Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 15 Sep 2023 10:24 WIB ·

Memosisikan Fikih Sebagai Teori Sistem dalam Menghadapi Degradasi Moral


 Sumber: id.pinterest.com
Perbesar

Sumber: id.pinterest.com

KOLOM JUM’AT LXXXII
Jum’at, 15 September 2023

Berdasarkan laporan dari We Are Social, pengguna media sosial di Indonesia semenjak tahun 2014 hingga 2022 selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2014 pengguna media sosial berjumlah 62 juta, 2015 sebanyak 72 juta, 2016 sebanyak 79 juta, 2017 sebanyak 106 juta, 2018 sebanyak 130 juta, 2019 sebanyak 150 juta, 2020 sebanyak 160 juta, 2021 sebanyak 170 juta, dan tahun 2022 sebanyak 191 juta. Jumlah ini setara dengan 60,4% dari populasi penduduk di dalam negeri.

Dari data banyaknya jumlah pengguna media sosial, penulis merasa bahwa pembahasan tentang media sosial sangatlah urgen. Dari sisi fungsi, media sosial mengandung sisi positif dan negatif. Di antara sisi positifnya yaitu; kemampuan media sosial dalam menyediakan informasi kepada siapapun. Sementara sisi negatifnya adalah media sosial rentan terhadap sekuensi kepribadian. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh hasil riset yang dilakukan oleh Laura Buffardi dan Keith Campbell, peneliti dari University of Georgia. 

Media sosial dapat menjadikan anak yang pendiam menjadi agresif, yang pemalu menjadi asertif, dan banyak mengubah anak mendadak menjadi narsis. Bahkan, bisa mengubah anak yang tadinya memiliki moral yang baik tiba-tiba menjadi orang yang moralnya tidak baik. Perubahan kepribadian seseorang bukan hanya karena informasi yang berserakan di dalam media sosial, tetapi juga seberapa sering orang itu membuka media sosial. Yang harus kita waspadai dan terus dicarikan solusinya adalah bagaimana melawan dampak negatif dari media sosial agar tidak memengaruhi moral yang sudah baik menjadi tidak baik.

Pandangan Teori ‘Sistem’ Tentang Media Sosial

Jasser Auda dalam buku “Membumikan Hukum Islam Mela  lui Maqasid Syariah” berpendapat tentang teori sistem. Menurutnya, teori sistem adalah ‘cara mengorganisasi pikiran kita tentang dunia nyata’. Artinya, sebuah sistem tidak harus identik dengan benda yang kasat mata. Hal yang menjadi benang merah dari teori sistem ini adalah adanya korelasi antara mental dengan fisik yang menyatu menjadi watak yang muncul menjadi sebuah tindakan (action).

Media sosial sebagai sebuah objek, baik dianggap sebagai hal yang kasat mata atau tidak, telah mengorganisasi pikiran kita dengan konten-konten yang beragam. Seringnya menggunakan media sosial, bisa menjadikan seseorang berwatak sesuai apa yang ia lihat dalam media sosial. Jika yang dilihat positif, tentu pada akhirnya akan memunculkan tindakan-tindakan positif (moral yang baik). Sebaliknya jika yang dilihat negatif, pasti akan timbul perilaku negatif pula (moral yang buruk). Itulah sebabnya psikolog kontemporer, Albert Bandura (1977), memberikan rumusan: reduplikasi makna dan kesan yang diadopsi secara virtual merupakan proses belajar sosial (social learning) yang paralel dengan munculnya perilaku.

Pemahaman Tentang Fikih

Sebelum saya paparkan definisi fikih, penting kiranya mengetahui terlebih dahulu objek kajian dari fikih. Dalam objek kajiannya, fikih tidak membahas yang lain kecuali fi’l al-mukallaf (perbuatan seorang mukalaf). Artinya, perbuatan tersebut layak atau sudah ditetapkan bahwa ada peran syariat (fikih) di dalamnya, seperti transaksi jual-beli, salat, puasa, haji, mencuri, membunuh, dan lain sebagainya.

Dalam “Al-Mustashfa” Imam Al-Ghazali memaknai fikih sebagai ‘ungkapan tentang pengetahuan dan pemahaman yang pertama atau hakikat’. Sedangkan Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan fikih sebagai ‘mengetahui hukum-hukum syariat melalui dalil-dalil yang terperinci dan juga hukum tersebut sifatnya praktis’. Kalau kita membaca dua definisi ini, sekilas akan berbeda. Namun, sebenarnya secara substansi memiliki maksud yang sama. Hanya saja, Imam Al-Ghazali dalam paragraf berikutnya memberi alasan dengan pertanyaan; mengapa fikih terbatas pada hukum-hukum syariat? Beliau mengatakan karena hukum-hukum syariat tidak lepas dari fi’l al-mukallaf. Lagi-lagi alasan yang beliau tampilkan kembali ke awal yakni, objek kajian fikih sendiri.

Sebagai pendorong untuk memahami fikih adalah ‘ushul fikih’. Jika boleh didefinisikan, ushul fikih merupakan pengetahuan atau mengetahui terhadap kaidah. Dengan kaidah ini seseorang akan memperoleh sebuah hukum-hukum syariat yang sifatnya praktis melalui dalil-dalil yang terperinci. Objek kajian ushul fikih adalah ‘dalil syariat yang sifatnya kulli (garis besar)’. Artinya, dalil-dalil itu dikaji menggunakan kaidah atau teori-teori ushul fikih untuk menghasilkan sebuah hukum. Selain itu, keduanya baik fikih ataupun ushul fikih memiliki tujuan yang berbeda. Fikih bertujuan untuk menerapkan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Berbeda dengan ushul fikih yang tujuannya untuk menerapkan kaidah dan teori-teori supaya mendapatkan sebuah hukum syariat yang sifatnya praktis.

