KOLOM JUM’AT XXVIII
Jum’at, 11 Februari 2022
Dikutip dari ungkapan Imam As-Suyuti dalam kitab syarah Uqud Al-Juman bahwa, “Seoarang belum dikatakan sempurna imannya, sebelum ia mengetahui i’jaazul qur’an yakni mu’jizat nabi SAW, dan seseorang tidak dapat mengetahui ma’na-ma’na Al-quran sendiri kecuali lewat ilmu balaghoh.”
Bahkan Abu Hilal al Askari menjadikan balaghah di tingkat ke-dua setelah ilmu ma’rifatullah (teologi). Hal ini yang harus menjadi perhatian khusus bagi umat Islam. Karena mengesampingkan keberadaan balaghah menyebabkan buta terhadap ke-i’jaz-an Al-quran, baik dari keindahan lafadz, keunikan struktur kalimat, maupun keindahan keindahan yang bersifat makna.
Dewasa ini dalam pemahaman umum, balaghah dipahami sebagai ilmu yang mempelajari kesusastraan bahasa Arab. Sebenarnya, ilmu balaghah tidaklah sesingkat itu. Mempelajari ulum al-balaghah bagi seorang pelajar harus memiliki pengetahuan tentang fashohah. Fashahah sendiri maksudnya adalah kemampuan seseorang untuk berbicara dan mengungkapkan maksudnya dengan fasih atau jelas. Selain itu ia juga harus menguasai tiga ilmu khusus, yaitu ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Karenanya, kitab Qowa’il al-Lughah al-Arabiyah yang ditulis oleh Khifni Nasif,dkk menyarankan bagi pelajar balaghah harus menguasai lughat (Bahasa Arab), shorof, nahwu, ma’ani, dan bayan. Selain itu juga harus mempunyai insting kebahasaan yang baik dan banyak membaca litelatur Arab agar mengerti kata-kata baku yang digunakan.
Balaghah sendiri adalah salah satu bidang ilmu kajian sastra Arab. Secara terminologis, balaghah adalah sifat atau karakter yang terdapat pada kalam dan penuturnya (mutakallim) untuk mengungkapakan bahasa sesuai dengan konteks (muqtadha al-hal). Seperti orang yang berbicara kepada kekasihnya tentu akan berbeda dengan berbicara kepada gurunya. Kemampuan untuk berbahasa sesuai dengan konteks itulah sejatinya yang diajarkan oleh ilmu balaghah.
Sebelum turunnya Alquran balaghah bersifat arbitrer, yakni belum terdapat penjelasan teoritis sebagaimana sebuah ilmu. Walaupun begitu, kalangan jahiliyah pra turunnya Alquran adalah ahli sastra yang hebat. Kehebatan mereka bisa lihat dari syair-syair yang mereka gubah, seperti syair milik Umru’ Al-Qois di bawah ini:
“أَفاَطِمُ مَهْلاً بَعْدَ هذاالتَّذَلُّل * وَإِنْ كُنْتِ قَدْ أزْمَعْتِ صَرْمى فأَجْمِلىْ
أغُرُّكِ مِنِّى أنَّ حُبّك قَاتِلِىْ * وَإنّكَ مَهْماَتأمُرِىْ القَلبَ يَفعَلِ”
“Hai Fathimah, tunggulah sebentar, coba dengarkanlah kata-kata ini, apakah kau akan memutuskan cintaku ini, setelah kau mencintaiku dengan sepenuh hati?
Apakah kau merasa tertipu dengan cinta yang kuberikan kepadamu itu? Itulah yang menyebabkan hatiku gundah dan putus harapan, katakanlah dengan terus terang wahai kekasihku, apakah dinda merasa tertipu?”
Jika kita resapi serta renungkan, betapa indahnya gubahan beberapa lirik syai’r yang begitu puitis itu untuk menggambarkan keadaan yang dialami oleh penyair tatkala memeinta kejelasan pada sang kekasih yang sangat dicintainya.
Selain Umru’ al-Qois, masih banyak para penyair jahiliyah yang sangat handal dalam mengungkapkan perasaannya, baik ketika kasmaran, rindu, berduka, ataupun kesedian yang begitu abstrak. Mereka sering mengespresikan perasaannya it uke dalam tulisan yang figuratif nan indah, sehingga mampu membahasakan perasaannya yang abstrak menjadi kongkrit.
