Menu

Mode Gelap

Cerpen · 13 Sep 2024 10:07 WIB ·

Pesan dari Replika


 Sumber: id.pinterest.com Perbesar

Sumber: id.pinterest.com

“Kasihan banget sih, udah pede gitu malah blank di tengah jalan.” ucap salah seorang  peserta lomba ketika aku berpapasan dengannya di lobi gedung, perempuan muda seumuranku.

Teman-temannya tertawa menanggapi, aku tahu dia sengaja memancing emosiku. Tapi mana aku peduli dengan nasib lombaku tadi? Ada hal yang lebih penting yang harus aku urus, aku harus segera mencari mbak Nilna, musyrifahku itu pasti sedang berada di kamar sekarang.

***

“Ra, hei bangun, sudah sampai Boyolali.”

Mataku mengerjap terbuka, melihat sekeliling yang ramai akan lalu lalang kendaraan.

“Sudah sampai Menjing, Mbak?”

Pertanyaanku terjawab ketika mobil kami memasuki kawasan luas dengan banyak bangunan bertingkat, dengan tulisan besar di tengah halaman Asrama Haji Donohudan” lengkap dengan baliho selamat datang di kanan kiri jalan.

“Selamat sore, silahkan menuju gedung Madinah untuk check-in peserta lomba, kunci kamar penginapan juga sudah disediakan di sana berdasarkan cabang lomba yang diikuti.” sapa seseorang dengan ramah sembari mempersilahkan kami masuk.

Aku menatap satu persatu gedung yang berada di dekatku. Setiap gedung di sini diberi nama berdasarkan nama-nama tempat yang wajib dikunjungi seseorang ketika melaksanakan ibadah haji, ‘mungkin karena memang Asrama Haji.’ pikirku.

Komplek ini benar-benar luas karena memang diperuntukkan untuk acara Festival Bahasa Arab Pesantren se-Provinsi Jawa Tengah. Tentu saja pesertanya adalah mereka yang telah lolos di tingkat Kabupaten kemaren, dan aku adalah satu di antara 20 peserta yang mewakili kabupaten kami, 20 peserta dari 20 pesantren yang berbeda.

Arafah lantai 4-16, begitu tulisan yang disodorkan seorang panitia kepada mbak Nilna, musyrifah yang dipercaya untuk membimbingku selama proses persiapan lomba. Segera kami menuju ke gedung tersebut setelah pamit pada teman-teman yang baru kukenal beberapa jam lalu.

Huft, syukurlah lomba baru dilaksanakan esok pagi, setidaknya malam ini aku bisa istirahat dengan nyaman terlebih dahulu.” ucapku sebelum menjatuhkan tubuhku ke atas kasur yang telah disediakan panitia untukku.

***

Sore hari ini kuhabiskan dengan menikmati setiap jengkal di seluruh komplek asrama. Sebenarnya aku tipikal orang yang tidak mudah nyaman dengan lingkungan baru, motif jalan-jalan sore ini bukan karena aku tertarik dengan setiap sudut asrama, apalagi karena bosan, aku tidak akan bosan meski tetap berada di kamar sembari menatap lalu lalang kehidupan orang-orang dari berbagai kota ini. Tujuanku hanya satu, aku ingin mengusir ingatan akan kegagalan tampilku tadi pagi, siapa tahu ada hal baru yang kutemukan sebagai penawar.

Mataku terpaku pada bangunan replika Ka’bah di sebelah gedung Makkah, segera kudekati bangunan kotak hitam itu dengan gemetar aku sentuh hajar aswadnya. Aku berusaha mengeja setiap guratan dalam gelapnya.

“اللهم باركنا زيارة المكة المكرمة والصفى والمروة والمدينة المنورة بصحة عافية ولطف بلا قيد ولا مشقة ولا فتنة برحمتك يا ارحم الراحمين”

Rapalku dalam hati.

