Teruntuk kalian yang sedang patah
Tetaplah kembali hidup dan teruskan langkah
Padang ilalang itu terlihat subur dan sejuk, sama halnya dengan semangat anak-anak di sana yang sedang asyik memperhatikan gerak bibir sang Kakek. Sesekali angin berhembus diiringi dengan tawa anak-anak, terlihat hangat dan menyenangkan di mata siapapun yang memandangnya sekalipun dari kejauhan.
“Kek Iwan… Kek Iwan..! Cerita lagi dong tentang teman-teman Kakek dulu!” pinta seorang gadis berumur Sembilan tahunan yang matanya bulat bak rembulan.
Kek Iwan menoleh, lalu tersenyum. Sebenarnya namanya Ridwan, tapi anak-anak memanggilnya dengan julukan Kek Iwan. Mulanya orang-orang di desa ini memanggilnya Dek Iwan, lalu Bang Ridwan, ganti lagi jadi Om Ridwan, Pak Ridwan dan sekarang menjadi Kek Iwan. Entah berapa lama waktu yang telah ia habiskan untuk mengabdi di desa ini. Meskipun terpencil, desa ini masih asri sepanjang generasi yang ia lalui. Itu yang ia suka dari desa ini.
“Ih, Kamu. Namanya itu Kek Ridwan! Bukan Kek Iwan, pake ‘R’.‘R’ Wulannnn!!!! Kamu mah salah baca mulu.” timpal salah satu anak laki-laki yang tampak seumuran dengan gadis kecil tadi. Wulan langsung cemberut, memangnya apa yang salah darinya?.
“Berisik deh, Kamu! Sama aja kali mau pake Kek Iwan atau pake Kek Ridwan! Lagian aku bukan lagi baca, aku lagi ngomong. Dasar Kritikus” jawab gadis itu ketus.
Kek Iwan dibuat tertawa, memang ada-ada saja tingkah anak-anak ini.
“Udah, udah, kalian boleh manggil Kakek apa saja deh, asal jangan dipanggil kebo saja.” lerai Kek Iwan. Spontan seluruh anak-anak tertawa melupakan kejadian menjengkelkan yang baru saja terjadi di antara Wulan dan bocah laki-laki yang barusan menjadi rivalnya.
“Mau Kakek ceritain gak? Temen kakek yang satu ini keren poll. Pake banget” tawar Kek Iwan.
Sontak seluruh anak-anak histeris menggangguk. “MAUUU!” jawab mereka serempak.
Kek Iwan lagi-lagi tertawa. Ada-ada saja tingkah anak-anak ini.
“Temen Kakek yang satu ini, namanya Jabbar” sambung Kek Iwan lagi.
“Jabar itu singkatan dari jawa barat bukan sih, Kek?” celetuk salah satu anak yang membuat Kek Iwan tertawa.
“Iya benar, tapi yang ini beda.” jawab Kek Iwan sekenanya, sebelum ia memulai ceritanya.
–TAHUN 1997–
Namanya Jabbar Al-Mizan, seorang santri di sebuah pesantren tradisional di daerah Jawa Tengah. Sebetulnya ia sudah lulus sejak empat tahun lalu, tapi ia lebih memilih untuk mengabdi di Pesantren sambil menunggu jodohnya. Barangkali beruntung, ia bisa mendapat istri putri sang Kyai yang terkenal sangat jelita dan sholehah itu. Itu karna ia yakin bahwa tidak akan ada satu pun Universitas di negeri ini yang mau menerima seorang lulusan pesantren dengan nilai sangat pas-pasan sepertinya.
Tapi niat itu tiba-tiba saja berubah di suatu malam. Entah karena apa, misteri itu belum terkuak hingga saat ini. Mendadak seusai ngaos kitab malam selasa, Jabbar langsung menuju ke ndalem menangis sesenggukan memohon ampun kepada sang Kiai. Bahkan ia sampai bersujud di kaki sang Kiai
“Ngapunten, Yai. Ngapuntene sanget” ucap Jabbar terus-menerus.
Sang Kyai pun hanya mengangguk maklum. Ia paham dengan apa yang dimaksud Jabbar.
“Ngapunten, Yai. Saestu saya tidak akan mengulanginya lagi” ucap Jabbar lagi.
“Sudah, Nang. Sekarang istirahatlah, sampun dalu” titah Kiai final. Dengan nafas masih sesenggukan, Jabbar kembali ke kamarnya. Demi apapun ia merasa sangat menyesal dengan niatnya mengabdi kemarin-kemarin.