Adapun pasca turunnya Al-Qur’an yang merupakan sumber keindahan dan puncak ke-balaghah-an, ayat-ayat dalam Alquran telah menjadi inspirasi bagi para penyair untuk melayani tantangan yang disampaikan Alquran, seperti dalam ayat 23 surah al-Baqarah berikut ini:
“وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
artinya:
“Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
Banyak dari para penyair yang benar-benar ingin mencoba meladeni tantangan tersebut. Tetapi tak ada satupun dari mereka yang mampu menanding Alquran. Bagi mereka yang memahami balaghah, akan memahami kehebatan Alquran dan kemu’jizatannya, serta percaya bahwa kitab ini bukanlah goresan manusia. Apalagi oleh sosok Muhammad yang ummi.
Berkembangnya ilmu balaghah juga didasari oleh berkembangnya analisa dan penelitian ulama atas i’jaz Alquran yang tak terelakkan otentisitasnya. Kalam-kalam-Nya begitu indah dan bermakna tinggi, seperti ayat pertama dari surat Al-fatihah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Artinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Jika kita perhatikan, ayat tersebut menyimpan faidah dalam ilmu ma’ani yang luar biasa, diantaranya adalah adanya predikat yang diakhirkan, yaituأقرأ “aku membaca.”. Mengakhirkan predikat itu bertujuan agar lebih memperhatikan “asma Allah” atau dalam istilah balaghah disebut dengan faidah al-qosr (pengkhususan). Faidah itu bisa diketahui dari maqom isti’anah billah (meminta tolong kepada Allah). Sementara itu dalam ilmu bayan, ungkapan ayat di atas termasuk penerapan metode isti’arah at-tabaiyyah, yakni menggunakan ma’na isti’anah (meminta bantuan) pada huruf ba’, bukan ma’na ilshaq (bertemu). Adapun dalam tinjauan ilmu badi’, kelimat basmalah itu memiliki faidah tauriyah, yakni ungkapan dengan redaksi kasih sayang (sebagai ma’na dekat) akan tetapi dengan ma’na menganugrahi dan berbuat baik (sebagai ma’na jauh). Penjelasan diatas bisa ditemukan di dalam kitab Hushnu al-Shiyaghah.
Ilmu balaghah sendiri telah ada sejak zaman jahiliyyah hingga turunnya Alquran. Akan tetapi yang menjadi asas tebentuknya ilmu balaghah adalah Alquran, bukan syair-syair jahiliyah. Karena pada saat itu belum ditemukan istilah dan penjelasan sebagaimana yang ditemukan pada pada abad pertengahan/masa Bani Umaiyah. Meski demikian, telah terjadi silang pendapat pada tentang peletak pertama kali ilmu al-balaghah. Sebagian berpendapat bahwa ilmu ini pertama kali digagas oleh Al-Jãhidz dengan karyanya “Al-Qoyyim al-Bayan Wa al-Tabyîn”. Adapula yang mengatakan peletaknya adalah Al-Jurjaniy (w. 471 H) dengan kitabnya “Dhalail al-I’jãz”. Sementara yang lain mengatakan peletak awalnya adalah Al-Mu’tazz (w. 296 H) dengan kitabnya “Al-Badi’”atau As-Sakãki dengan kitabnya “Al-Miftah”.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, belajar ilmu balaghah sangatlah penting bagi umat Islam, khususnya para santri. Karena ada banyak faedah yang bisa diperoleh dari mempelajari ilmu ini, diantaranya adalah:
- Dapat memahami ma’na-ma’na dan rahasia-rahasia Al-qur’an yang menjadi asas balaghah.
- Dapat mengetahui rahasia kalam rasullullah SAW yang sangat indah.
- Dapat memilih kalam yang cocok dan sesuai dengan konteks.
- Dapat mengetahui kapan harus berbahasa dengan kalam tashrih/jelas, kinayah (kiasan), atau at-tasybih (perumpamaan), majaz atau isti’aroh (metafora).
- Dapat mengetahui kalimat dan gaya bahasa yang dibawa lawan bicara, dll.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa faidah ilmu balaghah sangat banyak. Imam Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab” mengatakan: “Sungguh mempelajari syair-syair arab hukumnya adalah fardhu kifayah. karena darinya diketahui Ulum Al-Arabiyyah yang tak lain menjadi ilmu induk dalam mempelajari syari’at. Balaghoh sendiri adalah alat terbaik dalam mempelajari Ulum al-Arabiyyah.”
Jadi balghah tidak hanya sebagai instrumen untuk mengetahui mu’jizat Al-quran tapi juga menjadi pembelajaran bahasa Arab yang bermanfaat bagi pengkajinya, baik secara langsung seperti meningkatkan pemahaman, maupun tidak langsung, seperti menguatkan akal dan ketajaman rasa berbahasa. Karenanya mempelajari ilmj balaghah masih sangat dibutuhkan, terutama bagi santri yang memiliki tanggungjawab mengembangkan pengetahuan Islam di masa yang akan datang.
Oleh: Muhammad Haris Husen, Santri Mansajul Ulum.