Entah karena apa tiba-tiba aku merasa ditarik dalam dimensi lain. Bayangan ummi Hannah, Ibu Nyai kami di Pesantren memenuhi kepalaku. Lalu, aku melihat Romo Yai beserta seluruh santri di Pesantren berbondong-bondong menaiki tangga batu yang berada di tengah ruangan gelap, saling bergandengan tangan seakan berbicara tentang kekeluargaan. Beliau memimpin rombongan dengan terus menuju ujung tangga yang tak nampak sejauh mataku memandang. Di barisan paling belakang, terdapat ummi Hannah yang memberikan arahan sekaligus penutup rombongan tersebut.

Ummi! Ummi! Tunggu Naymira.” Sekuat tenaga aku berlari mengejar, tapi ummi Hannah tetap meneruskan langkahnya tanpa peduli dengan teriakanku.

Ummi…, rombongan ini mau kemana? Kenapa Naymira tidak diajak?” Aku bahkan sudah bersimpuh di kaki beliau sembari menangis sesenggukan. Beliau hanya tersenyum sebagai jawaban, dengan lembut beliau melepas tanganku lalu segera menyusul rombongan.

Ummi…!

Aku tersadar dan melihat tanganku gemetar setelah terlepas dari hajar aswad. Segera aku berlari menuju gedung Arafah untuk mencari mbak Nilna.

“Astagfirullah…, Astagfirullah…..”

Mbak Nilna, tolong Naymira. Naymira butuh telepon untuk menghubungi mbak Afifah di pesantren”

Eh, iya, Ra, ini! Tapi kenapa kamu ngos-ngosan seperti itu?”

“Nanti ya, Mbak. Nanti Naymira ceritakan, sekarang Naymira butuh telepon dulu.”

Aku segera menuju balkon kamar dan mencari kontak mbak Afifah, ‘ketemu’ ucapku spontan.

Assalamualaikum Nilna, ada apa telepon?” terdengar suara di seberang sana

“Maaf, mbak Afif, ini Naymira”

Oh, Naymira, gimana kabar di sana? Lombanya sukseskan?”

Pertanyaan itu sukses membuatku mengingat kejadian tadi pagi, ketika pembawa acara memanggil namaku untuk tampil melantunkan tilawah Al-Qur’an.

”Peserta no: 9 atas nama Naymira Nuril Fitria, dipersilahkan menuju podium.”

Aku segera bangkit untuk mengambil satu dari beberapa gulungan maqro’ yang disediakan.

Bismillah…

“Surat Al-Baqarah ayat 163, shohifah 54.”

Aku tertegun mendengarnya, berusaha menetralkan degup jantung yang kian tak teratur,

Tenang, Mira, kamu sudah mempelajarinya…

A’udzubillahi minasy syaitonirrojim, bismillahirrohmanirrahim….”

Satu demi satu ayat mulai kulantunkan menggunakan maqam bayati yang terasa menyejukkan hati, tak terasa air mataku menetes karena aku begitu menghayati setiap lafadz yang terucap, sampai di ayat ke 173, tiba-tiba tenggorokanku tercekat. ‘Hei! bagaimana bisa aku lupa nadanya? Aku bahkan sudah menghabiskan waktu hampir 2 jam setiap hari untuk mempelajari ayat ini, sudah hafal di luar kepala pastinya.’

Mbak Nilna manatapku cemas di pojok ruangan, dia pasti juga bingung dengan apa yang terjadi padaku. Segera aku mengakhiri bacaan dan berlari memeluknya.

“Mira, kenapa? Kamu nggak mungkin lupa nadanya kan?”

Aku hanya mampu menangis terisak dalam dekapan mbak Nilna, hatiku kacau sekali. ‘ada apa sebenarnya?’

Cepat-cepat kubuang ingatan tentang kejadian tadi dan kembali fokus akan tujuanku.