Setelahnya Ia melakukan semua tugas dari ndalem dengan sangat baik, berusaha memohon maaf dengan khidmah yang Ia lakukan. Karena waktu itu Kiainya belum mengucapkan pernyataan menerima maafnya secara sempurna, mungkin beliau kecewa. Itu saja yang mengisi pikiran Jabbar berhari-hari.
Hingga satu minggu kemudian, Ia dipanggil oleh sang Kiai untuk segera menuju ndalem saat ia sedang sibuk memarut kelapa untuk keperluan masak ndalem.
“Kang Jabbar, dipanggil Abah ke ndalem” ucap Ridwan. Jabbar segera berdiri dan menuju ndalem untuk menemui sang Kiai.
“Assalamualaikum, Bah” Jabbar mengucapkan salam
“Waalaikumsalam, Nang. Masuk” titah Abah. Langsung saja Jabbar memasuki ruang tamu ndalem dengan berjalan menggunakan lutut lalu menyalimi tangan sang Kiai yang sudah keriput tapi tetap halus.
“Ada apa, Bah? Njenengan nimbali saya?” Tanya Jabbar basa-basi.
“ Gini nang, besok lusa Abah ada undangan untuk datang ke konferensi pers PPI yang ada di Surabaya. Nah, Abah kayaknya tidak bisa ikut ke sana. Abah ada urusan yang lebih penting di pondoknya Ning Hyra di Pekalongan” ucap sang Kiai. Jabbar hanya mengangguk sambil menunggu lanjutan dari sang Kiai.
“Dan, Kamu. Abah utus ke Surabaya sendirian nanti sore!”
CTAAAR!!
Jabbar seperti tersambar petir di siang bolong. Ia kaget sekaligus heran dengan perintah dan pernyataan Kyainya barusan.
“Ta-tapi, Bah. Saya tidak bisa.” Ucap Jabbar terbata. Ia berusaha mengelak.
“Lah kenapa ndak bisa? Wong belum dicoba kok bilang nggak bisa” balas sang Kiai.
“Sa-sa-saya payah, Bah. Belum bisa” Tolak Jabbar lagi.
“Wes tah, Nang. Kamu coba dulu. Mewakili pondok kok malah nggak mau. Semua sangu dan perbekalan sudah Abah siapkan” titah Abah lagi. Jabbar menghela napas pendek. Pikirannya sibuk berkelana. Pertama, Ia memikirkan bagaimana bisa pondok tradisional ini diundang untuk menghadiri acara konferensi pers tahunan Persatuan Pelajar Indonesia yang bertaraf Nasional itu? Yang kedua, kenapa harus Ia yang diutus untuk mewakili pondoknya? Kenapa Kiainya tidak mengutus santri lain yang jauh lebih mahir dan kritis darinya?
“ Nang, meskipun pondok ini pondok tradisional, tapi Abah selalu berusaha memajukan pondok ini. Tradisional hanya soal konsep. Sisanya belajar dan berkembang. Nah, kebetulan sahabat Abah itu ketua PPI namanya Pak Jamal, tahun ini beliau mengadakan program baru yang bekerjasama antara siswa umum dan santri” jelas sang Kiai.
“Nah, kamu berangkat ya, Nang. Mewakili santri wilayah Jawa Tengah dengan 11 santri lainnya” sambung Sang Kiai.
Jabbar menelan ludah pahit. Ia kembali gentar.
“Mboten, Bah. Saya nggak pantas. Saya panggilin Kang Ridwan atau Kang Djalu, atau yang lainnya nggih?” tolak Jabbar mencoba mencari alternatif. Kyainya menggeleng keras.
“Dah lah! Pokoknya kamu yang berangkat. Nanti sore kamu diantar sama Kang Ali” ucap Abah final sebelum sang Kyainya pergi masuk ke dalam kamar. Tanda Kyainya tidak mau diganggu gugat.
Jabbar termenung sendirian. Dua menit kemudian ia keluar dari ndalem yang tanpa ia sadari sudah ada Ridwan menunggu di balik pintu ndalem. Ridwan mendengar semua percakapan antara sang Kiai dan Jabbar.
“Gimana, Kang? Tadi abah suruh Kang Jabbar ke Surabaya ikut PPI ya?” tanya Ridwan langsung. Jabbar mengangguk lemas.
