KOLOM JUM’AT LXVII
Jum’at, 6 Januari 2023
Sesungguhnya agama Islam dibangun atas dasar keadilan. Hal itu seperti perintah-Nya di dalam kitab suci:
إن الله يأمركم بالعدل والإحسان
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil dan berbuat kebajikan.” {Q.S. An Nahl ayat 90}.
Dari dasar ini setidaknya kita tahu dalam menyelesaikan masalah harus dengan dasar keadilan, tidak dengan kemarahan, ketergesaan, atau ambisi. Tetapi untuk memahami keadilan, tentu dibutuhkan adanya pengetahuan. Dari sini muncul masalah tentang kebodohan. Kebodohan adalah kondisi seseorang yang tidak mengetahui sesuatu. Bagaimana jika seseorang tidak mampu atau tidak memahami perintah itu hingga ia tidak mampu mengamalkan perintah Tuhan di atas?
Udzur beragama itu ada yang disebabkan oleh kebodohan atau ketidaktahuan. Udzur tersebut dapat menyebabkan seseorang mendapatkan dispensasi khusus dari agama. Golongan ahli sunah wal jam’ah sendiri memiliki kaidah yang menyatakan ٌكلُّ جهلٍ معجُوزٍ عَن رفعِهِ فَعُذْر. Artinya: “Bahwa setiap kebodohan yang tak mampu untuk dihilangkan maka dianggap sebagai ke-udzuran.” Kaidah ini juga didukung oleh ayat Al-quran dan sunnah. Seperti firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 15:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
Artinya: “Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Sebenarnya maksud ayat tersebut bukanlah murni diutusnya Rasul. Tetapi dengan diutusnya Rasul wujudlah ilmu atau pengetahuan untuk menjalankan perintah agama hingga manusia tidak terjatuh dalam perbuatan keharaman. Lantas kalau seseorang tidak tahu apabila hal yang dia lakukan melanggar agama, apakah terkena sanksi?
Seperti yang dicontohkan oleh Nabi dalam pengaplikasian ayat tersebut, bahwa Nabi mengampuni orang yang melakukan kesalahan atau meninggalkan perintah atau melakukan larangan.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abi Hurairoh terdapat Riwayat yang artinya: “Ada seorang pemuda yang masuk masjid dan Nabi tengah duduk di pinggir masjid. Kemudian pemuda itu shalat 2 rakaat dan salam. Lalu pemuda tersebut menemui Nabi dan mengucapkan salam. Nabi pun menjawab : “Waalaikumusalam”. Lalu Nabi berkata: (ارجع فصلِّ فانك لم تصلِّ) “Kembalilah dan shalatlah kembali. Sesungguhnya kamu belum melaksanakan shalat.” Kemudian ia mengulangi lagi shalatnya seperti shalat yang awal dan kembali lagi datang ke Nabi. Nabi pun menyuruh mengulangi shalat yang kedua kalinya, dan hal tersebut terjadi sampai tiga atau empat kali. Lalu si pemuda pun berkata: “Demi dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya aku tidak mengetahui tata cara shalat yang lebih baik selain ini. Maka ajarilah aku.” Kemudian Nabi menjelaskan: “Jika ingin melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudhumu, menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah…” hingga akhir hadis.
Kita tahu bahwa pemuda tersebut belum mengetahui tata cara melaksanakan shalat dengan benar. Tata cara yang ia fahami ternyata dianggap tidak sah oleh Nabi. Tetapi Nabi tidak menyuruhnya untuk mengulangi semua shalat yang telah ia lakukan sebelumnya atau mengqadha’nya.
Hadis di atas menunjukkan bahwa ternyata kebodohan bisa diampuni dan termasuk dianggap sebagai udzur yang didespensasi. Jikalau kebodohan bukan dianggap udzur maka Nabi akan menyuruh si pemuda di atas untuk mengulang semua shalatnya.
Pada kasus di atas, Nabi hanya menyuruh mengulangi shalat yang sedang ia lakukan karena waktunya masih ada. Sedangkan shalat sebelumnya yang telah habis waktunya tidak disuruh mengulangi karena telah habis juga tuntutan melakukannya.
Ada pula hadis lain yang hampir mirip. Misalnya cerita sahabat Ady ibnu Hatim ketika turunmya ayat :
وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ
Artinya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” {Q.S. Al-Baqarah ayat 187}.
Ady berkata : “Aku membuat tiang pada tali hitam dan tali putih. Kemudian aku makan sampai keduanya jelas dan subuh pun telah lewat. Artinya, ia makan hingga siangnya bulan Ramadhan. Padahal dalam berpuasa mestinya ia wajib menahan makan (imsak) dari mulai terbitnya fajar (subuh) hingga datang waktu maghrib. Sementara Ady justru makan dan minum hingga terlihat jelasnya benang hitam dan putih sambil menyangka bahwa itulah yang dimaksud oleh ayat di atas.
