” aku berusaha mencairkan suasana. Gak lucu kan kalau aku yang mondok tapi malah Kakek yang nangis, memalukan.
“Kau ini!”
Mobil yang kita kendarai sudah masuk di sebuah desa yang ramai. Banyak muda-mudi yang berjalan di sisi kanan-kiri jalan. Aku tahu betul siapa mereka melalui setelannya. Setelan khas santri. Tak hanya itu, banyak juga toko-toko yang memenuhi kanan-kiri jalan. Mulai dari toko pakaian, alat tulis, buku, dan kitab, bahkan ada kedai-kedai berbagai jenis makanan dan tentunya ada warung kopi. Ini mah desa tapi rasa kota karena semuanya lengkap.
“Sebentar lagi sampai.” wajah Kakek sudah berubah seperti sediakala, menjengkelkan.
“Ada hal lain yang akan Kakek sampaikan. Orang yang mempunyai ilmu itu diumpamakan seperti empat orang. Pertama, orang yang mempunyai uang untuk kemudian dimanfaatkan. Kedua, orang mempunyai uang untuk kemudian hanya disimpan saja. Ketiga, orang mempunyai uang hanya untuk dirinya saja. Keempat, orang yang mempunyai uang untuk kemudian diberikan kepada orang lain.” Mobil yang mereka kendarai tiba-tiba saja belok kiri masuk ke gedung tiga lantai. Aku sudah sampai di rumah baruku, pondok pesantren.
“Ingat-ingat pesan yang Kakek berikan dan rapa maksudnya. Jangan sampai kamu menyesal seperti Kakek yang mengecewakan Beliau.”
Mobil berhenti. Aku tahu apa yang harus aku lakukan di tempat ini.
-SELESAI-
Karya: Karra Katun, Santri Mansajul Ulum.