Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 11 Agu 2022 04:24 WIB ·

Fiqh Pernikahan Tunawicara


 Sumber gambar : pesantrennuris.net Perbesar

Sumber gambar : pesantrennuris.net

KOLOM JUM’AT XLI
Jum’at, 13 Mei 2022

Pernikahan merupakan salah satu fase dalam kehidupan yang dijalani oleh manusia. Pernikahan juga merupakan perintah agama dalam upaya memberikan jalan kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Saat seseorang sudah memasuki kematangan mental dan memiliki pasangan, biasanya kedua kekasih akan melanjutkan hubungan yang lebih serius dalam jenjang pernikahan yang sah. Agama telah mengatur tatacara pernikahan sesuai dengan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Saw. melalui syarat dan rukun yang jelas. Adapun salah satu rukun sahnya nikah adalah ijab qobul. Ijab adalah akad yang laksanakan oleh wali atau wakilnya dari mempelai putri dan qobul adalah penerimaan yang diikrarkan oleh mempelai putra setelah ijab secara langsung.

Ijab qobul dalam situasi umum, biasanya dilakukan dengan pelafadzan yang sharih. Misalnya menggunakan lafadz انكاح,  تزويج atau semaknanya. Qobul yang dilakukan oleh mempelai laki-laki harus dilakukan dengan ucapan yang jelas. Qabul tidak bisa digantikan dengan menggunakan tulisan atau yang lainnya. Syarat yang demikian itu bisa dipenuhi jika sang mempelai adalah orang yang tidak memiliki masalah dengan kemampuan berbicara. Tetapi bagi orang yang memiliki keterbatasan bicara, tentu hal itu menjadi kendala tersendiri. Misalnya, seperti saudara-saudara kita yang terlahir sebagai tuna wicara. Sebagaimana yang dikatakan oleh Heri Purwanto dalam buku Ortopedagogik (1998), tunawicara adalah mereka yang mengalami kelainan, baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suaranya, untuk berbicara secara normal. Sehingga mereka kesulitan dalam mengucapkan ijab qobul. Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana nikahnya mereka yang menyandang tunawicara?

Dalam melaksanakan qobul, tunawicara dapat menggunakan dua metode dengan ketentuan masing–masing, yaitu melalui isyarat atau tulisan. Mengenai isyaratnya tunawicara dalam ijab qobul, keempat madzhab sepakat berpendapat bahwasannya isyarat yang jelas dalam menyampaikan ijab qobul bisa diterima.

Namun mengenai ketentuan dan rincian syaratnya isyarat tunawicara yang bisa diterima, keempat madzhab berbeda pendapat. Diantara pendapat mereka adalah sebagai berikut:

  1. Pendapat dari madzhab Hanafiyyah mengemukakan bahwa terdapat pembedaan antara tunawicara dan orang cadel atau orang yang tidak mampu mengucapkan atau membunyikan huruf tertentu. Orang yang cadel bisa diterima isyaratnya jika kondisi tersebut berlangsung sampai akhir hayat. Sementara tunawicara dapat menggunakan isyarat secara mutlak sebagai simbol qobul dalam sebuah akad pernikahan, jika isyaratnya jelas.
  2. Pendapat dari madzhab Syafi’iyyah mengemukakan bahwa isyaratnya bisa ditrima dengan syarat jika bisa dipahami semua orang. Adapun jika hanya bisa dipahami sebagian saja maka ijab qobul nikahnya tidah sah.
  3. Pendapat dari madzhab Malikiyyah dan Hambaliyyah mengemukakan bahwa dalam isyarat tunawicara bisa ditrima secara mutlak, tanpa ada syarat–syarat tertentu, asal isyaratnya bisa difahami. Karna menurut mereka isyarat yang bisa difahami dapat dihukumi seperti pelafadzan orang yang dapat berbicara.

Dari sekian perdebatan para ulama mungkin yang paling relevan adalah pendapat yang mengungkapkan bahwa isyaratnya tunawicara bisa diterima. Hal itu sesuai dengan maqosid syari’ah yaitu menolak kepayahan (رفع الحرج) dari semua umat. Karena apabila isyarat tunawicara tidak diterima, maka bisa menyusahkan mereka dalam menjalankan syariat pernikahan. Sedangkan mereka sangat membutuhkan pernikahan guna untuk menyambung keturunan atau yang lainnya.

Adapun metode yang kedua yaitu melalui tulisan. Para ulama sepakat untuk menerima tulisan sebagai pengganti ucapan dalam qobul pernikahan dengan syarat tulisan tersebut jelas dan dapat difahami. Karena menurut mereka tulisan tunawicara bisa menggantikan posisi pelafadzan orang yang bisa berbicara.

Dari pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa tunawicara walaupun dalam pengucapan ijab qobul tidak mampu, nikahnya tetap sah dengan dua metode, yaitu melalui isyarat yang bisa dipahami  atau tulisan yang jelas.

Salah satu praktik  gambaran ijab qobul dengan isyarat adalah melalui anggukan yang dilakukan oleh mempelai pria saat selesai diucapkannya ijab oleh wali atau wakil dari wali. Kasus ini pernah terjadi di provinsi Kalimantan Timur. Secara umum, pelaksanaan pernikahan tunawicara tidak ada perbedaan yang signifikan, baik dari penyebutan mas kawin, wali, saksi ataupun penghulu nikah. Yang membedakan dengan akad nikah pada umumnya adalah saat pelaksanaan qobul. Saat qobul tentu saja tidak ada lafadz yang terdengar dari mempelai pria. Yang ada hanyalah anggukan tiga kali sebagai isyarat qobul. Nikah tersebut telah dihukumi sah, baik secara hukum syara’ maupun hukum negara. Wallahu A’lam Bisshawab.

Oleh: Muhammad Iqbal Kafabillah, Santri Mansajul Ulum.

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 225 kali

Baca Lainnya

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 

23 Agustus 2024 - 13:38 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Keistimewaan Ilmu Nahwu

12 Juli 2024 - 19:19 WIB

Melestarikan Dakwah Islam Rahmatan Lil Alamin Era Modern Melalui Tulisan

28 Juni 2024 - 07:24 WIB

Trending di Kolom Jum'at