Setelah itu ia pergi menemui Nabi dan menceritakan apa yang telah dilakukannya. Nabi kemudian menjelaskan bahwa yang ia lakukan itu tidak benar. Nabi pun berkata: innaka la’aridhul wusad, innama hiya dzulmatul lail wa nurus subhi. Artinya: “sungguh kamu orang yang konyol, yang dimaksud adalah gelapnya malam dan cahaya subuh”. Tetapi Nabi tidak menyatakan batalnya puasa Ady dan tidak pula memerintahkan untuk mengqadha’.
Ada pula hadis lain di dalam shahih Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Amaar bin Yasir bahwa Nabi mengutusnya bersama Umar bin Khatab dalam suatu urusan. Kemudian di tengah perjalanan keduanya junub. Karena tak mendapatkan air untuk bersuci selama perjalanan, maka Umar tidak melaksanakan shalat beberapa hari saat perjalanan. Sedangkan Amaar bergulung-gulung ditanah layaknya unta kemudian shalat.
Ketika Amaar ditanya perihal apa yang ia lakukan, ia mengatakan bahwa ia mengqiyaskan tayamum untuk junub dengan mandi. Karena mandi harus meratakan air ke seluruh badan maka saat bertayamum ia pun melakukan hal yang sama, yaitu meratakan debu ke semua badan. Sementara, Umar memahami bahwa tayamum hanyalah digunakan untuk menggantikan wudhu, bukan mandi. Karena itu, Umar memilih tidak shalat lantaran tidak mendapati air untuk mandi.
Ketika mereka kembali ke Rasulullah dan menceritakan hal tersebut, maka Nabi menjelaskan keduanya tentang syariat yang benar. ” innama yakfika an taqula biyadayka hakada…” sampai akhir hadis. Apakah Nabi memerintah Umar untuk mengqadha’ shalat yang ia tinggalkam atau memerintahkan Amar untuk mengulangi shalatnya? Ternyata tidak.
Adapula cerita tentang Hamlah yang saat itu ia istihadhah tidak shalat, lantaran tidak memahami. Kemudian Nabi menjelaskan tentang masalahnya, tapi Nabi tidak menuntut mengulangi shalat yang Hamlah tinggalkan karena ketidaktahuannya.
Dari masalah-masalah di atas cukup membuktikan bahwa kebodohan atas syari’at adalah sebuah udzur yang dapat dimaklumi. Tetapi yang perlu digaris bawahi bahwa tidak semua kebodohan bisa dianggap sebuah udzur. Ahli sunnah sediri membatasi masalah ini pada kaidah كل جهل معجوز عن رفعه فعذر.
Dari kaidah tersebut munculah dua kebodohan:
- Kebodohan seseorang yang ia tidak mampu untuk menghilangkanya. Mungkin karena tidak mampu untuk belajar, tidak ada jalan untuk menghilangkan kebodohannya, atau tidak ada orang alim yang bisa menjelaskan. Sementara tidak ada perantara apapun yang ia buat untuk belajar. Seperti seorang muallaf yang ada di pedalaman yang jauh dari ulama. Inilah kebodohan yang bisa dianggap sebagai sebuah udzur.
- Kebodohan yang bukan sebuah udzur, yakni kebodohan yang memungkinkan seseorang untuk menghilangkannya. Tetapi ia ceroboh dan tidak mau menghilangkan kebodohanya karena sibuk urusan dunia, bermalas-malasan, melupakan agama dan tidak peduli tentang masalah syariat. Kebodohan inilah yang tidak bisa dikatakan udzur.
Dewasa ini kita menghadapi banyaknya orang yang tidak memahami soal udzur kebodohan ini dalam agama. Sehingga sering terdengar alasan seseorang yang melanggar agama karena tidak tahu. Atau bahkan sengaja untuk tetap mempertahankan kebodohannya, karena merasa mending tidak tahu agar tidak mendapatkan dosa. Sehingga mereka malas untuk belajar agama dengan baik. Padahal sebenarnya menghilangkan kebodohan adalah sebuah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dalam firmanya:
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Bertanyalah kalian pada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak tahu.” {Q.S. Al-Anbiyaa ayat 7}.
Karena itu, sebagai anak milenial sekarang tidak ada alasan lagi untuk menjadi bodoh karena banyak cara untuk belajar di zaman yang serba ada ini.
Oleh: Muhammad Haris Husain, Alumni Mansajul Ulum tahun 2022.