“Dilancarke maleh, Mbak, ben saget nelpon.”
“Nggeh, Ustadzah.”
Temanku itu mengangguk lesu, wajahnya kuyu penuh rindu dengan sang ibu.
***
Namanya Naura. Jum’at ini ia sedang berjuang meloloskan kombongan hafalannya. Sudah dua kali jadwal telpon ia lalui karena belum lolos hafalannya.
Dan namaku Aqilla, salah satu teman Naura, termasuk yang paling sering mendengarkan ceritanya, keluh kesahnya, dan curhatan-curhatannya .
“Sudah lolos, Ra?’’ tanyaku, walaupun sebenarnya aku sudah bisa menebaknya.
“Belum, nanti habis dzuhur setoran lagi.”
“Wah, semangat, Ra!” ucapku tersenyum lebar, mataku kulebarkan sampai muncul binarnya, harap-harap dapat mengirim energi semangat untuk sahabatku ini.
“Siap, Qil. Aku sudah pengen nelpon banget tau.”
Dalam hati, aku mengeluh tertahan. Usia kami baru 14 tahun, kelas 1 Tsanawiyah masih remaja bau kencur, dan kami sudah jauh dari orang tua, tentulah rasa rindu itu selalu terbit, ingin bercerita kepada bunda, mengadu, menangis, tentu pula tertawa.
“Heleh, kamu pasti mau minta kiriman kannn?” tebakku, sengaja ingin mengusir rasa sedih itu dari hatinya.
“Husttt, jangan keras-keras, Qil! Malu akutuuhh, Hahaha. Tapi aku juga kangen Ibun, Qil.”
“Makanya buruan dilancarin, Ra.’’
“Oke, Qil, do’ain aku ya!”
Kuacungi jempol untuk menandakan ‘iya’.
Tahun ini, tahun pertama ia mondok. Berbeda denganku, aku anak pindahan yang datang tahun ini bareng Naura dan teman-teman lainnya. Meskipun begitu, aku salut dengan tekad Naura. Ia tak pernah menyerah sekalipun jatuh berkali-kali.
***
Usai jama’ah dzuhur, seperti biasa, kusempatkan waktu untuk berdiam diri di musholla. Sambil menatap hijaunya pemandangan di depan sana. Kulihat di pojok belakang, Naura masih sibuk dengan hafalannya.
“Aqilla!” panggil Azka yang tiba-tiba nongol dari jendela bersama tiga teman lainnya.
“Eh, kaget! Ngapain sih kamu di sana?” tanyaku gemas.
“Shutt!! Sini tak bisiki sebentar deh!” ajak mereka yang kususul mendekat ke jendela karena kepo.
“HAAA?! Sumpah?” tanyaku benar-benar kaget.
“Iya, tadi aku habis nelpon ibukku. Ibukku Tanya tentang Naura, terus ngasih kabar itu.” Jelas Azka.
“Tapi ia belum tau deh kayaknya.” sahut Azki.
Azka dan Azki itu teman sekaligus sepupu Naura. Mereka tidak kembar, hanya saja namanya hampir sama.
“Ustadzah Sarah sudah tau apa belum ya? Soalnya kalau habis dzuhur ini dia setoran, nanti dia nelpon. Mending tanya ustadzah dulu deh.” jelasku dengan cermat.
“Ayok-ayok,” ajak mereka.
Ustadzah Sarah . Beliau itu musyrifahnya Naura yang selalu siap kapan saja kalau Naura datang. Walaupun itu tengah malam sekalipun.
***
“Assalamu’alaikum.” Salam kami bareng.
“Wa’alaikumsalam, masuk saja, Mbak.” jawab ustadzah Sarah yang tengah di kamar.
“Ada perlu apa, Mbak?” tanya ustadzah Sarah yang kelihatannya faham melihat kami yang bingung.
“Eumm… itu, Ustadzah, tadi kan Azka habis nelpon, terus ibunya Azka tanya tentang Naura dan ngasih kabar kalau…, kalau…”
“Kalau kenapa, Mbak?” tanya ustadzah Sarah penasaran.
“Eh, itu, kalau ibunya Naura meninggal. Ustadzah sudah tau?” tanyaku setelah tadi gugup.
“Innalillahi…, bentar mbak saya cek telpon dulu”
“Nggeh, Ustadzah.” jawab kami sambil menunggu.
“Tapi kok belum ada informasi dari keluarga ya, Mbak?”
Hening.
“Tinggg…” suara notif masuk dari HP ustadzah Sarah. Kami masih hening. Menunggu ustadzah memberi tahu kami pesan dari siapa itu.