“Kok lemas sih, Kang? Semangat dong, keren tuh Kang Jabbar bisa ke konferensi pers PPI di Surabaya” hibur Ridwan.
“Ya aku bingung dong, Wan. Masa aku yang disuruh pergi ke sana? Padahal kan ada yang lain yang jauh lebih pintar dari saya. Ada Kang Djalu, Kang Mabrur, Kang Malik, Kang Topan, Ada kamu juga kan, Wan? Kenapa harus saya gitu loh?” ucap Jabbar mengabsen santri putra yang menonjol di pondok itu. Ridwan menggeleng.
“Ngawur sampeyan, Kang!! Abah pengennya kamu yang berangkat, udah mutlak itu gabisa diganggu gugat. Ya kalau udah gitu sekalipun pintar, idaman plus-plus juga percuma” Jawab Ridwan.
Jabbar terlihat ragu. Spontan Ridwan menepuk bahunya pelan.
“Sudahlah, Kang! Niatke cari ridho Kiai” ucap Ridwan meyakinkan.
Sebelum Jabbar kembali ragu Ridwan mendorong tubuh Jabbar ke pondok.
“Sudah sana siap-siap, Kang. Aku tak nyiapin bekalmu dulu” Ujar Ridwan.
Akhirnya setelah menerima titah dari sang Kiai dan dukungan dari Ridwan, Jabbar mulai mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke Surabaya nanti sore. Tentunya saat ini ia masih keberatan menerima perintah tersebut. Ia merasa sangat tidak pantas, apalagi melihat niatnya mengabdi kemarin-kemarin.
Satu jam kemudian Jabbar telah siap dengan setelan terbaiknya. Baju koko biru muda dan sarung bakaran. Bagi kalangan santri style itu sudah termasuk elite, apalagi pada masanya. Sambil menggendong ransel hitam -hasil peminjamannya terhadap salah satu santri- yang berisi beberapa setel pakaian untuk ia pakai di Surabaya nanti, Jabbar pergi ke ndalem untuk menghampiri Ridwan.
“Sudah siap, Kang?” Tanya Ridwan saat melihat Jabbar dengan tampilan lebih rapi. Jabbar mengangguk.
“Mau makan dulu, Kang? Ummi tadi suruh kita makan lauk dari ndalem. Ada sayur jantung pisang, terus kering tempe dan telur dadar plus sambal. Nikmat pol itu, Kang. Wes tak tambahi kerupuk sekalian” tawar Ridwan. Jabbar mengangguk. Boleh juga tawaran Ridwan.
Jabbar pun makan sambil berusaha menikmatinya. Jika keadaannya lebih baik pasti sajian kali ini sangat-sangatlah nikmat. Sambil menyuap nasi ia memikirkan bagaimana kelanjutan kisahnya nanti di Surabaya.
“Nang, kesini sebentar” panggil sang Kiai.
Segera Jabbar mendekati sang Kiai.
“Kamu sudah makan toh?” Jabbar mengangguk. Tepat sebelum dipanggil sang Kiai, Ia baru saja selesai mencuci tangannya.
“Itu ada bekal untuk kamu bawa di jalan, wes tak siapin semua” ujar sang Kiai sambil menunjuk buntalan kain batik yang entah berisi apa saja. Jabbar segera mengambilnya, lalu ia meraih tangan sang Kiai untuk menciumnya. Ia hirup dalam-dalam tangan sang Kiai, berusaha menenangkan hati dari badai kecemasan dan ketidakpastian.
“Bismillah, Nang. Siapa tau ini adalah pengabdian terakhirmu di sini. Tunjukan pada negeri ini, siapa itu santri” ucap sang Kiai sebelum merelakan Jabbar untuk pergi.
Selang dua menit, motor yang dikendarai oleh Kang Ali mulai melaju menuju terminal. Tak berselang lama ia sudah sampai di terminal. Sebelum menaiki bus Kang Ali memberikan selembar tiket lalu menukar sandal yang digunakannya dengan sandal Jabbar.
“Masa kamu mau pake sandal swallow hijau ke Surabaya kayak gitu? Yang bener aja” Ucap Kang Ali dengan logat kota-nya. Jabbar hanya menanggapinya dengan cengiran. Lalu Kang Ali menukar sandalnya yang lebih layak untuk Jabbar. Bicara soal penampilan, Kang Ali memang jagonya.
Jabbar segera menaiki bus. Perjalanannya dimulai di sini.
Bersambung…
Karya: Naaay, Santri Mansajul Ulum, Pati.