Guru-guru saya sering menganalogikan fikih sebagai ‘produk’ dan ushul fikih sebagai ‘pabrik’ dalam menghasilkan produk. Dengan metode dan teorinya, ushul fikih bisa menghasilkan ‘produk’ hukum. Produk inilah yang kemudian dikonsumsi oleh manusia sebagai pedoman dalam tindakannya. Produk ini adakalanya memberatkan (tasydid) dan ada juga yang meringankan (takhfif).

Memosisikan Fikih Sebagai Teori ‘Sistem’

Awal bulan Agustus, ada berita dari akun Instagram Mojok.co bahwa, Jepang mengedukasi anak SD dengan praktik lapangan tentang keselamatan lalu lintas. Dari simulasi itu anak-anak bisa mengerti akan bahaya kecelakaan yang mungkin terjadi. Ketika sudah ada pemahaman melalui praktik seperti itu, maka akan menjadi watak yang kemudian akan muncul perilaku (action) untuk berhati-hati dalam berkendara. Berita ini sangat sesuai dengan apa yang saya maksud dalam tulisan ini, yaitu terbentuknya karakter anak-anak sangat dipengaruhi oleh kesadaran mental yang bisa dibentuk oleh ajaran-ajaran tertentu untuk menghasilkan tindakan yang diharapkan.

Produk fikih bukan hanya tentang ibadah, muamalah, munakahat, ataupun jinayah. Melainkan juga banyak produk fikih yang berkaitan dengan moral atau akhlak. Saya akan menyebutkan sekurang-kurangnya lima produk fikih yang berkaitan dengan moral dan akan memosisikannya sebagai teori ‘sistem’. Pertama, dalam pembahasan walimah al-ursy dijelaskan bahwa, bagi orang yang hendak makan, disunahkan untuk membasuh kedua tangan dan mulutnya. Kedua, bagi orang yang sedang bersin, disunahkan meletakkan apapun di wajahnya. Ketiga, disunahkan berdiri untuk memuliakan orang-orang alim. Bisa disamakan dengan perihal ini adalah persoalan mencium tangan orang tua, kerabat dekat dan orang yang lebih sepuh dari kita. Keempat, tata cara memotong kuku menurut pendapat yang muktamad, dimulai dari telunjuk kanan dan berakhir di ibu jari bagian kiri. Kelima, makruh hukumnya melangkahi orang-orang yang sedang berkumpul.

Produk fikih ini bisa menjadi solusi dalam melawan derasnya dampak negatif dari media sosial sebagaimana disebutkan di muka. Produk fikih di atas bisa kita ajarkan kepada anak-anak dalam keseharian, dengan cara yang dilakukan Jepang, yaitu melalui contoh langsung dan simulasi. Misalnya, dalam mengajarkan ajaran-ajaran fikih di atas, kita bisa memberi contoh anak-anak dan membiasakannya setiap hari agar dapat membentuk tindakan sesuai dengan ajaran tersebut. Inilah yang saya maksud memosisikan fikih sebagai teori ‘sistem’.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang tergantung oleh doktrin yang diperolehnya. Jika hal itu baik, maka akan menghasilkan perilaku baik. Sebaliknya, jika doktrin itu buruk, maka akan menghasilkan perilaku yang buruk pula. Karena itu kita harus selalu menanamkan doktrin yang baik kepada anak-anak kita dengan produk-produk fikih yang sudah ada. Sebagai orang tua, jangan pernah memberikan toleransi sedikit pun kepada anaknya ketika ia melakukan kesalahan. Jika kita memberikan toleransi, maka ada potensi dua-tiga kali ia akan mengulanginya. Orang tua harus segera menegur dan memperbaikinya. Hal yang sama juga perlu dilakukan oleh orang tua dalam mengawasi penggunaan media sosial. Orang tua perlu selektif dalam memberikan kesempatan anak-anak dalam mengakses media sosial. Agar mereka dapat terhindar dari pengaruh negatif media sosial.

Daftar Pustaka

Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah.

Al-Malibari, Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu’in, Jawa Timur: Gerbang Andalus.

Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Bandung: Mizan Pustaka, 2015.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih,  Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islami, 2010.

Widi, Shilvina, Pengguna Media Sosial di Indonesia Sebanyak 167 Juta Pada 2023, dalam https://dataindonesia.id/digital/detail/pengguna-media-sosial-di-indonesia-sebanyak-167-juta-pada-2023 diakses pada 5 Agustus 2023 pukul 13:00 WIB.

Oleh: Ahmad Firman Ardiyansyah, santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo,  Juara 2 Lomba Menulis Opini Santri Se-Jawa dalam Festival Literasi 2023 di Pesantren Mansajul Ulum, Pati. 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 224 kali

Baca Lainnya

Perempuan Guru Ulama Laki-laki Terkemuka

17 Januari 2025 - 09:35 WIB

Peradaban Babilonia: Refleksi dan Resolusi saat Tahun Baru

3 Januari 2025 - 19:35 WIB

Pentingnya Pendidikan Kesetaraan Gender bagi Laki-Laki

20 Desember 2024 - 18:02 WIB

Kritisisme, Juru Damai Rasionalisme dan Empirisme

6 Desember 2024 - 07:47 WIB

Urgensi Pesantren Ramah Anak

22 November 2024 - 13:35 WIB

Dampak Buruk Konsumsi Makanan Berlebih dalam Perspektif Dokter dan Ulama’

8 November 2024 - 14:45 WIB

Trending di Kolom Jum'at