“Mbak saya minta tolong sama kalian semua yang ada di sini. Tolong jaga berita ini ya. Dari keluarganya bilang jangan kasih tau mbak Naura. Biar dia hafalan dulu. Berhubung bentar lagi ujian, dan kalian semua mau persiapan ujian, nanti dikasih taunya pas selesai ujian. Itu pesan dari kakaknya.” jelas ustadzah Sarah yang matanya berkaca-kaca.
Sakit. Terpukul. Itu yang aku dan teman-teman rasakan di dalam kantor ini. Semua pada nangis, tapi aku tidak bisa, hanya sesak rasanya. Sakit.
Kalian ikut merasakan? Dua Jum’at yang lalu dia belum lolos dan Jum’at ini yang seharusnya dia lolos target tapi ada alasan yang direncanakan ustadzah Sarah agar Naura tidak bisa nelpon. Yang padahal ujian di selenggarakan dua minggu lagi. Kemungkinan lima minggu Naura tidak nelpon dengan keluarganya. Ya Allah aku tidak bisa mambayangkan bagaimana perasaan Naura ketika tahu semua ini.
***
“Gimana mbak Naura? Kok masih belum lancar? Ini sudah salah lima kali lebih lohh…”
“Bingungg, Ustadzah…” jawab Naura lesu.
“Kalau salahnya masih banyak, ya belum boleh nelpon, Mbak.”
“Ya udah deh, Ustadzah, Naura lancarin dulu.”
“Yang fokus, Mbak. Jangan mikirin yang aneh-aneh dulu ya…” jelas ustadzah Sarah.
“Gapapa ya, Mbak, enggak nelpon dulu.”
“Iya, Ustadzah…” jawab Naura pasrah.
Naura pun kembali dengan hasil yang belum memuaskan.
***
“Aqilla!!” panggil Naura sambil berlari ke arahku.
Sore ini aku ingin menyendiri sebenarnya. Aku bingung harus bersikap bagaimana dengan Naura. Yang pastinya Naura akan mengadu kepadaku jika dia belum lolos kombongan.
“Aqilla, sedih tau, aku udah tiga Jum’at ini belum nelpon. Ibun pasti nungguin aku.” ucapnya dengan cemberut. Hatiku seketika mencelos, otakku sudah tidak dapat membayangkan, bagaimana keadaan Naura nanti ketika tahu.
“Belun lancar ya, Ra?” tanyaku singkat.
“Belum. pusing tau, Qil. Tumben juga baru salah lima kali lebih dikit udah dibalikin sama ustadzah.” keluh Naura
“Kamu nggak nitip pesan apa-apa gitu ke Ustadzah?”
“Udah, baru aja aku nitip terus ke sini. Aku nitip salam buat ibun. Aku bilang minta maaf kalau belum bisa beri kabar bahagia apa-apa buat ibun”.
Sedih banget ini. Kenapa sih dia ngasih surat kaya gitu. Aku ingin memeluknya tapi kutahan.
“Lho, Qil, kamu kenapa nangis?” dia melihat aku waktu mengusap ujung mata menggunakan pucuk kerudung.
“Nggak kok, Ra. Aku Cuma kelilipan tadi kena angin. Hehehe.” jawabku dusta
“Angin dari mana coba? Pohon lho nggak ada yang gerak. Aneh-aneh aja kamu, Qil.”
Sehabis dia mengatakan itu, hening selama lima menit.
“Eh, Qil. Lihat deh langitnya, cerah banget ya!” ucapnya tiba-tiba.
“Coba aja bisa nitip salam maupun surat lewat awan, udah aku titipin suratku dari dulu buat ibun. Hahaha.” khayalan itu lucu tapi tidak untuk saat ini.
“Ngayal kamu, Ra.” jawabku sebal yang dibalas tawa lepas dari Naura.
‘Maaf ya, Ra’ itu yang kuucapkan berkali-kali di dalam hati.
***
“Mbak, minta baca surah Yasin sama kirim Al-Fatihah buat ibuknya mbak Naura ya.” ucapaku pada teman-teman kamar Bani Sabur. Bani Sabur itu nama salah satu kamar yang aku, Naura, dan teman-temanku tempati sekarang ini. Ya, ustadzah hanya mengizinkan aku untuk bilang ke kamar Bani Sabur saja.
Semua terkejut. Nangis. Itu yang mereka lakukan. Kami semua berjanji agar menjaga kabar ini dan selalu men-support Naura.
“Qil, Naura udah tau kabar ini? Tanya temanku setelah ia selesai menangis.