Alhamdulillah Naymira dan mbak Nilna di sini baik. Maaf mengganggu waktunya, Mbak. Sebenarnya Naymira mau tanya, apa ada sesuatu terkait Ummi masalah kepergian Naymira kemarin?”

Bisa kudengar mbak Afif di sana mengaduh pelan. Sepuluh detik hanya ada keheningan, lalu dengan hati-hati mbak Afif menceritakan apa yang terjadi dengan ummi di Pesantren. Hatiku mencelos seketika, sebisa mungkin aku mencerna kalimat demi kalimat yang mbak Afif ceritakan di tengah pikiranku yang kemelut akan banyak hal. ‘Pantas saja.’

Aku mengecewakan beliau lagi.

Bahkan di moment penting seperti ini aku masih membuat kesalahan.

Memori otakku segara memutar kejadian di awal keberangkatanku menuju Pendopo Kabupaten kemaren siang. Mobil pesantren yang kami tumpangi tiba-tiba mogok di tengah perjalanan, sehingga aku dan mbak Nilna terpaksa turun untuk mencari angkutan umum. Lima belas menit tak ada satu pun angkot yang sesuai tujuan. Aku panik karena pihak kabupaten memberi kabar bahwa rombongan akan segera berangkat. Akhirnya, kami bisa bernapas lega sekaligus sungkan setelah pihak kabupaten bilang bersedia menjemput kami di titik lokasi mogok yang masih lumayan jauh dari pendopo.

Lalu, ditambah kejadian tampilku tadi pagi, semakin jelaslah semua yang terjadi. Bagaimana tidak? Bagi seorang santri, ridho Romo Yai dan Ibu Nyai sebagai guru sekaligus orang tua adalah nyawa. Aku benar- benar merasakan pengaruhnya.

“Astagfirullah…, ternyata dari awal kepergianku sudah melukai hati beliau karena ulahku sendiri. Sombong sekali aku ini, bisa-bisanya aku melakukan kesalahan besar tanpa merasa bersalah sama sekali.

“Ra, kok nangis, kenapa? Ada apa di Pesantren?” Ternyata mbak Nilna menyusulku yang terlalu lama berada di balkon.

Mbak, maaf Naymira tidak bisa cerita sekarang. Mbak akan tahu nanti setiba di Pesantren. Kita pulang sekarang ya, Mbak. Pakai grab saja ya, mbak bisa hubungi pihak kabupaten untuk mengizinkan kita pulang kan? Naymira mohon, Mbak.

“Oke, biar mbak yang bilang, kamu tolong beresin barang-barang kita ya.”

“Iya, Mbak, biar Naymira yang urus, terimakasih banyak ya, Mbak.

Di dalam mobil, pikiranku hanya tertuju pada ummi. Beliau adalah sosok yang sangat aku hormati dan kukagumi habis-habisan. Sosok yang selama ini telah mencurahkan segenap cintanya pada kami, dengan penuh kesabaran membimbing kami yang terlampau menyebalkan. Menyiapkan kami sebagai perempuan tangguh dengan mental sekuat baja. Perempuan yang mampu berdiri di kakinya sendiri. Bargaining. Tiada sedikitpun rasa benci pada kami setelah berulang kali kami membuat kesalahan, beliau tetap tersenyum menenangkan.

Ummi, maafkan Naymira…

Karya: Abyl, alumni Mansajul Ulum 2023.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 55 kali

Baca Lainnya

Jalan Kematian Sang Resi

4 Oktober 2024 - 11:42 WIB

Keajaiban Hati

16 Agustus 2024 - 09:57 WIB

Risalah Langit

19 Juli 2024 - 08:07 WIB

ISMAIL

21 Juni 2024 - 07:28 WIB

Terjemah Rasa

24 Mei 2024 - 09:07 WIB

Belajar dari Ilmu Padi

26 April 2024 - 17:50 WIB

Trending di Cerpen