“Belum, Fi. Kalian semua jangan ngasih tau dia ya, nanti dia kepikiran dan nggak fokus pas ujian.” Perintahku.
“Insyaallah, Qil. Kita do’ain semoga Naura kuat ya!”
“Aminn..” jawab temanku bareng.
“Ya udah cepetan dimulai bacanya. Yang udhur baca sholawat ya, semoga dengan ini semua, ibuknya Naura diampuni dosanya dan diterima segala amal ibadahnya.”
“Aminn…”
***
“Naura dapat paket, Ra!” teriak Azka yang membawa kardus ke dalam kamar. Semua kaget, tak terkecuali aku. Iba ingin melihatnya. Tapi Naura, dia senang sekali.
Kalian tahu? Paket yang diletakkan paling atas itu adalah sebuah foto dengan figuranya yang berukuran A4. Di sana ada wajah Naura kecil dan ibunnya. Di belakangnya tertulis:
Untuk Naura
Ibun selalu ada untuk kamu, Nak
Tetap semangat dan selalu do’akan Ibun ya
Bertahanlah, Nak, jangan khawatir
Ibun selalu nunggu Naura
Do’a Ibun selalu ada untuk Naura
Semangat sayang!
Dari Ibun.
Sungguh! Aku tak mampu melihatnya. Aku berlari ke kamar mandi. Kutumpahkan tangisku di sana. Sepertinya tadi Naura juga menangis. Biarlah, aku tidak peduli, aku tak kuat memikirkannya. Sebelumnya, kudengar ia bilang.
“Kaya bukan tulisan Ibun loh ini.” Entah, rasanya lama sekali menunggu ujian selesai.
***
Malam terakhir ujian, aku dipanggil ustadzah Sarah ke kantor. Beliau menanyakan kabar berita itu.
“Aman kan, Qil?”
“Aman, Ustadzah” jawabku penuh yakin.
“Kemarin udah dibacain Yasin kan, Mbak?”
“Sampun, Ustadzah”
“Ya sudah, makasih ya, Mbak.”
“Nggeh, Ustadzah.”
Setelah mengatakan itu aku pamit dan mengucapkan salam. Saat aku keluar,
DEG!
Banyak orang yang berdiri di depan kantor, dan tadi saat masuk aku tidak menutup pintu kantor dengan rapat. Teledor.
“Qil?” Tanya mereka bingung.
Aku menghela napas.
“Kalau kalian denger, tolong jangan kasih tau yang lain. Biar Naura tau sendiri dari keluarganya” ucapku memohon.
“Iya, Qil” jawab mereka serempak.
***
“Aqilla! Aqilla!” teriak Naura.
“Aku mau dijemput” ucapnya senang.
“Tapi… ada apa ya? Katanya mas ku lamaran, kok cepet banget loh. Tapi orang-orang tadi pada ngasih surat, katanya suruh buka di rumah saja.” ucapanya bingung.
“Halah, paling pada mau nitip chek-out, Ra. Hahaha” balasku berusaha santai yang dibalas tawa Naura.
“Kepada saudari Naura ditunggu keluarganya di bawah.” Suara dari kantor pin berkumandang.
“Aku duluan ya, Qil!” teriak Naura sambil berlari.
“Iya, hati-hati ya!” balasku berteriak.
Semua orang yang bertemu Naura mengucapakan semangat, hati-hati, dan berpesan jangan bayak bersedih. Aku hanya bersalaman tak mengucapkan apa-apa. Dia terlihat bingung, dan semua melambaikan tagan kepada Naura.
‘Naura, maafin aku.. tetaplah kembali, di sini, di pondok ini yang diharapkan Ibunmu. Cepat membaik Naura. Aqilla yakin, kamu pasti kuat. Selamat ulang tahun. Kabar itu bukan hadiah menyeramkan di hari ulang tahunmu. Banyak hadiah yang indah. Termasuk yang kamu inginkan. Berteman denganku sampai kapanpun, hingga maut yang memisahkan, itu katamu. Aqilla tunggu kedatanganmu Naura! Dengan senyum yang menghiasi wajah.’
Itu surat yang kuselipkan di tas Naura. Selamat membaca, Naura.
Langit. Itu yang disukai Naura. Entah, aku mengetahuinya saat bertepatan ibunya pergi. Naura bilang, “Memandangi langit itu kayak sudah jadi hobi. Cerah maupun gelap, terang maupun mendung, itu sudah mewakilkan perasaan Naura, selalu rindu Ibun.”
Entah mungkin itu obat rindunya.
Karya: Azima Nur Rofi’ah, Santri Mansajul Ulum.